Kamis 15 Jun 2017 12:00 WIB

Nasib Pendidikan dan Kelinci Percobaan

Siswa SD mengikuti upacara peringatan hari Kesaktian Pancasila di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta Timur, Kamis (1/10).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Siswa SD mengikuti upacara peringatan hari Kesaktian Pancasila di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta Timur, Kamis (1/10).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rudi Agung *)

Sepertinya Indonesia patut meraih gelar negeri tergaduh. Belum usai A, muncul kegaduhan B. Begitu seterusnya.

Dari kasus-kasus sosial, kejahatan finansial, politik, agama. Kini pendidikan. Gaung kerja, kerja, kerja sekadar untuk kegaduhan?

Belakangan dunia pendidikan digaduhkan aturan baru yang dikeluarkan belum lama ini.

Permendikbud 23 Tahun 2017 menyebutkan, hari sekolah dilaksanakan delapan jam dalam satu hari atau 40 jam selama lima hari dalam satu minggu.

Pasal 5 ayat (1) Permendikbud 23 Tahun 2017 disebutkan hari sekolah digunakan bagi peserta didik untuk melaksanakan kegiatan intrakulikuler, kokurikuler dan ekstrakulikuler.

Dalam ayat (6), kegiatan ekstrakurikuler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan di bawah bimbingan dan pengawasan sekolah yang bertujuan untuk mengembangkan potensi, bakat, minat, kemampuan, kepribadian, kerja sama, dan kemandirian peserta didik secara optimal untuk mendukung pencapaian tujuan pendidikan.

Dalam ayat (7), kegiatan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) meliputi aktivitas keagamaan meliputi madrasah diniyah, pesantren kilat, ceramah keagamaan, katekisasi, retreat, baca tulis Alquran, dan kitab suci lainnya.

Begitu kutipan Permen ihwal sekolah lima hari sepekan, yang makin memantik kontroversi publik.

Pertanyaan mengemuka: kenapa kegiatan keagamaan masuk ekstrakurikuler? Bukan intrakurikuler sebagai pemenuhan kurikulum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Atau kokurikuler sebagai indikator pada mata pelajaran sesuai kurikulum.

Apakah kegiatan keagamaan tidak lagi wajib? Bukankah ekstrakurikuker adalah pilihan yang tidak diwajibkan? Mudah-mudahan makna dan implementasi Permen terkait tidak begitu.

Selama ini, agama dimasukan dalam kurikulum saja masih belum menghasilkan output yang diharapkan. Apalagi kalau sekadar dimasukan dalam ekstrakurikuker.

Dengan jam belajar yang bertambah, anak-anak pun makin lelah. Tak heran, aturan ini menguatkan penolakan dari banyak kalangan.

Mulai MUI, DPR, parpol, guru, sampai masyarakat. Terlebih masyarakat sebagai orangtua yang merasakan langsung dampak kebijakan ini.

Seorang ibu rumah tangga menyebut, pemerintah menambah jam belajar anak-anak sama saja mengambil pahala orangtua yang di rumah.

"Pahala mendampingi, mengajarkan di rumah, mengantarkannya ke madrasah." Penolakan tak hanya di Jakarta. Tapi nyaris di semua daerah. Tak terkecuali di Balikpapan, Kalimantan Timur.

Dalam komunikasi elektronik, Ketua Komisi IV DPRD Balikpapan, Mieke Henny, bahkan menyebut jika benar-benar diterapkan bisa menimbulkan kekacauan.

"Sarana dan prasana belum siap. Bukan membuat perbaikan dunia pendidikan tapi justru jadi kekacauan. Kasihan siswa dan tenaga pendidiknya."

Legislator di sana pun segera membincangkan hal ini dengan dinas terkait untuk menolak aturan itu. Selama ini Mendikbud berdalih tidak menutup madrasah, tapi akan melakukan sinergi.

Pun katakanlah bisa disinergikan dengan madrasah, bukankah malah njlimet? Kalau pun dilakukan dengan pola pemetaan beberapa daerah, tidakkah lebih elegan memfokuskan peningkatan pemerataan dulu? Baik sarana maupun kualitas pendidik.

Sila tengok kondisi sekolah-sekolah di pelosok, pedesaan dan atau pedalaman Kalimantan. Utamanya wilayah perbatasan. Sangat miris.

Memaksakan jam waktu belajar di sekolah bukanlaj solusi. Finlandia sebagai negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia, hanya memberlakukan 4-5 jam per hari. Tanpa PR, tanpa ujian nasional. Tapi dengan kualitas sekolah dan pendidik yang amat memukau.

Dengan memaksaka. aturan sekolah lima jam sehari, di tengah sengkarut kondisi sekolah dan kesejahteraan serta kualitas guru akan memicu masalah-masalah baru.

Sudah sekolah makin lama waktunya, mudah memancing kejumudan siswa dan berpotensi menganggu psikologis anak.

Dengan kurikulum sekarang saja, para siswa sudah jenuh. Simak hasil pendidikan selama ini:

Hasil penelitian Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (2017), mengungkap kualitas pendidikan di Indonesia masih di bawah Ehtiopia dan Filipina.

Indikator indeks itu dinilai dari: kualitas guru yang rendah, sekolah belum ramah anak dan pendidikan yang belum berpihak pada kaum marginal.

Sedang Indeks Pendidikan Indonesia, menurut data UNESCO (2016), menunjukan Indonesia berada di posisi 108 dunia dengan skor 0,603. Peringkat itu menunjukkan kualitas pendidikan Indonesia masih di bawah Palestina, Samoa dan Mongolia.

Analisis Laporan Pembangunan Manusia 2016, Badan PBB Urusan Pembangunan atau UNDP, memperlihatkan: Indeks Pembangunan Manusia Indonesia mengalami penurunan 18,2 persen dibanding tahun sebelumnya. Indikator itu dari kesenjangan pendidikan dan harapan hidup saat lahir di Indonesia. (Dadang Solihin, Republika, 2/5/2017).

Asisten Direktur Jenderal untuk Pendidikan dari The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization, Qian Tang, mengungkap pemerintah Indonesia masih terfokus pada angka kelulusan siswa dalam mengemban pendidikan dasar. Sedangkan mutu pendidikan belum menjadi prioritas. (CNN Indonesia, 02/6/2016).

Proses kelulusan pun malah menjadikan anak didik phobia. Proses kelulusan dan UN bagai momok menakutkan. Kelulusan kerap ditempuh dengan jalan menjauhi nilai kejujuran. Belum lagi sengkatut PSB Online.

Lebih jauh lagi, tengok out put hasil pendidikan ke belakang: narkoba, seks bebas, aborsi, tawuran, genk motor. Tercecer data di media menyoal lonjakan kasus terkait yang dialami generasi bangsa ini.

Kini sekolah mau dibuat 8 jam sehari? Ini pelajar atau buruh? Bagaimana psikologis dan waktu bermain untuk anak didik.

Sampai kapan sistem pendidikan kita begini? Kapan pendidikan bisa dikembalikan dengan sistem berbasis fitrah manusia? Entah sekeras apa tangis alm Ki Hajar Dewantara.

Sistem yang diletakan olehnya dengan mengacu sistem pendidikan ala Rasulullah, malah diadopsi Finlandia. Kini Finlandia menjadi negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia.

Entah siapa yang bisa menyelamatkan sistem pendidikan dan nasib generasi?

Ganti menteri, ganti kebijakan. Kurikulum satu belum selesai, diganti lagi. Generasi bangsa ini seperti hanya jadi kelinci percobaan.

Bandingkan dengan dulu, adik kelas beda usia jauh pun masih bisa menggunakan buku yang sama. Kini, sebentar-sebentar gonta ganti. Timbul muncul aturan-aturan kontroversial.

Kenapa tak ada blue print pendidikan jangka panjang seperti perencanaan di GBHN. Nilai-nilai luhur pun makin tenggelam. Dasar-dasar penguatan nasionalisme melalui P4, PMP, PSPB, dan semisalnya ikut pula dikubur.

GBHN dilemahkan, kini sistem pendidikan dibuat percobaan, seolah pendidikan semakin dipermainkan. Sengkarut UUD 1945 yang diamandemen benar-benar sukses meluluh lantakan bangsa ini.

Sampai kapan, tuan puan? Omong-omong bagaimana nasib APBN, rekening 502, kejahatan finansial dan pemeriksaan Interpol? Begitu menarik pengalihan atas pelbagai kejahatan finansial sejak era Reformasi.

Kegaduhan apa lagi yang akan dimunculkan berikutnya?

Mudah-mudahan Allah segera membuka segala tabir-tabir gelap di negeri ini.

Shalaallahu alaa Muhammad.

*) Pemerhati masalah sosial

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement