Kamis 15 Jun 2017 05:25 WIB

Nurani kepada Alam

Kerusakan lingkungan (ilustrasi).
Foto: www.kaheel7.com
Kerusakan lingkungan (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abdul Fikri Faqih *)

 Konferensi bangsa-bangsa di Stockholm yang dibuka tepat 5 Juni, pada 45 tahun silam, mengangkat tema ‘lingkungan hidup manusia’.  Gelaran akbar yang diikuti wakil 110 negara ini menjadi tonggak berdirinya program lingkungan di badan PBB (UNEP). Masyarakat intelektual bumi untuk pertama kalinya tergugah nuraninya, bahwa manusia bukanlah satu-satunya mahluk yang harus menjadi pusat perhatian (antroposentris).

 

Deklarasi Stockholm tetap menekankan pengakuan atas hak asasi manusia, bahkan diletakkan menjadi asas pertama. Namun, hak asasi ini termasuk pula hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang sehat dan berkualitas. Sehingga pada saat yang sama, ada kewajiban yang melekat padanya untuk memelihara kelestarian lingkungan hidup.

 

Persoalan lingkungan hidup menjadi salah satu prioritas penanganan, utamanya bagi negara-negara berekonomi baik, yang telah mencapai klimaks pada pembangunan fisik dan manusianya. Namun, bagi negara miskin dan berkembang, persoalan dasar kebutuhan hidup masyarakat pada umumnya masih merupakan prioritas utama. Pilihan di antara menggenjot pembangunan fisik yang mengumbar polusi dengan upaya menekan laju kerusakan lingkungan, adalah dilema mayor yang kerap membayangi bagi negara-negara kelompok ini, yang ndilalahnya masih mendominasi muka bumi. 

 

Namun setidaknya, deklarasi Stockholm telah menjadi dasar legitimasi bagi negara-negara anggota untuk menciptakan penanganan hukum lingkungan di teritorialnya. Negara-negara yang berasosiasi di Asia Tenggara (ASEAN) salah satu yang menginisiasi rencana tindak (action plan) dalam ASEAN Contingensi Plan pada 1976. Sasaran utamanya adalah memberi perlindungan kawasan laut dan pesisir bagi kemajuan, kesejahteraan, dan kesehatan generasi sekarang dan akan datang (keberlanjutan). 

 

Sebagai negara sahabat di ASEAN serta ikut meratifikasi deklarasi Stockholm, Indonesia menerbitkan kebijakan pertamanya terkait lingkungan dalam bentuk undang-undang sejak 1982. Regulasi ini diperbarui dua kali, yaitu pada 1997 dan terakhir 2009, tepatnya melalui Undang-Undang no.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Regulasi yang terakhir ini uniknya melandaskan prinsip kearifan lokal dan budaya nusantara sebagai pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup. 

 

Secara eksplisit, pelibatan unsur budaya manusia sebagai dasar hukum perundangan merupakan pengakuan atas norma masyarakat yang berbasis kearifan leluhurnya. Disadari, pemenuhan etika lingkungan hidup telah mengakar sejak lama dalam sejarah manusia, jauh sebelum bangsa-bangsa berkumpul di Stockholm. 

Apa yang disebut sebagai kearifan lokal (local wisdom) secara alami diwariskan turun temurun, tanpa bentuk intervensi negara atau kerajaan di zamannya. Budaya manusia yang merupakan adaptasi natural terhadap lingkungan, lebih merupakan abtraksi nurani yang diserap dari pengalamannya. Dari situ munculah ide, nilai, aktivitas, hingga peralatan yang sebagian dikokohkan dalam bentuk norma adat yang disepakati bersama.

 

Prinsip-prinsip kearifan lokal ternyata lebih efektif dalam penerapannya terutama terkait pelestarian lingkungan hidup. Pemberlakuan larangan dan sanksi di Hutan Larangan Adat (Riau), atau adanya aturan pengelolaan sumber daya alam dengan model Awig-awig di Lombok Barat dan Bali adalah sedikit dari sekian banyak kisah sukses kearifan lokal dalam upaya konservasi alam. Para pendahulu tampaknya menyadari adanya potensi konflik yang akan muncul di masa depan. Secara teoritis, konflik muncul karena adanya semakin langkanya sumber daya alam yang diperebutkan oleh pihak-pihak dengan kepentingan yang sama.

 

Di satu sisi, produk hukum modern belum mampu mengantisipasi munculnya konflik horisontal akibat perebutan sumber daya. Terbukti dengan seringnya tuntutan agar suatu aturan direvisi, atau disengketakan ke Mahkamah Konstitusi. Beberapa di antaranya bahkan mengabaikan hak-hak warga asli dan kepentingan adat yang berprinsip kearifan lokal. Tak heran, tidak hanya degradasi lingkungan yang terjadi, namun juga kerusakan sosial yang berbiaya mahal (social cost).

 

Perilaku sosial manusia selama berabad-abad telah menimbulkan penurunan kualitas bagi lingkungan alam di bumi. Sejatinya, mahluk kasar yang terbuat dari unsur tanah ini memiliki kesamaan unsur dengan mahluk-mahluk lainnya yang hidup berdampingan. Mengutip Gus Mus dalam Koridor: Renungan (2010), semua yang berasal dari tanah seperti jasad, nafsu, dan amarah dimiliki juga umumnya oleh hewan. 

Yang membedakan adalah karena hewan tidak memiliki unsur nurani. Sehingga, manusia yang sering abai terhadap nurani, sering disebut tidak manusiawi atau hewani. Dalam kaitannya membersamai alam lingkungan, manusia dituntut untuk menggunakan fitrahnya, mengoptimalkan nurani ketika menggunakan sumber daya alam. Karena hewan yang tidak bernurani saja, secara insting mampu menyeimbangkan ekosistem. Maka, ketika nurani berperan secara mayor, seharusnya ekosistem akan lebih berkembang.

 

Tema Hari Lingkungan sedunia tahun ini, seolah menapaktilasi konferensi Stockholm setengah abad silam: Connecting People to Nature.  Maka, tepatlah apa yang sudah diwariskan para pendahulu kita: bahwa nurani senantiasa harus mendominasi di setiap perbuatan terhadap alam lingkungan.

*)Anggota DPR RI & Pemerhati Lingkungan

Kandidat Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro Semarang

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement