Rabu 07 Jun 2017 05:00 WIB

40 Tahun Pasar Modal Indonesia

William Henley
Foto: istimewa
William Henley

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: William Henley *)

Sebuah peristiwa mengejutkan terjadi di bilangan Jakarta Timur, Rabu (24/5) malam. Serangan bom bunuh diri terjadi di kawasan Terminal Kampung Melayu. Tercatat empat orang tewas dengan perincian seorang pelaku dan tiga petugas kepolisian yang sedang bertugas mengawal pawai obor menyambut bulan suci Ramadhan 1438H. Hingga kini, kepolisian masih bekerja menuntaskan kasus yang disinyalir melibatkan ISIS tersebut.

Meski ada peristiwa serangan bom, kenyataannya aktivitas perekonomian dalam negeri tidak terganggu. Khusus untuk pasar modal, aliran dana investor asing terpantau stabil, walau tetap ada aksi jual. Sepanjang tahun ini nominalnya sudah menembus Rp 22,16 triliun.

Itu hanya contoh bahwa masalah keamanan seperti bom Kampung Melayu terbukti tak berpengaruh terhadap kinerja pasar modal. Ini sebagaimana peristiwa-peristiwa teror sebelumnya. Contohnya serangan teroris di kawasan MH Thamrin, Jakarta, Januari 2016.

Kokohnya pasar modal tak dapat dilepaskan dari fundamental ekonomi dalam negeri yang kuat. Ditopang stabilitas makroekonomi serta menguatnya kepercayaan investor jadi modal besar. Gambaran ini dapat terlihat pula pada kinerja indeks harga saham gabungan (IHSG) yang masih moncer.

Peristiwa bom Kampung Melayu hadir hanya beberapa hari menjelang Hari Pasar Modal Indonesia. Ya, setiap tahun, insan pasar modal dalam negeri merayakan “ulang tahun” pada 3 Juni. Apabila dihitung sejak pemerintah mengaktifkan kembali Pasar Modal Indonesia pada 3 Juni 1977, maka sudah 40 tahun usia pasar modal.

Usia yang tentu tidak lagi muda. Ada ungkapan klasik di dunia barat. Life Begins at 40.

Dengan begitu, kita berharap pasar modal Indonesia semakin baik ke depannya. Tidak hanya dari sisi kinerja dalam bentuk aliran dana asing dan IHSG semata, melainkan juga aspek-aspek lainnya. Salah satu hal yang menjadi sorotan penulis adalah masih minimnya keterlibatan masyarakat untuk turut serta berinvestasi di saluran ini.

Masalah sosialisasi

Berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 1995, salah satu definisi pasar modal adalah pasar untuk berbagai instrumen keuangan jangka panjang yang bisa diperjualbelikan. Entah itu dalam bentuk surat utang (obligasi), ekuitas (saham), reksa dana, instrumen derivatif, maupun instrumen lainnya. Pasar modal juga merupakan sarana pendanaan bagi perusahaan maupun institusi lain (seperti BUMN) serta sarana bagi kegiatan investasi bagi masyarakat.

Namun demikian, sejak pasar modal dalam negeri berdiri pada zaman Hindia Belanda atau tepatnya pada 14 Desember 1912, masih ada masalah yang mengganjal di benak penulis. Salah satunya adalah jumlah investor yang masih minim dari waktu ke waktu. Berdasarkan informasi terbaru yang dihimpun, jumlah investor pasar modal baru mencapai 891 ribu investor atau sekitar 0,3 persen dari total populasi sebanyak 257 juta jiwa.

Jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara, rasio itu teramat kecil. Sebagai contoh Malaysia memiliki 3-4 juta investor (15 persen populasi). Singapura lebih besar lagi karena tercatat investornya sebanyak 1,5 juta investor (30 persen dari populasi).

Hal ini tentu patut disayangkan. Apalagi, jika kita menghitung populasi kelas menengah Indonesia yang berjumlah sekitar 60 juta orang. Mengapa semua ini bisa terjadi?

Banyak alasan yang dapat dikemukakan. Mulai dari kredibilitas pasar modal sampai jumlah //listed company// di pasar modal yang masih sedikit. Dari faktor-faktor itu, penulis lebih menyoroti tingkat literasi yang masih rendah. Berdasarkan informasi yang diperoleh, indeks literasi pasar modal hanya 4,40 persen alias terendah dibandingkan sektor-sektor lain seperti perbankan (28,94 persen), perasuransian (15,76 persen), dan lembaga pembiayaan (13,05 persen).

Terkait peningkatan literasi, butuh peran serta otoritas dan pelaku industri. Khususnya dalam melakukan sosialisasi akan pentingnya berinvestasi di pasar modal. Sebab, masih banyak masyarakat kita yang lebih senang menginvestasikan dana dalam bentuk tanah, properti, mata uang asing hingga logam mulia.

Masyarakat perlu diyakinkan bahwa berinvestasi di pasar modal memberikan banyak keuntungan. Tidak hanya untuk diri sendiri saja, melainkan juga perusahaan yang terdaftar. Secara makrokonomi, pasar modal merupakan sarana pemerataan pendapatan.

Masyarakat dapat menikmati keuntungan dari perusahaan meski bukan sebagai pendiri atau pengelola perusahaan. Bagi perusahaan, pasar modal juga memberi keuntungan untuk pengembangan usaha. Dari sana, keuntungan perusahaan berpotensi bertambah dan dipotong dalam bentuk pajak.

Pajak, seperti kita tahu, merupakan sumber utama pendapatan negara untuk mendorong pembangunan bangsa. Rangkaian sederhana ini tentu dapat dipahami semua pihak, termasuk masyarakat umumnya.

Secara khusus, penulis menilai sosialisasi juga perlu menyasar generasi millennial. Generasi ini kerap menggunakan teknologi komunikasi mulai dari WhatsApp hingga jejaring sosial seperti Twitter. Perkembangan teknologi sejatinya bisa menjadi sarana sosialisasi bagi generasi millennial.

Caranya dengan menyampaikan pesan bahwa investasi masa depan via pasar modal penting untuk dilakukan. Sampaikan pesan kepada investor apabila modal seminimal mungkin seperti melalui reksa dana dapat menghasilkan keuntungan. Investor juga perlu diberi pemahaman uang yang diinvestasikan aman karena disimpan di pihak ketiga (bank kustodian).

Langkah otoritas bursa membuka sekolah pasar modal (SPM) patut diapresiasi sebagai bagian dari sosialisasi dan edukasi. Pun dengan penetrasi pasar modal ke dalam kurikulum kampus. Masih banyak cara lain yang penulis yakini dapat diupayakan oleh para pemangku kepentingan.

Harapannya tentu agar pasar modal, dalam konteks ini pasar modal Indonesia, semakin berkembang dan menjadi pilihan masyarakat berinvestasi. Tidak mudah memang. Tapi bukan tidak mungkin digapai.

Selamat ulang tahun Pasar Modal Indonesia!

*) Founder Indosterling Capital

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement