Selasa 06 Jun 2017 17:39 WIB

Farouk: Pancasila Bukan Alat untuk Menyerang Pihak Berbeda

Rep: Singgih Wiryono/ Red: Teguh Firmansyah
Wakil Ketua DPD RI Farouk Muhammad
Foto: Tahta Aidilla/Republika
Wakil Ketua DPD RI Farouk Muhammad

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), Farouk Muhammad meminta para pemimpin dan penyelenggara negara semakin bijak merespons kritik terhadap kondisi kebangsaan saat ini.

Kebijaksanaan ini penting agar perbedaan persepsi di antara anak bangsa tidak mengarah pada disharmoni yang semakin tajam, seperti yang akhir-akhir ini dirasakan.

"Kini, era sudah berubah seiring dengan lahirnya reformasi 1998. Kita tentu tidak menginginkan rezim berkuasa mengulangi kesalahan yang telah dikoreksi dengan reformasi," kata Farouk dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Selasa (6/6).

Menurut Farouk, sejak maraknya berbagai Aksi Bela Islam pada akhir 2016 hingga awal 2017, kondisi kebangsaan seolah terpolarisasi pada dua kubu yang begitu nyaring pertentangannya, terutama di media sosial. Sejak itu, wacana tentang Pancasila, kebhinekaan, konstitusi, dan NKRI menguat.

"Tapi sayangnya, wacana ini digunakan untuk menghantam kelompok yang berseberangan sehingga ada yang merasa paling Pancasilais, paling bhineka dan NKRI, sementara yang lain dianggap anti-Pancasila, anti-kebhinnekaan, dan anti-NKRI," kata Farouk.

Senator asal NTB ini juga mangatakan, Bung Karno pernah mengingatkan agar tidak meng-'kecap'-kan Pancasila. "Kata Bung Karno, tiap-tiap orang sekarang ini menebah dadanya bahwa Aku Pancasilais, Aku pengikut Pancasila, Aku membela Pancasila, Aku Pancasilais! Tapi dia sendiri sebetulnya bukan Pancasilais sejati," katanya.

 

Farouk mencontohkan, kelompok Islam yang sedari awal mendukung aksi bela Islam mendapatkan kontrawacana yang cukup kuat dari pihak-pihak tertentu, termasuk beberapa pejabat pemerintah dan keamanan.

Beberapa kelompok menuding aksi tersebut sebagai ancaman bagi kebinekaan dan NKRI. Padahal, aksi bela Islam menuntut penegakan hukum yang tegas dan adil terhadap pelaku penistaan Alquran dan ulama, jauh dari stigmatisasi tersebut.

"Akibat tudingan itu, berkembang satu kondisi kebangsaan yang seolah terbelah (terfragmentasi) dan disharmoni hingga saat ini," kata dia mengakhiri.

Baca juga,  Jenderal Gatot: Pancasila Hilang, tak Ada Keadilan.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement