Senin 22 May 2017 17:20 WIB

Balada Kaum Sodom Jakarta

Petugas kepolisian menujukan barang bukti berserta tersangka hasil pengerebekan dugaan prostitusi gay bertajuk
Foto: Republika/Prayogi
Petugas kepolisian menujukan barang bukti berserta tersangka hasil pengerebekan dugaan prostitusi gay bertajuk

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rudi Agung *)

Leo Nikolyevich Tolstoy, novelis sosialis asal Rusia banyak melahirkan karya-karya yang diminati pelbagai kalangan.

Tolstoy mengajarkan hal-hal kesederhanaan, menjaga moral, cinta kasih. Ia dikenang karena karya fiksinya dan kontribusinya dalam pengembangan filsafat Kristen.

Tapi, dalam novel Sonata Kreutzer, ia mengecam pernikahan. Barangkali terinsprasi dari kehidupannya yang pisah ranjang dengan istrinya, Sophia.

Sophia sang istri, meninggalkan Tolstoy dengan sepucuk revolver di sampingnya.

Ia menuding Tolstoy, berselingkuh pada muridnya yang laki-laki. Sophia cemburu karena suaminya dianggap homo. Apa betul Tolstoy seorang homo, seperti yang dituding istrinya? Entah.

Kebanyakan, bila menyoal kehidupan LGBT, teramat banyak kejutan-kejutan di kedalaman. Apa yang tampak di permukaan seringkali berbeda dengan di kedalaman.

Kisah Tolstoy, mengingatkan pada wanita berusia kepala 4. Sebut saja Noni. Untuk keperluan penelitian, ia banyak membeberkan dunia LGBT di Tanah Air.

Ia mengetahui betul seluk beluk LGBT di Indonesia, terutama Ibu Kota. "Gue merid juga, tapi gue juga punya selingkuhan L," bebernya. L yang dimaksud adalah lesbian.

Ia sebagai buchi, peran sebagai pria. Kalau wanitanya disebut femi. "Banyak lah komunitas L yang nikah dan punya anak, tapi punya selingkuhan dengan L," ungkapnya.

Beberapa kali pernah menulis LGBT di Republika.co.id. Apa yang ditulis tak seberapa, jauh lebih mengerikan dibanding kenyataan di lapangan. Mereka bergerak senyap, menggurita dimana-mana. Mereka bagai fenomena gunung es yang menghentak jiwa.

Penegakan aturan dan penanganan kehumanisan hanya sekadar wacana. Hanya ramai jika isu itu meledak. Lalu tenggelam tertutup isu lainnya. Begitu dari tahun ke tahun.

Selama ini hanya memberi kecaman, kecaman, tanpa pendekatan humanis yang ril. Tanpa penyelesaian komprehensif. Tanpa melakukan pendekatan hati ke hati.

Setahunan belakangan LGBT kembali riuh rendah, semua pada mengecam, lalu tenggelam. Satu musababnya energi publik dihabiskan polarisasi Pilkada Jakarta dan merosotnya proses hukum pada pelaku penista agama.

Tetiba, pada 21 Mei 2017, kita dikejutkan lagi pada penangkapan ratusan orang saat melakukan pesta homo. Polisi menggerebek sebuah ruko di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara, yang menjadi tempat pesta kaum Sodom Jakarta, bertajuk: 'The Wild One'.

Untuk hadir dalam pesta itu, kaum Sodom dibebankan biaya ratusan ribu rupiah. Tapi, pesta itu keburu dibubarkan polisi.

Selain mencokok 141 pelaku, polisi juga menemukan sejumlah barang bukti berupa kondom, tiket, rekaman CCTV, fotokopi izin usaha, uang tip striptis, kasur, iklan event The Wild One, dan gadget yang digunakan untuk broadcast.

Usai kejadian itu meledak, ramai-ramai kembali mengecam. Tak terkecuali DPR. Heran juga, apa parlemen digaji rakyat hanya untuk mengecam?

Begitu pula dengan varian kegaduhan di Republik ini. Sekadar kecaman. Enak juga kerjanya, ya.

Di dunia, sedikitnya ada 10 negara yang melarang keberadaan gay. Bahkan sekadar untuk liburan, mereka dilarang. Ada aturan ketat yang dijalankan lebih ketat.

Yakni Nigeria, Honduras, Uganda, Zimbabwe, Mesir, Senegal, Sudan, Jamaika, Lithuania, dan Rusia.

Nigeria 97 persen rakyatnya menolak LGBT. Di Rusia, kampanye anti-gay juga begitu kencang. Bahkan ada pelarangan menyetir bagi transgender. Lain lagi dengan Uganda.

Negara itu konon paling keras menolak kaum Sodom. Para pelaku gay diancam penjara sampai dibunuh.

Di Indonesia, yang mayoritas Muslim sekadar memberi kecaman. Aturan dan pendekatan cuma berisik di media. Lalu menguap begitu saja. Lantas, jelang Ramadhan justru menguak pesta kaum Sodom di Jakarta. Luar biasa.

Kaum Sodom juga manusia. Kekerasan bukan jalan elok membendung mereka. Namun, dibutuhkan pendekatan hati ke hati dan penegakan aturan yang serius.

Ada banyak kisah mengharu biru dari mereka. Baik yang sudah taubat atau belum. Ketika kita menyentuh hatinya, kedalaman jeritan mereka akan muncul ke permukaan.

Sebaliknya ketika cuma mengecam, melawan dengan kekerasan: mereka malah memberontak. Bisa melakukan hal-hal negatif yang tak diinginkan.

Jadi, apa DPR dan pemerintah masih mengecam? Lalu mengulur waktu kasusnya tenggelam. Dan kelak, Republik ini menjadi hunian menggembirakan bagi kaum Sodom.

Mudah-mudahan ada langkah serius sebagai win-win solution. Semua pihak perlu urun rembuk menanganinya, tentu saja dibutuhkan tindakan humanis.

Mengedepankan akhlak,  sebelum semuanya terlambat. Atau memang sudah terlambat? Semoga belum.

Luka jiwa LGBT

Pernah mendengar jeritan hati penderita LGBT? Baik yang sudah taubat atau belum, tak berbeda jauh. Mereka tetap butuh diperhatikan. Disentuh hatinya.

Kebanyakan mereka berasal dari sekolah berbiaya mahal, orang kaya, ada pula yang berpendidikan tinggi. Bahkan memiliki jabatan ehem. Ternyata semua itu tidak menjamin.

Dendam sosial dari jiwa-jiwa yang terluka, kebanyakan menjadi latar. Tak melulu, tapi kebanyakan. Dendam kecil, asmara, lingkungan.

Rasulullah telah memberi rumusan komprehensif sebagai tindakan preventif. Memberi bekal ilmu. Bahkan sejak sebelum nikah. Pendidikan atau bekal ilmu memilih calon pasangan.

Lalu, pendidikan ketika bayi di dalam rahim.Pendidikan ketika mereka bayi, mulai tahniq, asi, dan segala macamnya. Semua diatur sejak anak berusia 0 sampai baligh dan dewasa.

Orangtualah menjadi kata kuncinya. Utamanya sumber nafkah dan keteladanan. Keberkahan nafkah, tak hanya mengakibatkan pada LGBT, tapi efek domino lain yang luar biasa.

Begitu pula keteladanan. Menyuruh anak membaca misalnya, tapi orangtua tak gemar membaca. Sama saja mendidik anak berdusta dan pada akhirnya membangkang. Pun dalam hal lainnya.

Hal amat penting, masalah jiwa. Ketika anak sudah luka jiwanya, banyak-banyak saja meminta maaf padanya dan berdoa. Dendam-dendam luka jiwa ketika kecil sulit mereka hapus dari hidupnya.

Sungguh, betapa konyolnya pengurus masjid yang kerap mengusir anak-anak. Tak jarang membentak. Anak dan remaja pun lari ke jalanan. Masjid malah menjadi tempat yang ditakutkan.

Mungkin tak berlebihan jika DKM turun membuat edaran pelarangan membentak dan mengusir anak di masjid bagi pengurus dan jamaah. Biarkan masjid menjadi tempat bermain mereka. Tempat yang nyaman bagi anak.

Rasulullah saja membiarkan cucunya bergelayut di punggungnya main kuda-kudaan ketika Rasul menjadi imam. Entah apa jadinya jika anak-anak menggelayut di punggung pengurus masjid yang kerap membentak.

Rasulullah juga pernah menggendong anak kecil ketika menjadi imam shalat. Saat sujud diletakan di bawah, saat berdiri digendong lagi.

Akhlak terhadap anak menjadi turut menjadi satu kunci mempersiapkan generasi bangsa ini. Jauhi memarahi mereka. Terlebih tantangan di akhir zaman yang makin menyeramkan.

Tak cukup penguasaan ilmu agama, hafalan dalil, apalagi klaim-klaiman sepihak. Tapi minim semangat mendengarkan, berdialog, membumi, mendekati hati ke hati. Bukankah agama adalah akhlak.

Sudahkah memeriksa sumber nafkah kita? Masih kah menikmati riba? Sudahkah mendekati anak hati ke hati? Semoga Allah menguatkan bangsa ini.

Allahumahdi kaumma Muhammad, fainnahum la ya'lamun. Allahumslih umatam Muhammad. Shalaallahu alaa Muhammad.

 

*) Pemerhati masalah sosial

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement