Senin 22 May 2017 06:00 WIB

48 Jam yang Mengubah Arah Dunia

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Sejumlah 48 jam yang dimaksud adalah kitaran lamanya kunjungan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump di Riyadh, ibu kota Kerajaan Arab Saudi. Tepatnya Sabtu dan Ahad (20-21/5) kemarin. Dalam lawatan kenegaraan dua hari itu, jadwal Trump sangat padat. Ada tiga agenda penting yang harus ia hadiri, selain beberapa pertemuan bilateral dengan sejumlah kepala negara.

Pertama, pertemuan dengan para pejabat tinggi Kerajaan Arab Saudi yang dipimpin Raja Salman bin Abdulaziz. Kedua, pertemuan tingkat tinggi dengan para raja dan amir penguasa negara-negara Teluk, yaitu Arab Saudi, Kuwait, Qatar, Uni Emirat Arab, Oman, dan Bahrain. Ketiga, pertemuan tingkat tinggi dengan negara-negara Islam yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Termasuk di sini adalah negara-negara anggota Liga Arab.

Seluruh 57 negara anggota OKI hadir dalam pertemuan dengan Presiden Trump. Sejumlah 37 di antaranya adalah kepala negara, baik presiden maupun raja atau amir. Indonesia diwakili langsung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Enam negara diwakili perdana menteri dan sisanya pejabat setingkat menteri.

Riyadh dipilih Donald Trump menjadi pos kunjungan ke luar negeri pertamanya sejak ia dilantik sebagai presiden AS pada 20 Januari 2017 lalu. Tentu bukan lantaran masalah senioritas atau junioritas. Lagi pula, meski Raja Salman kini berusia 82 tahun dan Trump 71 tahun, mana ada urusan kenegaraan berhubungan dengan usia?

Pemilihan Arab Saudi sebagai lawatan kenegaraan pertama Presiden Trump tentu karena berbagai alasan strategis. Trump menyebutnya sebagai “akan menciptakan sejarah besar yang akan mengubah arah dunia”. ''Saya sangat antusias tentang kunjungan saya ke Arab Saudi,'' katanya dalam sebuah tweet melalui situs jejaring sosial Twitter sebelum ia dan rombongan meninggalkan Washington.

Pertama, sebagaimana disebutkan Trump, Saudi merupakan negara yang menjaga dan memelihara dua tempat yang paling disucikan umat Islam sedunia. Maksudnya tentulah Makkah dan Madinah. Tepatnya Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Para raja Saudi sendiri lebih senang berjuluk Khadimul Haramain alias Pelayan Dua Tempat Suci. Selain itu, kantor pusat Organisasi Konferensi Kerja Sama Islam (OKI) juga berada di Saudi, tepatnya di Jeddah. Sekjen OKI pun dijabat oleh mantan menteri urusan sosial Arab Saudi Yusuf bin Ahmad al-Othaimeen. Sebagian besar dana operasional OKI berasal pula dari kocek Saudi.

Dengan posisi seperti itu-ditambah dengan kekuatan ekonomi dan pengaruh Saudi-Raja Salman tentu tidak sulit mengundang para pemimpin negara-negara OKI untuk menghadiri pertemuan tingkat tinggi dengan Presiden Trump. Sebuah gagasan yang langsung disetujui oleh Presiden AS itu. Dalam bahasa Trump, pertemuan dengan para pemimpin dari seluruh negara Islam (mayoritas berpenduduk Muslim) di Saudi adalah peristiwa bersejarah dan sangat penting.

Trump tampaknya menyadari betul berbagai pernyataan dan kebijakannya yang mengaitkan terorisme dengan Islam dan umat Islam selama ini telah menimbulkan kontroversi hebat. Kontroversi yang justru telah merugikan kepentingan Amerika sendiri, termasuk kepentingan ekonomi. Antara lain, karena banyak perusahaan-perusahaan AS yang beroperasi di negara-negara mayoritas Muslim yang warganya dilarang masuk AS.

Dalam perang melawan terorisme, yang diperlukan justru kerja sama dengan negara-negara Islam, bukan dengan meningkatkan Islamofobia, melarang warga Muslim masuk AS. Sebab, yang terkena dampak terorisme adalah negara-negara Islam sendiri sebelum negara lain. Karena itulah, kata Trump, “Kita perlu membangun kebijakan bersama dan mendukung sahabat-sahabat kami para pemimpin negara-negara Islam untuk memerangi ekstremisme, terorisme, dan radikalisme.”

Kedua, Riyadh dijadikan pos pertama kunjungan internasional Presiden Trump lantaran Saudi sekarang ini dianggap negara paling kuat dan paling berpengaruh di Timur Tengah, terutama setelah negara-negara kuat sebelumnya bertumbangan, seperti Irak, Mesir, Suriah, dan Libya. Bahkan, bagi negara-negara Teluk, Saudi sudah dianggap sebagai saudara tua. Hal itu mengindasikan berbagai kebijakan luar negeri negara-negara Arab dan Teluk akan mengekor di belakang Saudi.

Ketiga, Saudi dianggap negara terdepan dalam mengadang pengaruh Syiah di Timur Tengah dan paling lantang melawan kelompok-kelompok radikalisme, ektremisme, dan terorisme. Saudi sendiri telah beberapa kali terkena serangan bom para teroris. Sementara, AS menganggap musuh utama mereka sekarang ini juga terorisme. Serangan teror ke gedung pencakar langit World Trade Center di New York, 9 September 2001, yang menewaskan lebih dari 3.000 warga, hingga kini masih menyisakan trauma mendalam bagi warga AS.

Keempat, kunjungan pertama Trump sebagai presiden AS ke Saudi jelas untuk semakin memperkuat hubungan tradisional yang telah berlangsung lama, yaitu sejak pertemuan pendiri Kerajaan Arab Saudi Raja Abdulaziz dengan Presiden ke-32 AS Franklin D Roosevelt pada 1945. Hubungan kedua negara memang naik-turun. Bahkan, menurut media al-Sharq al-Awsat, terkadang sangat hambar, sebagaimana berlangsung pada masa kepresidenan Barack Obama.

Dalam bahasa Menlu Saudi Adel bin Ahmad al-Jubeir, hubungan AS-Saudi pada masa Presiden Obama adalah “sama tujuan tetapi berbeda cara mencapainya”. Sebagai misal, Obama berpandangan bahwa penyelesaian berbagai persoalan di Timur Tengah adalah dengan diplomasi, sementara Saudi berpendapat lain. Keberadaan militer AS masih diperlukan di Timur Tengah.

Kebijakan Obama yang dianggap lemah inilah yang kemudian dimanfaatkan kekuatan-kekuatan lokal untuk kepentingannya. Atau kekuatan jahat, menurut istilah Menlu al-Jubeir. Akibatnya, terjadilah instabilitas di Timur Tengah, antara lain munculnya kelompok-kelompok radikalis, ekstremis, dan teroris. Misalnya ISIS alias Islamic State of Iraq and Syria. Bahkan, kehadiran militer Rusia di Suriah juga akibat dari kelemahan kebijakan Obama.

Dengan latar belakang seperti itu, tidak mengherankan bila kunjungan Presiden Trump ke Saudi sangat diharapkan dan, karena itu, disambut dengan gegap gempita. Berbagai agenda penting pun disiapkan oleh tuan rumah. Di pihak Gedung Putih sendiri, kunjungan Trump ini juga dianggap penting untuk mengembalikan kepercayaan dan kewibawaan AS di kalangan sekutu-sekutu tradisional mereka di Timur Tengah.

Sebagai pengusaha yang jadi presiden, Trump tampaknya paham betul dengan trik promosi berikut ini: 'Buy one gets three or more'. Bukan hanya beli satu dapat dua, tapi beli satu dapat banyak. Atau seperti dikatakan oleh peribahasa kita 'sekali menyelam, dua tiga pulau terlampaui'.

Ya, seperti itulah kunjungan Trump ke Riyadh kali ini. Ia tidak hanya “mendapatkan” Saudi, tetapi juga negara-negara Teluk, bahkan juga negara-negara Islam (berpenduduk mayoritas Muslim). Banyak hal yang telah mereka bahas dan sepakati. Dari masalah penanganan terorisme, konflik Suriah, hingga persoalan di Yaman, Iran, Libya, dan seterusnya. Termasuk penyelesaian masalah Palestina-Israel. Dari soal ekonomi, politik, keamanan, hingga persoalan militer.

Intinya, sebagaimana ditulis sejumlah media di Timur Tengah, pembicaraan Trump dengan Raja Salman, para penguasa negara-negara Teluk, dan para pemimpin Islam dapat mengubah arah dunia menjadi lebih baik. Sebab, masalah dunia yang paling pelik adalah kawasan Timur Tengah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement