Jumat 05 May 2017 19:30 WIB

Buku Keislaman, dan Kesadaran Umat

Buku Mufakat Firasat
Foto: dopribadi
Buku Mufakat Firasat

Yusuf Maulana *

Dibandingkan Frankfurt Book Fair (FBF) yang sudah melewati penyelenggaraan berdekade-dekade (era modern sejak 1949), Islamic Book Fair (IBF) di tanah air tentu belum apa-apanya. Sengaja FBF (Frankfurter Buchmesse, dalam bahasa Jerman) dipilih sebagai perbandingan, meskipun IBF di Jakarta baru menginjak penyelenggaraan ke-16 untuk tahun ini. Perbandingan ini tidak lain untuk mengukur dinamika perkembangan dan pengaruh buku keislaman pada tahun-tahun mendatang.

Geliat buku-buku Islam di tanah air makin dinamis belakangan ini, terutama sejak reformasi politik bergulir. Dinamika buku-buku keislaman bukan saja ditandai dengan percepatan jumlah judul yang diterbitkan dan penerbit-penerbit anyar, namun juga keragaman tema dan kemunculan para penulis baru. Tema-tema yang diangkat lebih beragam dibandingkan saat kemunculan penerbit buku Islam awal 1990-an. 

Tatkala negara sudah tidak lagi mengontrol judul buku yang diizinkan atau dilarang beredar, praktis untuk menerbitkan buku tidak mengalami hambatan; aparat negara tidak lagi berwenang mencampuri peredaran buku. Di sinilah ruang lebar bagi juru-juru dakwah mengisi ruang publik. Menghadirkan wajah Islam tidak melulu dengan tampil di layar kaca, mengingat terbatasnya dai yang dilirik produser. Menampilkan wajah Islam secara tulus, terutama di tengah tantangan masih kuatnya prasangka dan fobia tak berdasar.

Lalu bagaimana kaitannya dengan momen pertemuan penerbit dan konsumen buku Muslim dalam momen IBF? 

Kehadiran penerbit dengan usungan tema yang beragam seyogianya modal untuk memosisikan IBF sebagai pasar intelektual. Berbeda dengan FBF yang menyerupai etalase toko, karena yang dipamerkan adalah hak penerbitan (sehingga tidak ada transaksi buku secara fisik). Sebagai “pasar”, IBF memang sarana bisnis untuk memasarkan buku. Namun, motif ekonomi ini melekat dengan peranan dalam memasarkan kekayaan intelektual. Karena itulah, parameter keberhasilan IBF kurang lengkap bila diletakkan hanya pada perluasan distribusi buku (yang akan diikuti peningkatan pendapatan), namun juga sejauh mana hal yang sama berlaku dalam perluasan ide. Mengadopsi penjualan hak penerbitan seperti yang berlaku di FBF, pelaku perbukuan keislaman di tanah air dapat memperluas pencarian dan penyebaran khazanah intelektual, baik antar penerbit nasional maupun dengan menggandeng penerbit dari luar negeri, yakni dengan saling barter, selain tentunya lewat transaksi normal. 

Penulis Muda  

Fenomena yang mesti diperhatikan dari dinamika buku keislaman adalah kekuatan para penulis baru, khususnya mereka yang secara usia terhitung muda. Mereka berasal dari intelektual muda yang pada masa Orde Baru belum mengalami pendisiplinan wacana. Atau bisa juga mereka mengalami langsung masa itu, yakni ketika kontrol negara tidak memungkinkan mereka untuk tampil ke permukaan. 

Saat Orde Baru tengah solid-solidnya, kontrol wacana yang awalnya berfungsi mengawasi perkembangan dan kebebasan intelektual masyarakat, berimbas pula pada respons penerbit dalam berproduksi. Adanya kontrol mengakibatkan penerbit memilih aman: daripada menerbitkan karya yang belum tentu terjual habis di pasaran, lebih baik menerbitkan karya penulis/intelektual yang dikenal publik. 

Bagi penulis-muda Muslim yang hendak memasuki orbit intelektual, hal itu menjadi tantangan berat. Bagaimana pun, kontrol wacana oleh negara berdampak pada terhambatnya percepatan intelektualisasi mereka. Pembatasan-pembatasan wacana menyebabkan akses dan apresiasi pada khazanah keilmuan terbatas. Pengaksesan dan pengapresiasian memang dilakukan, namun dilakukan seraya tersembunyi sehingga mengurangi aksentuasi penguasaan suatu khazanah. Meskipun demikian, generasi muda Muslim itu justru fresh meneriakkan ketimpangan sosial yang terjadi, salah satunya berwujud tulisan. Kenyataan ini selain kian mengokohkan citra subversif di mata penguasa, juga dipandang tidak prospektif oleh umumnya penerbit. 

Kejatuhan Orde Baru kemudian mengubah semua keadaan itu. Bagi penerbit maupun pembaca, reformasi membawa berkah tersendiri, yakni membuka keran kebebasan menghadirkan pelbagai tema. Corak pemikiran maupun cabang keilmuan apa pun dapat diterbitkan atau diakses. Dengan spektrum tema yang terbentang lebih luas ini, para penulis-muda Muslim diuntungkan. Kondisi ini membuka lebar-lebar ruang artikulasi mereka dalam mengeksplorasi kekayaan intelektual Islam. Demikian pula penerbit pun diuntungkan; penerbit akan menerima output dari kerja para penulis itu.

Selesai masanya saat gagasan yang berangkat dari refleksi atau diskusi mendalam atas kenyataan dilabeli sebagai karya subversif. Ketabuan dalam memilih tema kian tipis batasannya. Memanfaatkan dinamika ini, para penulis itu berkesempatan memunculkan diri tanpa harus mengantre di belakang seniornya. Gagasan-gagasan yang di era Orba rentan dicekal, kini menjadi sarana melejitkan diri dalam jajaran intelektual.

Meskipun demikian, beraktualisasi dengan bermodal kebebasan berekspresi semata, bila diniati untuk melejitkan popularitas penulisnya, maka rentan terlahirkannya karya-karya instan demi memenuhi permintaan pasar. Untuk itulah, perkembangan dan dinamika perbukuan saat ini perlu direfleksikan: sejauh mana perkembangannya bermakna bagi dunia intelektual Islam di tanah air? Juga, bagaimana pengaruh dinamika tersebut pada kualitas penulis-penulis muda Muslim yang baru muncul?

Jagat Maya

Sebelum terjadi dinamisasi buku seperti sekarang, selain kontrol negara, sebab lain belum menonjolnya karya penulis-muda Muslim terletak pada masih dominannya karya intelektual senior. Pada kondisi demokratis sebagaimana kondisi sekarang pun dominasi itu tidak otomatis berubah. Memang nama-nama penulis-baru bermunculan. Hanya saja, sejauh mana keorisinalan gagasan mereka? 

Benarkah dominasi peran intelektual senior pada mereka belum hilang sepenuhnya?Sadar atau tidak, penulis muda masih memiliki, sekurang-kurangnya, noktah pemikiran seniornya. Kenyataan ini mesti dimaklumi mengingat perjalanan intelektual mereka tidak bisa dipisahkan dari pengaruh para intelektual senior. Terutama pada masa pengontrolan wacana, penulis muda tidak hanya menjadikan intelektual senior sebagai rujukan namun juga idola dalam batas tertentu. Selain sumber rujukan, intelektual senior diposisikan sebagai “benteng mental” menghadapi tekanan alat negara.

Selain masih bergulat dari pengaruh seniornya, penulis-muda Muslim dihadapkan pada kenyataan baru dalam dunia buku: industrialisasi. Industrialisasi meniscayakan sebuah karya sebagai komoditas yang dipersiapkan untuk meraih laba. Implikasinya, industrialisasi berpotensi mengeroposi semangat ideal intelektualisme. Pada situasi ini, karya-karya yang diserap pasar menjadi indikator kesuksesan. Padahal, kesuksesan sebuah buku belum tentu berbanding lurus dengan kualitas isinya. Karena ditarget penerbit untuk memenuhi permintaan pasar, penulis muda tergoda menurunkan idealisme keintelektualannya: menjadi produsen komoditas pasar buku. Pada era industrialisasi buku ini, dapat dikatakan bahwa tantangan (utama) bagi kemunculan penulis-muda Muslim yang berkualitas justru berasal dari pelaku perbukuan sendiri, yakni terutama pemilik modal besar di bisnis ini. 

Berkaitan dengan hal itu, perlu dilihat pengaruh permintaan pembaca terhadap produksi buku. Bahwa pembaca turut pula memengaruhi pilihan tema, hal ini tidak bisa dipungkiri. Namun mengandaikan seorang penulis luluh, berkompromi dengan permintaan pasar, menunjukkan kapasitas intelektualnya rendah. Padahal, yang dikehendaki dari kemunculan penulis-muda Muslim adalah idealisme dan keotentikan gagasan bagi umat. Sebab, secara normatif mereka memiliki peran sekaligus tanggung jawab dalam keilmuan, baik sebagai pencetus maupun pelestari. 

Berkontribusi dalam bentuk buku bukan karya yang kecil. Ibarat peperangan, buku merupakan medan dakwah yang kadang bisa berlaku terminologi jihad pada kasus-kasus tertentu. Lewat karyanya, masyarakat akan memperoleh pencerahan. Meski pengaruh buku sebagai sumber rujukan kian tergerusi oleh media sosial, lambat laun masyarakat mendamba kedalaman dan akurasi informasi. Peredaran informasi-informasi dusta (hoax) di jagat maya menjadi satu tantangan sekaligus keuntungan bagi penulis muda Muslim untuk menghadirkan jagat pengetahuan yang berwibawa sesuai misi Islam yang menekankan kesahihan dan kebermanfaatan sebuah informasi atau pengetahuan.   

Terlebih hiruk-pikuk politik nasional dan beberapa kasus yang menyita perhatian dan emosi umat belakangan ini, ternyata menyerap sebagian intelektual-muda Muslim untuk bersuara aktif. Alih-alih sekadar menuangkan suara pembelaan di akun media sosial, kerja penulis-muda Muslim merupakan diversifikasi dengan keterlibatan menulis berupa buku. Dalam rangka mengabdi kepada umat, tidak perlu semuanya terkonsentrasi ke polemik politik di jagat maya, namun juga ada yang menopang dari segi pemikiran politik. Sebab, ada kecepatan dan keinstanan yang melekat dalam produk media sosial acap kali kurang melahirkan pembaca refleksif atau tipologi perenung. Yang ada kerumunan decak kagum namun kurang menyerap substansi yang dibahas. 

Karena itulah, hadirnya momen seperti IBF menjadi satu pengingat bahwa ada kalanya berkerumun di jagat maya perlu dilengkapi dengan menghimpun diri dalam rombongan pemburu buku. Ajang pameran yang menebarkan daya pikat diskon dan jumpa penulis seperti dalam IBF memang belum sementereng FBF. Penekanan untuk membudayakan literasi masih jadi pekerjaan rumah tahun ke tahun, yang hasilnya tidak perlu diharapkan cepat tertunai.  

 Seperti dikatakan Franz Rosenthal dalam The Technique and Approach of Muslim Scholarship (1947), “di samping semua penghormatan nyata terhadap pengetahuan hafalan, peradaban Muslim, sebagaimana setiap peradaban tinggi, adalah sebuah peradaban tulis.” Merawat peradaban tulis, seperti dengan menghadirkan wujud buku (fisik), tetap satu penanda penting kemajuan suatu bangsa. Tidak peduli dengan angka pengguna sabak atau ponsel pintar, kalau ternyata tidak sebanding dengan budaya membaca hasilnya percuma; hanya sebatas media penghiburan. Lain soal manakala semua peranti canggih itu berbanding lurus dengan minat untuk menjelajahi pengetahuan. Dan parameter untuk mengukurnya bukanlah dengan angka pengguna aktif di media sosial, melainkan seberapa produktif buku didaras oleh kaum terpelajar hingga warga biasa.

Walhasil, semoga saja IBF ke-16 yang dihelat 3-7 Mei ini lebih menukik ke kesadaran umum ketimbang sekadar ritual tahunan. Isu-isu keumatan yang mampu menyatukan aspirasi ragam kelompok, semisal Aksi Bela Islam, akan menemukan titik uji: apakah umat hanya sekadar bisa berkerumun saat ada musuh, ataukah mulai berpikir bagaimana memajukan diri dalam sebuah budaya ilmu? Sudah saatnya, wacana peradaban dibangun tak semata dengan berbangga dengan jumlah saat aksi, namun juga memperbesar nominal kaum terdidik Muslim yang peduli literasi. Meminjam kalimat Ketua Umum MUI Kiai Haji Ma’ruf Amin dalam sambutan IBF 2017, suatu perubahan terjadi karena banyak membaca, dan dari membaca melahirkan intelektual bahkan ulama (Republika, 4/5).Dari sini semangat iqra dan tidak mudah termakan oleh informasi sesat menjadi urat nadi sehari-hari Muslimin di tanah air hingga lahir tradisi melahirkan kaum intelek. n

* Kurator pustaka lawas di Samben Library, Yogyakarta, penulis buku Mufakat Firasat

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement