Senin 01 May 2017 05:00 WIB

Asimilasi, Cina, dan Retorika Dakwah

Ritual cheng beng yang dilakukan warga keturunan Cina di Bangka, ilustrasi
Foto: blogspot
Ritual cheng beng yang dilakukan warga keturunan Cina di Bangka, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Ketua Umum Yayasan Haji Karim Oei, Drs H Lukman Harun, adalah orang yang suka penasaran. "Mengapa sih orang Cina di Indonesia enggan memeluk Islam? Ini perlu diselidiki secara mendasar," katanya. Sejak Perang Dunia II, antara 2-3 juta WNI beralih ke Nasrani. Bahkan NSI (Nichiren Syosu Indonesia), sekte Budhisme asal Jepang, mengklaim punya sejuta pengikut dan mereka baru kedengaran akhir-akhir ini saja. Tapi, sebaliknya, baru sekitar 25 ribu WNI yang masuk Islam, agama dominan di negeri ini.

When you are in Rome, do as the Romans do! (Kalau di Roma jadilah orang Roma). Maka, etnis Cina di seluruh dunia menyesuaikan diri dengan pemukiman mereka yang baru. Di Thailand mereka memeluk Budhisme, di Filipina memeluk Katolik, agama yang dipeluk rakyat setempat. Begitupun di USA, Kanada, dan Eropa, orang-orang Cina yang merantau menjadi Katolik atau Protestan. Maka di negeri itu tidak ada 'masalah Cina'!

Namun, mengapa dalam kasus Indonesia ada kelainan yang mencolok sekali dan mereka jauh dari Islam, agama dominan di negeri ini? Saya lalu teringat pada buku 'The 6th Overseas Chinese State' (James Cook University of North Queensland, Townsville, Australia, 1990). Penulisnya Sie Hok Tjwan, seorang keturunan Cina dari Indonesia, yang kini jadi warganegara Belanda dan bermukim di sana. Buku ini membahas etnis Cina di Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Walaupun isinya sangat kontroversial, namun mengenai 'Asimilasi dan Islam' ada analisis yang cukup mengesankan tentang etnis Cina di Indonesia .

Mengapa enggan masuk Islam?

Dalam buku tersebut antara lain ada pandangan sebagai berikut: Pertama, para imigran dari Cina di zaman Cheng Ho (Abad XV) adalah penganut Islam, tapi yang datang belakangan justru berlatar belakang 'Sam Kauw' -- gabungan Budhisme, Taoisme, dan Konfusianisme. 'Agama nenek-moyang' ini yang dominan dan tampak di mana-mana. Dalam kurun lima abad para Muslim Cina zaman Cheng Ho telah terlebur (berasimilasi total) ke dalam mayoritas (pribumi).

Kedua, konversi ke Nasrani dimulai sejak pemerintahan kolonial. Agama Nasrani adalah agama penguasa, dan politik segregasi kolonialisme memisahkan orang Cina dari pribumi. Usaha penyebaran agama Katolik dan Protestan waktu itu (juga sekarang) didukung landasan organisasinya yang baik sekali. Juga dewasa ini, dana besar-besaran antara lain dari luar negeri tersedia bagi mereka. Sekolah dan rumah sakit mereka berkualitas tinggi. Hal ini merupakan faktor penyebab pula bagi tingginya persentase konversi ke agama Nasrani di kalangan keturunan Cina (di Indonesia).

Ketiga, diskriminasi oleh aparat Pemerintah Indonesia yang umumnya Muslim membuat etnis Cina merasa terancam secara rasial oleh kaum Muslimin. Mereka yang telah terasing dari latar belakang Sam Kauw itu lalu kembali lagi ke agama nenek-moyang, dan jumlah mereka yang beralih ke Nasrani pun meningkat.

Dikemukakan pula dalam buku itu bahwa salah satu kendala bagi etnis Cina memeluk Islam adalah praktik poligami dalam agama ini dan betapa mudahnya perceraian dapat terjadi -- suatu hal yang dianggap mengancam keutuhan dalam keluarga, landasan utama bagi masyarakat yang sehat menurut Konfusianisme. Kebanyakan orang mendukung kebebasan beragama dan membenci pemaksaan. Beralih ke Islam semata-mata untuk tujuan mengamankan diri pribadi terhadap huru-hara anti-Cina umumnya dirasakan bertentangan dengan prinsip-prinsip keagamaan.

Hal lain yang menjauhkan etnis Cina dari Islam adalah diidentifikasikannya Islam dengan fanatisme dan sebagainya. Perkembangan di sejumlah negara, di mana praktek-praktek amat ketat diterapkan kembali di bawah panji-panji fundamentalisme Islam, memperkuat pandangan di atas. Sie Hok Tjwan selanjutnya menguraikan lebih jauh analisisnya.

Sedikitnya ada tiga fenomena yang membuat dia memusatkan perhatiannya pada analisis tersebut. Pertama, masuk Islam untuk mencari 'selamat' diperbolehkan agama ini. Nabi Muhammad mengajarkan bahwa usaha dan ikhtiar untuk meringankan beban hidup anak-anak serta menghindari kesulitan-kesulitan di kemudian hari adalah baik dan berpahala. Hal-hal yang baik -- asal saja tidak bertentangan dengan agama -- sesuai dengan landasan tadi dan selalu diperbolehkan.

Kedua, dia melihat bahwa beralih ke suatu agama secara masal atau dukungan masal terhadap suatu partai yang diakibatkan oleh perubahan zaman telah terjadi di mana-mana. Nabi Muhammad SAW hijrah dari Makkah ke Madinah. Setelah Makkah direbut kaum Muslimin, penduduk kota itu semua menjadi Muslim. Contoh lain adalah Spanyol, yang hampir seluruhnya diduduki oleh bangsa Arab selama 700 tahun. Setelah Islam merosot dan kekuasaan Arab terusir dari Spanyol, kaum Muslimin praktis hilang sama sekali. Dewasa ini, penduduk Spanyol umumnya pemeluk Katolik. (Perlu saya tambahkan kendala sebaliknya telah terjadi di Konstantinopel. Tadinya semua penduduk di sana Nasrani, tapi setelah direbut oleh Islam, nama kota menjadi Istambul dan penduduknya semua kini memeluk Islam).

Ketiga, hal serupa terjadi dengan agama-agama dan keyakinan/ideologi lainnya. Setelah Republik Indonesia diakui, timbul di mana-mana dukungan besar-besaran terhadap Indonesia. Sama seperti setelah Mao Tse Tung menang di Cina. Waktu itu orang-orang di Cina mendukung Partai Komunis Cina secara masal. Dalam keadaan demikian, masyarakat memang cenderung mengikuti pihak yang perkasa dan berkuasa. Dewasa ini orang-orang Indonesia berkuasa di negeri mereka dan mayoritas penduduknya Islam. Karenanya, hanya manusiawi saja jika makin banyak etnis Cina di Indonesia beralih ke Islam. Dan sang waktu berada di pihak 'Gerakan Islam Keturunan Cina'.

Pak Harto dan Lee Kuan Yew

Betulkah sang waktu ada di pihak Gerakan Islam di kalangan Cina? Di halaman 159 buku tersebut disinggung pula diskusi Alamsyah Ratuprawiranegara di tahun 1981 dengan Pak Harto. Alamsyah menyampaikan kepada Presiden agar "semua sektor terbuka luas bagi WNI keturunan Cina sehingga mata pencariannya tidak terbatas pada berdagang melulu." Pak Harto menjawab bahwa "the speediest way to assimilation would be for ethnic Chinese to become Moslem." (cara paling cepat bagi asimilasi etnis Cina adalah masuk Islam).

Buku itu mengutip pula A. Josey, yang dalam biografi Lee Kuan Yew (1971) menulis bahwa Lee Kuan Yew berpendapat bahwa hambatan bagi pembauran atau asimilasi "is not because of language and culture, but more because of religion, a very important factor." ("Bukan karena bahasa atau kebudayaan, tapi lebih banyak disebabkan oleh agama, suatu faktor yang sangat penting.") Sayang sekali bahwa sementara tokoh politik yang ingin menyelesaikan masalah Cina kita secara tuntas masih tetap menutup mata terhadap "a very important factor ini.

Om Liem dan Islam

Di samping kendala-kendala di atas, apa yang menghambat masuk Islamnya etnis Cina adalah suatu faktor psikologis lain yang juga sangat penting. Akhir-akhir ini keadaan memang sudah agak berubah. Para etnis Cina mulai menyadari harus dekat dengan Islam. Terutama generasi mudanya mulai banyak yang beralih ke agama itu. Misalnya di Yayasan Haji Karim Oei/Masjid Lautze yang saya ikut kelola, kini setiap hari ada seorang WNI yang masuk Islam. "

Fenomena baru ini cukup menarik perhatian. Bahkan, umat di mana-mana mulai menanyakan kapan kita berhasil 'menjinakkan' hati 'Om Liem' (Liem Sioe Liong/Sudono Salim) pula. Dalam beberapa pertemuan beliau sebenarnya 'tidak menolak'. Tapi, bagi tokoh-tokoh seperti 'Om Liem' dan kawan-kawan yang paling mereka khawatirkan adalah apakah umat nanti menerima mereka dengan senang hati bila mereka beralih ke Islam. Sebab, jangan-jangan mereka harus menghadapi pertanyaan macam-macam.

Misalnya, "Mengapa kok sekonyong-konyong masuk Islam? Apa motivasinya? Mau cari selamat ya?" Atau lain-lain yang cukup memojokkan, walaupun yang bertanya mungkin hanya terdorong rasa oleh ingin tahu saja dan tidak bermaksud jelek sedikit pun. Di sini retorika dakwah, baik dari juru dakwah maupun umat Islam yang sudah bergabung dalam agama Muhammad SAW ini, menjadi patut kita diskusikan kembali.

Agama-agama lain sebaliknya tidak mempertanyakan hal-hal seperti itu, Bagi mereka, pokoknya 'masuk dulu, nanti kita sama-sama saling membina!' Atau, "Jangan sekali-sekali mempersulit orang yang mau masuk ke agama kita," kata mereka! Untuk membantu yang bersangkutan mengatasi kendala psikologis di atas, para calon Muslim memerlukan pelindung/pengayom (saudara angkat) sejak dini sekali.

Adapun pengayom yang paling 'afdol' adalah mereka yang Muslim sejak lahir dan sekaligus status sosialnya lebih tinggi. Bagi orang sekaliber Om Liem, tentunya tokoh-tokoh terkemuka di tanah air kita yang dimaksud adalah orang seperti Pak Harto dan lain-lain. Bagi om-om yang lebih kecil, status-sosial pengayomnya disesuaikan. Tapi, apakah di kalangan umat banyak yang ikhlas berpartisipasi sebagai pengayom (saudara angkat) dan bersedia membantu secara aktif menghadapi penanya-penanya yang terlalu 'bersemangat' itu? Bila banyak yang bersedia mendampingi Om Liem dan kawan-kawan niscaya banyak pula dari kalangan mereka (yang secara ekonomis sangat mapan itu) beralih ke kita. Insya Allah!

Penulis: H Junus Jahja, Sekretaris Dewan Pembina Yayasan Haji Karim Oei

sumber : Dilansir dari Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement