Ahad 30 Apr 2017 11:02 WIB

Kualifikasi Diri

Sejumlah perserta latihan membaca kitab kuning saat mengikuti Musabaqoh Kitab Kuning di Pondok Pesantren Miftahul Falah, Jalan Gede Bage Selatan, Kota Bandung, Kamis (6/4).
Foto: Mahmud Muhyidin
Sejumlah perserta latihan membaca kitab kuning saat mengikuti Musabaqoh Kitab Kuning di Pondok Pesantren Miftahul Falah, Jalan Gede Bage Selatan, Kota Bandung, Kamis (6/4).

Oleh Yusuf Maulana*

Saat meruahkan gelora pemikiran Islam versi pribadinya dalam “Pergolakan Pemikiran Islam”, Ahmad Wahib masihlah anak strata satu. Bermodalkan ilmu dari diskusi melompat-lompat tema, atau tematik tapi dalam rujukan guru filsafatnya, ia menilai Islam semestinya. Kekaguman pada sosok-sosok penyebar kedamaian dari luar Islam begitu membekas kuat. Termasuk dari sang romo di Realino, Yogyakarta. Hingga refleksinya menjadi perbincangan luas, terlebih media-media besar di Ibu Kota mengangkatnya. Namanya seolah pahlawan perubahan dalam kebebasan berpikir. Menyisakan satu tanya: apakah Islam yang di luar kegelisahan Wahib sungguh tidak ideal, mengekang kebebasan?

Wahib sejatinya pernah di mengkritik Nurcholish Madjid, aktivis HMI yang pernah berobsesi dengan gagasan islamisme. Di usia yang juga muda, sebatas jebolan sarjana, Nurcholish membuat tafsiran berislam ideal. Tentu saja versinya. Idenya kian “matang” selepas berguru ke Chicago, Amerika Serikat. Sekularisasi, menjadi tema yang memanaskan perdebatan saat ia menghadirkannya di tanah air. Banyak yang membela, tapi tak sedikit yang mencabarnya.

Wahib dan Cak Nur memang lahir dan tumbuh di lingkungan islamis. Saat bersua dengan pemikiran liyan, mereka terkagum. Darah muda bergelora. Ditambah kecerdasan yang dimiliki. Jadilah keduanya memberanikan diri memantulkan gelisah di hati dalam tulisan dan ucapan. Masih bisa dipersoalkan dan dikritik sebenarnya. Sebab, sebagaimana mereka usung soal kebebasan, hak pihak lain juga menguliti pemikiran mereka. 

Di sinilah syubhat kebesaran diri hadir. Media-media tertentu kadung menyanjung. Kesamaan agenda tidak terpandang penting. Yang terlihat dan kemudian dianggap wajar, dukungan media tertentu itu sebagai sebuah kebenaran. Dus, pembelaan mereka pada ketokohan diri pun meluputkan kemungkinan adanya kesilapan gagasan terlontar. Sementara di luar sana, sehimpunan fans pemikiran keduanya sudah terbentuk. Di kampus banyak akademisi menyorak menyanjung.

Padahal, kualifikasi melontarkan gagasan keislaman tidaklah sembarangan. Ada mekanisme dan keadilan menempatkan sesuatu. Naquib a-Attas menyebutkan konsep “adab”. Artinya, melontarkan gelisah dan refleksi keseharian mestinya meletakkan sesuatu pada tempatnya sesuai hierarki tertentu. Refleksi kita apakah sudah sejalan dengan kapasitas diri? Atau semata naluri dan nafsu belaka? Dikira firasat, tapi sebetulnya emosi darah muda belaka. Sayang, kata-kata pujian media memalingkan untuk jujur mengulik kebenaran.

Repotnya, konsep kebenaran mutlak dan tunggal oleh sebagian orang ditolak. Semua dianggap relatif. Tidak boleh ada pendakuan diri paling benar. Termasuk penentangan pada konsep hierarki dalam adab al-Attas tadi. Seakan anak strata satu bebas menafsiri Islam adalah absah saja. Semua boleh menafsirkan sesuai kapasitasnya, tak peduli kapasitas yang ada karut-marut dan bertolak pangkal dari epistemologi yang biadab! Inilah perayaan posmodernisme bagi sebagian kalangan intelektual untuk meruntuhkan klaim kebenaran tunggal.

Mengkritik mereka yang terlampau bergegas berani menguliti sendi agama dari modal ala kadar sebetulnya sebentuk rasa sayang. Bilapun ada salah dari si penasihat, lakukan nasihat balik; tunjukkan letak silap dan salahnya. Ini tradisi ilmu yang baik; bukan menilai kebenaran dari besarnya cakupan pemberitaan media massa besar.

Kualifikasi ilmu untuk menilai realita sesungguhnya patut jadi perenungan muslimin ketika merefleksi diri. Boleh ia menilai fakta di depan matanya. Tapi ketika refleksi kita ada yang menyebutkan bertentangan dengan tafsiran jumhur ulama, mari introspeksi, siapa tahu ada keliru alur berpikir kita. Tak salah merendah hati dulu sebelum jumawa mendakwa sebagai mujtahid muda hanya dari titel sarjana.

Kualifikasi kita apa untuk bilang itu? Tanya ini semacam filter memperbaiki diri; agar terus menimba ilmu. Agar tak sembarangan berujar. Ini bukan rambu terjal berpendapat bebas. Refleksi ini untuk mengukur kita siapa, di mana, dan baru sebatas apa? Bukan jadi sesuatu yang final dan melambungkan nama diri. Inilah yang relevan kita koreksi diri ketika banyak orang menyebutkan suatu fenomena tapi asal bunyi. Ada pejabat komentari ajaran agama orang lain, tapi tanpa dasar sama sekali. Ada pendukung si pejabat asal dukung komentar idolanya tanpa melihat ucapan dukungannya malah melawan fondasi ajaran agamanya. Inilah satu rambu agar kita cerdas di hari-hari mudah temui orang bermurah kata-kata diobral dengan cacian dan omongan tidak berilmu. []            

*Kurator Pustaka Lawas Perpustakaan Samben, Yogyakarta

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement