Sabtu 29 Apr 2017 01:00 WIB

Eksploitasi 'Radikal Islam' yang Usang dalam Kampanye Pilpres Prancis!

Kandidat presiden sayap kanan Prancis Marine Le Pen.
Foto: AP Photo/Kamil Zihnioglu
Kandidat presiden sayap kanan Prancis Marine Le Pen.

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Aji Teja H *)

Ketika menjelang Pemilihan Umum Presiden Prancis untuk putaran pertama, tepatnya pada tanggal 20 April 2017 waktu setempat terjadi teror yang mengguncang Paris. Teror tersebut telah menewaskan satu petugas polisi yang menembak mobil polisi. Selain itu pelaku menembak dua polisi dan seorang turis. Pelaku memang memiliki catatan kriminal dan dinilai radikal.

Pada malam itu pula dikabarkan bahwa ISIS memberikan konfirmasi bahwa serangan tersebut adalah dari mereka melalui media propagandanya Amaq. Tentu saja atmosfir persaingan politik dalam memperebutkan posisi nomor 1 di Prancis telah diberikan riak bagi situasi di Prancis termasuk dari wajah kampanye para kandidat dalam menyikapi situasi ini. Hal ini dapat dipahami dari peristiwa rentetan bom yang terjadi di Prancis bahwa teror dan radikal Islam tengah dalam proses penetrasi sebagai bagian masalah di Prancis.

   

Terhitung sejak 2015 saja sejak eksistensi ‘rekayasa’ ISIS digaungkan sebagai entitas negara oleh negara-negara dunia terutama AS. Prancis mendapatkan serangan teror sebanyak kurang lebih 13 kali dan 5 di antaranya menyita perhatian publik. Dari kasus penyerangan kantor majalah Chalie Hebdo, Peledakan di stadion Stade de France hingga teror Prancis beberapa waktu lalu. Rentetan ini, setidaknya telah dipahami publik akan eksistensi terorisme dan dilekatkannya terhadap Islam, sehingga memberikan pengaruh tatkala dijadikan amunisi kebencian terhadapnya demi membangkitkan kesatuan pandangan rakyat Prancis.

   

Di sinilah Le Pen, salah satu kandidat pilpres dari Partai National Front yang lolos menuju pemilu putaran kedua telah berhasil memanfaatkannya sebagai amunisi kampanye. Dalam pernyataannya 21 April 2017 lalu, Le Pen menyerukan penutupan semua masjid diseluruh Prancis dan mengusir ulama radikal. Pernyataan ini mesti dipahami sebagai bagian dari upaya legitimasi saja atas tujuan-tujuan mendatang Le Pen bagi masa depan Prancis yang justru bertolak belakang dengan pemberian rasa aman bagi rakyat Prancis atas eksistensi terorisme. Hal ini dapat dicerna dengan melihat kampanye Le Pen dalam menyerukan keluarnya Prancis dari Uni-Eropa demi menjalankan politik ekonomi proteksionis sebagaimana Trump.

   

Seruan untuk keluar dari Uni-Eropa adalah satu hal yang paling kontroversial dari seorang Le-Pen. Menurutnya, Uni Eropa adalah perampas identitas khas prancis. Hal ini dinilai melemahkan bangsa Prancis dan lemah dalam menghadapi berbagai bahaya.

Menilik survei yang dilakukan oleh Citi meski di bawah mayoritas akan kesediaan rakyat Prancis untuk keluar dari Uni-Eropa, Le Pen mendapatkan pijakannya untuk mendulang suara dan mengeksploitasi harapan Prancis untuk keluar dari Uni Eropa. Ia berjanji mengikuti jejak inggris untuk melakukan referendum sebagai alat legitimasi legal keluar dari UE.

Terlebih, bagi Le Pen UE menjadi penyebab maraknya teror di prancis, terutama dengan kebijakan UE yakni ‘Free Movement’ yang menyebabkan masuknya imigran-imigran asing ke Prancis. Di sinilah ruang penyusup aktor-aktor teroris masuk. Selain itu, masuknya imigran menjadi beban negara dalam masalah penghidupannya. Padahal, orang Prancis belum tentu mendapatkan pekerjaan yang utama dan layak, sedangkan datangnya imigran hanya menambah beban saja. Seolah Le Pen mengampanyekan “Franchmen First” sebagaimana Trump.

   

Namun, meski terorisme telah dalam proses penetrasi sebagai faktor yang mempengaruhi hidup warga Prancis, tampaknya tidak cukup berpengaruh dari kenyataan publik. Mengingat, di Eropa terorisme merupakan ancaman yang relatif kecil bagi orang-orang. Hal yang terjadi sebenarnya adalah eksploitasi media dalam upaya penetrasi isu tersebut sebagai bagian integral dari ancaman penghidupan masyarakat terkhusus di Prancis sendiri.

Berdasarkan laporan TE-SAT, ancaman kematian dan banyaknya orang yang meninggal diakibatkan oleh kecelakaan transportasi, kebakaran daripada teroris. Indeks terakhir hanya 0,4 persen atas serangan teroris di UE yang dilakukan atas nama Islam. Realitas tersebut menunjukan bahwa faktor pemilih atas Prancis kecil dipengaruhi oleh pertimbangan ancaman terorisme, walaupun begitu masif media mengintimidasinya. Hal ini, di picu pula dengan mekanisme politik prancis yang menjadikan Le Pen lupa akan problem domestik justru menabur kondisi internasional yang tak berkorelasi semisal teror sebagai acuan untuk mendulang trust warga prancis.

   

Pada titik ini, Le Pen harus berhadapan dengan gigih terhadap Macron. Lawan kandidat calon presiden satu-satunya yang tersisa sejak penyisihan pada Pemilu putaran pertama minggu lalu. Le-Pen harus berhadapan dengan eksploitasi Macron terhadap isu-isu domestik dan cenderung dihadapi penuh oleh warga Prancis di hari-harinya. Isu-isu tersebut melingkupi pengangguran yang menimpa kangan muda hingga persentase 25 persen.

Terhitung pada masa Hollande, pengangguran mengalami peningkatan. Topik lainnya adalah penetapan 35 jam per minggu untuk bekerja. Isu-isu ini semakin menghangat dalam problem berburuhan tertuama respons atas RUU Perburuhan di Maret-Mei tahun 2016. Selain itu, krisis perumahan dikota-kota besar menjadi sala satu masalah di Prancis. Properti meroket dan melampaui upah minimum. Akhirnya, pemukiman pinggiran Banlieue menuai kerusuhan. Penggusuran secara halus melingkupi prancis.

   

Menilik beberapa hal tersebut, upaya penetrasi isu terorisme yang belum begitu genap menjadi bagian dari hidup warga prancis, justru yang dihadapi adalah problem pekerjaan, perburuhan dan rumah layak. Maka, jelas Le Pen tengah menyeru disebrang jalan dibandingkan Macron yang telah bersanding dengan Warga Prancis dalam ranah objek eksploitasinya untuk diagregasi dalam kampanye publik.

Program-program macron tampaknya mengakomodir dari beberapa calon yang tersingkir menggantikan poros pemilih. Terlebih Hollande memanfaatkan posisi aktif saat ini dalam memberikan seruan kepada publik untuk memilih Macron.

   

Kebijakan Macron untuk Prancis menjawab tantangan-tantangan sejak dari domestik tiada lain tetap mengukuhkan UE sebagai jaminan stabilitas domestik. Ia akan membuat dewan keamanan Eropa untuk mempertemukan militer, diplomatik dan interlejen dari negara-negara anggota. Ia berencana pembentukan markas permanen untuk NATO.

Ia pun menjawab problem domestik dengan target hasil lima tahun sebesar 50 M Euro yang diinvestasikan di bidang pelatihan kerja, pertanian, transportasi dan kesehatan. Ia pun berencana memotong pajak perusahaan 33  persen. Begitulah kebijakan kedepan Macron, seorang pro-bisnis yang berusaha untuk mengarak kapital pada kursi orang Prancis dalam penguasaannya.

   

Terlihat bahwa Macron membentuk dasar-dasar eksploitasi isu sejak akar rumput. Bahkan pembentukan En Marche! Kondisi ini seperti corong yang memasukan kondisi problem-problem regional Uni-Eropa untuk disepakati warga prancis. Terlihat dari pengukuhan Macron terhadap organisasi regional tersebut, UE. Keberadaan UE adalah penyelamatan ambisi kepemimpinan Prancis dihadapan negara-negara besar dalam skala Eropa.

Hal ini tentu saja menjadi bergaining position terhadap Trump. Pilihan yang masih tepat bila hendak melangsungkan Prancis dikancah internasional dibandingkan Le Pen yang mengikuti jejak Brexit. Tidak heran, Macron rutin mengunjungi Merkel dan senantiasa menegaskan kerja sama yang lebih erat untuk prancis dan jerman dalam menatap Uni Eropa di masa yang akan datang.

   

Sepertinya, upaya Le Pen dalam menjilat isu teror yang telah lama digaungkan dan tengah dalam proses penetrasi mendalam ini mengarah kepada kegagalan. Sentimen terhadap 'paras' luar Macron tidak cukup berarti dibandingkan platform yang ditawarkan. Beberapa poin di atas melingkupi hubungan Macron dengan Merkel, Kedudukan Macron yang representatif atas kebencian sikap provokatif AS dalam persaingan di kancah internasional, serta pengetasan problem-problem domestik yang dipandang realistik hingga memiliki sumbu yang sama dengan polugrinya mengarak Macron kepada potensi kemenangan pada pemilu putaran kedua mendatang.

   

Akan tetapi, arah Macron tidak dapat dipastikan peruntukannya semata-mata merealisasikan target-target pengentasan problem domestik. Hal ini terlihat tatkala Macron tidak berjalan sendiri diatas panggung rakyat. Macron hanya aktor yang menghubungkan dan menganyam sumbu antara akar rumput dengan problem regional Eropa yang akut. Dan telah menjadi korban konstelasi global yang memburuk. Hal ini dapat dilihat dari hubungan Macron dengan Merkel yang intensif jelang pemilihan umum putaran pertama.

Terlebih posisi Merkel adalah “raja” ekonomi yang menguasai dan terus melanjutkan penguasaan ekonomi dikawasan eropa timur. Merkel sebagai pemegang kuasa de facto Uni Eropa mendapatkan intimidasi dari Trump atas tagihan anggaran pendanaan NATO. Trump menyerahkan tagihan sebesar 490 miliar dolar AS kepada konselir Jerman itu.

Di tengah potensi efek domino dari Brexit, Merkel harus berjuang mempertahankan Uni Eropa dan kepemimpinannya atas Eropa karena disitulah jejaring ekonomi Jerman dapat dituai dengan besar. Prancis sebagai mitra yang memperjuangkan UE sesuai dengan kesepakatan Elysee mau tidak mau harus turut mempertahankannya. Satu sisi, Prancis berambisi kuat memimpin koalisi UE, sisi yang lain dengan sangat keras menentang provokasi Trump.

Demikianlah kombinasi dua negara Jerman dan Prancis akan tetap memperkukuh Uni-Eropa. Terbukti dari pertemuan elit UE di Melta dengan penuh kritikan tajam terhadap Trump bahwa tidak seharusnya Trump mengintervensi urusan UE. Hanya UE yang menentukan nasib UE. Tak terkecuali Hollande yang menuntut bangsa prancis memilih Macron menyatakan bahwa Trump harus keluar dari urusan UE.

   

Bukan berarti pernyataan tersebut menghilangkan entitas Trump (AS) hilang dari pengaruh. Namun reaksi ini menunjukan bahwa UE tidak terpengaruh oleh kebijakan American First yang memproteksi diri akan kebijakan politik ekonominya. Termasuk proteksionisme ala Inggris dengan Brexit tak cukup meruntuhkan komitmen UE terkhusus Jerman-Prancis. Namun demikian, AS dengan segala potensi yang telah tersebar diseluruh penjuru dunia tidak terlihat utuh dengan Kebijakan Proteksionisme.

Boleh jadi hal ini hanyalah pengelabuan saja. Diawal kepemimpinannya Trump menunjukan sikap arogansinya dan mengeksploitasi terjadinya ketegangan diberbagai kawasan. Misalnya seperti di semenanjung Korea, Serangan balasan di Suriah atau MOAB di Afganishtan. Provokasi militer yang keras ini memaksa tekanan ‘emosional’ dari berbagai negara. Tatkala desakan AS terhadap Pimpinan Eropa, Merkel atas anggaran militer tentu saja menjadi hal yang patut dipertimbangkan. Sedangkan, Kondisi ekonomi Merkel dikuatkan oleh UE itu sendiri dengan pola pasar bebas.

   

Dengan melihat hal itu, tidak ada pilihan lain bagi prancis kecuali mengangkat Macron sebagai preisden mendatang. Hal ini harus ditunjang sejak dari problem akar rumput yang dilegitimasikan kepada kepentingan Uni-Eropa. Macron menjadi aktor yang diperalat dan menjilat hegemoni Rezim Uni-Eropa itu. Realitas inilah yang memastikan sejak awalnya bahwa kampanye Le Pen tentang Radikal Islam hanyalah bualan kosong dan usang.

Penetrasi akan isu tersebut sudahlah diketahui umum dan kebijakan Prancis yang sekular memposisikan agama pada poros pemisahannya dengan politik adalah hal yang pasti terjadi di negara itu. Dan Umat Islam tidak akan merasakan hal yang berbeda sebagai korban eksploitasi slogan ‘Radikal Islam’ dari perubahan rezim karena masih bernaung pada pola monopoli yang sama yakni persaingan bebas, monopoli Kapitalisme.

   

Alhasil, Pemilu Prancis dengan naiknya Macron hanya akan membawa petaka bagi warga prancis itu sendiri, pengangguran, harga properti yang meroket, invasi imigran dan upaya penetrasi teror sebagai pengalihan isu kebobrokan rezim Macron dikemudian hari akan senantiasa menjadi makanan sehari-hari. Bahkan jauh dari pada itu, diangkatnya isu teror dan merujuknya kepada radikal Islam akan sama saja memberikan kerugian identias Muslim di Prancis.

Tidak jauh beda penghinaan rezim Prancis baik Hollande maupun Macron, keduanya akan menomorsatukan syahwat politik mereka demi mendulang akumulasi kapital dibandingkan kebutuhan warga Prancis apalagi umat Islam yang dipayungi konstitusi terburuk sepanjang sejarah di negeri itu karena kungkungan kapitalisme dan hegemoni sekularisme yang akut!

*) Analis MAin (Muslim Analyze Institute)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement