Selasa 25 Apr 2017 05:17 WIB

Hoax, Masyumi, dan PKI: Kisah Berita Bohong di Tahun 50-an

Simpatisan dan kader PKI.
Simpatisan dan kader PKI.

Oleh: Lukman Hakiem*

Hoax, berita bohong, desas-desus, gosip, dan yang sejenisnya, barangkali sudah berusia seumur manusia. Bukankah Nabi Adam dan Siti Hawa tergoda mencicipi buah khuldi yang terlarang itu lantaran termakan informasi hoax yang dilancarkan oleh iblis?

Nah, terhadap hoax, dan informasi tidak jelas yang meragukan, Islam memerintahkan agar kaum Muslim selalu melakukan tabayun, klarifikasi. Itu dimaksudkan supaya umat Islam tidak mencelakakan suatu kaum lantaran kebodohan dan kecerobohannya di dalam menerima dan menyebarluaskan informasi.

Di zaman teknologi canggih sekarang ini, berbagai informasi yang entah benar atau tidak benar, berseliweran selama 24 jam. Saking sesaknya informasi itu, tidak heran jika seorang tokoh pers nasional dari suatu majalah terkemuka, seorang dosen di perguruan tinggi terkemuka, seorang pemimpin sebuah lembaga penelitian terkemuka, seorang politisi, hingga seorang awam, bisa terlibat dalam penyebarluasan berita yang tidak benar.

Di jagad politik, apalagi di musim kampanye pemilihan umum: pileg, pilpres, dan pilkada, produksi dan distribusi berita hoax menjadi tidak terhingga. Asal menguntungkan calon yang didukung, atau merugikan lawan politik, tanpa proses tabayun, berita yang diterima langsung disebarluaskan. Urusan hoax atau bukan, sama sekali tidak menjadi perhitungan.

Bagaimana partai politik dan para politisi di masa lalu, di masa teknologi informasi dan komunikasi belum secanggih sekarang, mengelola simpang-siur informasi?

Di dekade 1950-an, terdapat dua partai yang secara ideologis tidak pernah bisa bertemu: Masyumi dan Partai Komunis Indonesia.

Bagi Masyumi, seperti dinyatakan oleh Majelis Syuro Pusat yang bersidang selama Muktamar VII, 28 Rabi'ul Akhir-3 Jumadil Awal 1374/23-27 Desember 1954 di Surabaya punya sikap terhadap PKI dengan idelogi komunisnya.

Sikap tersebut adalah: Pertama, nyatalah bahwa falsafah komunisme (historisch-materialisme) bertentangan dengan Qudrah-Ilahiyah. Kedua, nyatalah bahwa perjuangan kaum komunis dan pelaksanaan komunisme sebagai akibat dari falsafahnya itu sepanjang sejarahnya adalah bertentangan, menentang, dan memusuhi hukum syariat Islam serta umat Islam.

Ketiga, berdasarkan segala yang tersebut itu, nyatalah bahwa komunisme itu menurut hukum Islam adalah kufur. Keempat, barang siapa yang menganut komunisme dengan pengertian, kesadaran dan keyakinan akan benarnya paham komunisme yang nyata-nyata bertentangan, menentang, dan memusuhi Islam itu, maka adalah ia hukumnya kafir.

Kelima, seorang Muslim yang mengakui komunisme atau organisasi komunis dengan tidak mempunyai pengertian, kesadaran dan keyakinan atas hakikat falsafah, ajaran, tujuan, dan cara-cara perjuangan komunis, maka ia adalah sesat dari agama Islam. Keenam,  orang yang sesat itu wajib diberi pengertian tentang kesesatannya itu dan kekufuran komunisme. Dan orang yang sesat itu wajib pula menyadari kesesatannya dan wajib bertaubat kepada Allah dan kembali kepada agama Islam.

Sebagai konsekuensi dengan sikap ideologisnya yang antikomunis itu, para pemimpin Masyumi di segala tingkatan pun berusaha keras mengingatkan kader dan anggotanya bahwa perbedaan Masyumi dengan PKI adalah perbedaan ideologis. Oleh karena itu pertarungan antara Masyumi dengan PKI bukanlah pertarungan fisik.

Para pemimpin Masyumi tidak cuma mengingatkan hal itu dengan kata-kata, tetapi juga dengan contoh untuk diteladani. Banyak kesaksian, Ketua Umum Masyumi M Natsir, kerap terlihat minum teh bersama Ketua Umum PKI DN Aidit di kantin gedung parlemen. Juga kisah populer tentang AR Baswedan yang selama sidang Majelis Konstituante di Bandung memilih tidur satu kamar dengan anggota Konstituante dari PKI.

Seperti diceritakan oleh Remy Medinier dalam "Partai Masyumi Antara Godaan Demokrasi dan Islam Integral" (2013:143), Ketua Masyumi Cabang Bandung, Umar Suriatmadja, sering mengundang para anggota PKI setempat untuk menghadiri acara-acara kenduri keluarga atau perayaan-perayaan keagamaan di rumah atau di kantor Masyumi.

Para aktivis PKI itu bukan hanya memenuhi undangan pemimpin Masyumi, bahkan di kesempatan lain mereka mengundang lawan ideologisnya itu ke tempat  mereka. Betapapun memiliki perbedaan ideologi yang tajam, berbalas kunjungan rupanya menjadi tradisi di kalangan para pemimpin Masyumi dan PKI.

Uniknya, pada beberapa peristiwa, pemimpin Masyumi dan PKI turun tangan sendiri untuk mencegah bentrokan fisik antara pengikut kedua partai. Pada suatu hari, di tahun 1955, seorang anggota Masyumi ditemukan meninggal dunia dalam keadaan yang menurut orang-orang: mencurigakan. Desas-desus dan kabar burung segera merebak. Orang-orang, bahkan media massa, segera mengaitkan kematian anggota Masyumi itu dengan serangan simpatisan PKI.

Menanggapi tuduhan sengit dan pembentukan opini yang memojokkan itu, PKI langsung mengirim utusan, menemui Ketua Masyumi Jawa Barat, M Rusjad Nurdin, dan Ketua Masyumi Bandung, Umar Suriatmadja. Para pemimpin Masyumi dan PKI kemudian melakukan penyelidikan bersama atas peristiwa itu. Petunjuk awal penyelidikan, khususnya laporan pemeriksaan medis, menunjukkan bahwa anggota Masyumi itu meninggal secara wajar. Bukan akibat tindakan kekerasan.

Umar Suriatmadja tidak mampu menyembunyikan keheranannya atas munculnya gosip penganiayaan. Umar makin heran karena desas-desus itu muncul dalam pemberitaan pers.

Pemimpin Masyumi itu kemudian mengingatkan khalayak dan media massa terhadap salah satu ajaran Islam: Sangat berbahaya melancarkan tuduhan tanpa bukti!

Ajaran Islam itu tetap berlaku dan relevan sejak dahulu, sekarang, dan nanti. Bahkan, ilaa yaumil akhir (sampai datangnya kiamat).

 

*Lukman Hakiem, peminat sejarah, mantan anggota DPR, staf Wapres Hamzah Haz dan M Natsir.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement