Jumat 21 Apr 2017 22:14 WIB

Cerita Jamaah Sembilan Bintang di Haul Buntet Pesantren

Jamaah Sembilan Bintang.
Foto: Istimewa.
Jamaah Sembilan Bintang.

Cerita Jamaah Sembilan Bintang dan Haul Buntet Pesantren

Oleh Fia Nur Aulia*

Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati, Bandung, Jawa Barat

 

Fenomena pilkada DKI Jakarta, disepakati maupun tidak, telah membentuk opini Islam perkotaan yang kurang toleran. Berbagai pemberitaan turut membentuk opini tersebut. Islam perkotaan pada 1980-an ramai dibicarakan sebagai harapan bangkitnya umat Islam. Saat itu, generasi muda yang ada di kampus-kampus umum mulai giat mengkaji Islam.

Istilah perkotaan itu sendiri bermasalah karena mengkategorikan umat Islam dalam dua kategori yang berbeda secara substansial. Umat Islam kota yang memiliki karakter kritis, terbuka, dan cenderung formalitas pada satu sisi. Di sisi lain, ada Islam pedesaan yang cenderung tertutup, kaku, dan kuat pada tradisi.

Tipologi Islam pada saat itu menggambarkan dua kubu besar umat Islam di Indonesia. Kubu modernis yang diwakili oleh muhammadiyah dan kubu tradisionalis yang diwakili oleh Nahdlatul Ulama.

Seiring perkembangan masyarakat, Islam perkotaan pun menampilkan wajah lain Islam yang kurang sedap dibicarakan. Di tengah wajah Islam perkotaan yang demikian, ternyata ada wajah lain dari masyarakat perkotaan yang menampilkan sisi lain spiritual masyarakat metropolitan.

Adalah satu kelompok pengajian yang menamakan dirinya jamaah sembilan bintang. Kelompok pengajian ini terdiri dari kelas menengah perkotaan yang berlatar belakang profesi yang berbeda. Ada yang bekerja di perusahaan multinasional, karyawan swasta, birokrat, sampai pengusaha.

Jamaah ini ditemui dalam acara Haul Armarhumin Sesepuh dan Warga Buntet Pesantren, Sabtu 15 April 2017. Ketika ditemui, mereka sedang khusuk berdoa dengan jamaah lain, yakni para kyai, ulama, alumni, dan santri Buntet Pesantren.

Menurut ketua jamaah sembilan bintang, Oni Komaruddin Panatagama, mereka datang ke acara ini karena ingin mencari berkah. “Kami datang dengan sebagian jamaah saja, ada 16 orang yang bisa bergabung. Kalau semuanya datang bisa 20 sampai 30 orang,” katanya.

Oni menerangkan, pada awalnya jamaah sembilan bintang terbentuk dari kumpul-kumpul bersama di selasar Masjid Islamadina, Perumahan Griya Kalibaru , Cilodong, Depok, Jawa Barat. Ternyata, jamaah yang berkumpul itu memiliki kegelisahan spiritual yang sama. “Kami merasa terlalu mengejar materi sehingga abai terhadap urusan spiritual.”

Anggota jamaah sembilan bintang, Agus Mansur mengatakan, kegelisahan anggota jamaah atas pencarian jatidiri akhirnya terjawab dari kajian tasawuf dan zikir bersama yang biasa dilakukan setiap malam Jumat di Masjid Islamadina.

Anggota jamaah lainnya, Yana Suryana yang juga cicit Prabu Siliwangi menyatakan, tiap malam Jumat jamaah berkumpul di masjid dan berniat mencari ridha Allah semata-mata sekaligus mendoakan orang tua masing-masing. “Dan ternyata cara-cara seperti itu sesuai dengan hati nurani kami,” ujar Yana, karyawan di perusahaan multinasional yang dituakan jamaah.

Menurut Oni, cerita jamaah sampai ke Buntet Pesantren dan mengikuti acara haul tahunan tersebut juga memiliki kisah sendiri. Salah satu khatib di Masjid Islamadina kebetulan adalah pengurus PBNU dan salah satu pengasuh di Buntet Pesantren, yakni KH Farid Wajdi (ayah saya).

Dari cerita jamaah sembilan bintang ini, bisa terekam bahwa sesungguhnya ada banyak jamaah dari perkotaan serupa yang dapat ditemui di acara-acara keagamaan. Walaupun corak keberagamaannya lebih dekat dengan kelompok tradisional, tetapi mereka tidak berafiliasi dengan ormas mana pun dan terbentuk secara alamiah karena adanya kesamaan jalan yang dipilih. Latar belakang pendidikan dan keluarga pun sebagian besar dapat dikatakan sekuler.

Anggota jamaah lainnya, Maulana Malik Arubusman mengatakan, selain zikir bersama, kegiatan lain yang kerap mereka lakukan adalah ziarah ke makam-makam para wali, mengunjungi pesantren, dan santunan bagi orang-orang yang kurang mampu.

“Kami sepenuhnya sadar, ada hak orang lain dari harta dan rejeki yang diberikan Allah swt kepada kami,” kata Malik yang juga cucu langsung Raja Ende.

 

 

 

* Putri KH Farid Wajdi, pengasuh PP An-Nur Buntet Pesantren, Cirebon, Jawa Barat

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement