Jumat 14 Apr 2017 16:35 WIB

Pesantren dan Tradisi Ilmiah

Bahtsul Masail di Buntet Pesantren, Cirebon, Jawa Barat, Kamis (13/4) malam.
Foto: Dokumentasi Buntet Pesantren, Cirebon.
Bahtsul Masail di Buntet Pesantren, Cirebon, Jawa Barat, Kamis (13/4) malam.

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh: Mohammad Fathi Royyani *)

 

Jika definisi tradisi ilmiah adalah perdebatan rujukan untuk mencari argumen yang kuat dalam mendekati kebenaran, maka pesantren sudah lama mempraktikkan hal tersebut.

Literatur-literatur klasik (kitab-kitab kuning karya ilmuwan terdahulu) selalu dikaji dan dipelajari. Ada yang tekstual dan ada yang kontekstual dalam memahami literatur. Semakin banyak kitab yang dikaji dan dipelajari oleh seseorang, maka semakin dalam dan luas pemahaman terhadap literatur. 

Dialog teks dan realitas

Perdebatan ilmiah sejatinya adalah salah satu tradisi Islam yang dinamis dan terus berkembang seiring dengan realitas yang dihadapi seseorang. Ayat atau teks Alquran dan hadis yang dikaji bisa jadi hanya satu ayat, namun dampak hukum yang berkembang bisa puluhan, tergantung pada realitas yang dihadapi oleh ahli agama. Karena itu, menjadi wajar apabila Imam Syafi'i berbeda pendapat dengan Imam Malik, Imam Hanafi berbeda dengan Hambali, dan seterusnya. Keempat ulama di atas, dalam tradisi agama Islam, dikenal dengan pendiri Mazhab atau school (aliran pemikiran).

Bahkan dalam salah satu Mazhab yang empat  tersebut ada banyak perdebatan. Di tiap-tiap Mazhab ada banyak literatur ilmiah yang penuh dinamika pemikiran. Perdebatan dalam memahami sumber agama masih terjadi sampai sekarang. Pendapat-pendapat hukum masih terus dilahirkan dengan segala plus-minusnya, seiring dengan problem yang dihadapi oleh manusia.

Salah satu ruang perdebatan yang masih ada dan terus dipelihara sampai sekarang adalah Bahtsul Masail (pembahasan masalah-masalah). Di sini, suatu masalah hukum dikaji melalui berbagai sudut pandang.

Satu pendapat tidak hanya diuji argumentasinya dengan pendapat lain, tetapi juga dengan realitas. Bisa jadi satu pendapat lebih mendekati kebenaran suatu ayat tetapi jauh dengan realitas.

Selain itu, satu argumen hukum yang diajukan oleh seseorang juga akan diuji dari aspek gramatikal (nahwu-shorof), realitas, dan berbagai aspek lainnya. Melalui pengujian seperti ini, suatu argumen dapat dikatakan cukup kuat sebagai rujukan dalam memutuskan hukum suatu persoalan. Bahkan bisa jadi tidak ada kesepakatan dan produk hukum yang dihasilkan menjadi banyak alternatif.

Seperti Bahtsul Masail yang dilakukan dalam rangkaian acara Haul AAlmarhumin Sesupuh, Para Kyai, dan Warga masyarakat Buntet Pesantren yang dilaksanakan pada Kamis (13/04).

Dimulai pukul 20.00 WIB, para kyai dari wilayah III Cirebon sudah berkumpul untuk membahas masalah-masalah hukum. Masing-masing kyai mewakili pesantren yang diasuhnya. Puluhan literatur klasik dihadirkan di tengah-tengah peserta. Adapun persoalan yang dibahas adalah hukum tax amnesty, shalat Jumat di lapangan, dan hukum parkir di mal yang tidak ada transaksi.

Setiap argumen hukum yang diajukan oleh seorang peserta akan diuji kebenarannya oleh peserta lain. Baik cara dia memahami suatu teks secara gramatika maupun melalui adanya realitas lain.

Cara ini menunjukkan bahwa memahami teks agama tidaklah semudah yang dibayangkan selama ini. Ada banyak pendapat, baik hukum, teologi, politik, dan lain sebagainya dalam memahami teks agama (ayat). 

Adalah gegabah memahami teks agama (Alqurab dan hadits) dari terjemahan dan memutlakkan kebenaran pemahamannya, tanpa melalui perbandingan dengan teks lainnya dan realitas yang berkembang dinamis.

 

 

*) Pengasuh Pesantren Al-Firdaus dan Annur Buntet Pesantren Cirebon, Jawa Barat.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement