Selasa 11 Apr 2017 22:48 WIB

Geliat Politik Akhirat

Red: M.Iqbal
Mega Saputra, Angkatan Muda Muhammadiyah, Pendamping Program Keluarga Harapan Kementerian Sosial RI.
Foto: Dokpri
Mega Saputra, Angkatan Muda Muhammadiyah, Pendamping Program Keluarga Harapan Kementerian Sosial RI.

REPUBLIKA.CO.ID, 

Oleh : Mega Saputra *)

Perhelatan politik negeri telah bertengger pada momentumnya. Momentum di mana kedewasaan berwarga dan bernegara kita diuji dengan dua kutub yang menunjukkan sikap politik kita. Politik rasional yang menjangkau kebenaran dengan data dan argumen versus politik akhirat yang melegitimasi kebenaran politik dengan dogma dan sabda.  

Dinamika politik hari ini telah memberikan panggung bagi pekerja-pekerja politik identitas yang bekerja untuk cita-cita politik absolut dengan kerja-kerja politik yang bersumber pada doktrin keagamaan. Politik identitas yang disponsori oleh isu-isu SARA telah menggeser demokrasi menjadi teokrasi. 

Mimbar-mimbar konstelasi politik disesaki bukan oleh debat-debat rasional dan konstruktif melainkan oleh klaim-klaim kebenaran absolut agama. Pertanyaan kritis yang bergaung bukan lagi soal bagaimana membenahi kota tanpa menggusur, melainkan desakan bahkan paksaan spiritual para penggiat politik identitas untuk memaksa warga negara memilih paslon yang beragama sama dengan dirinya. 

Ruang-ruang ibadah yang menjadi ruang privat dan tempat ritual sakral justru dipenuhi oleh bising-bising kampanye politik yang mengukur politik hanya dengan ayat-ayat suci tanpa ayat-ayat konstitusi. Sehingga melahirkan masyarakat-masyarakat doktrinal.  

Politik identitas dalam hal ini 'politik akhirat' tampak pada wajah politik yang superioritas. Hegemoni mayoritas yang terus mencengkram mereka yang minoritas. Pengikut politik identitas ini jarang memerhatikan kepentingan rakyat yang memiliki identitas berbeda. Kalaupun terjadi pemihakan, itu bersifat parsial karena hanya mengakomodir hasrat dan kepentingan kelompok identitas yang sama dengannya. 

Isu tentang sentimen-sentimen etno-religious komunalisme menjadi isu yang terus dikembangbiakkan secara masif dan masyarakat selalu dicekoki oleh isu-isu rasial yang tidak mendidik. Bahkan tanpa data dan fakta yang jelas. Pembahasan munculnya gerakan PKI selalu menjadi bumbu penyedap isu pemecah belah.  Persoalan ini tentu dapat mendistorsi substansi demokrasi yang telah menjadi konsensus  negeri ini.

Demokrasi telah kita pilih. Itu berarti kita dituntut untuk menjalankan politik majemuk yang mengakomodir kepentingan universal dan tidak mengenal kata final. Substansi demokrasi ialah hak asasi manusia. Demokrasi tidak mungkin melahirkan politik tunggal melainkan memfasilitasi perbedaan hak dan sikap politik individual. 

Konsekuensi dari keran demokrasi adalah terciptanya ruang keterlibatan yang lebih luas dengan membongkar sekat-sekat primordial seperti agama, etnis, kelas, gender, ras, yang akhirnya setiap individu dihalalkan dan bebas untuk berpartisipasi dalam kepentingan politik, ekonomi, dan kepentingan umum lainnya tanpa intimidasi. Ide inilah yang menjadi pijakan agar politik akhirat tidak mempecundangi demokrasi dengan menjadikannya alat/saluran totalitarianisme.  

 

*) Angkatan Muda Muhammadiyah, Pendamping Program Keluarga Harapan Kementerian Sosial RI

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement