Rabu 05 Apr 2017 14:32 WIB

Jimly Assiddiqie: Hukum tanpa Etika Melahirkan Ketidakadilan

Rep: Amri Amrullah/ Red: Ilham
Jimly Asshiddiqie.
Foto: Republika / Darmawan
Jimly Asshiddiqie.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penegakan hukum yang sering mengesampingkan aspek etika dan moralitas menjadi catatan dalam sistem hukum di Indonesia. Banyak contoh kasus penegakan hukum yang mengesampingkan aspek etika dan moralitas, membuat penegakan hukum kering dari rasa keadilan di masyarakat.

Hal itu ditekankan mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie dalam acara Konferensi Etik Nasional di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (5/4). Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) ini mengatakan, sistem hukum Indonesia yang menjauhkan nilai-nilai etika dan moral di dalamnya harus dievaluasi.

Sebab, apa yang terjadi sekarang penegakkan hukum kering akan nilai keadilan. Ia mencontohkan bagaimana seorang karyawan koperasi di Nias dihukum penjara karena dituduh mengambil Rp 15 ribu atau seorang nenek yang dihukum karena dilaporkan keluarganya mencuri.

Banyak kasus lain yang secara etika dan moralitas harusnya bisa menjadi pertimbangan, namun dikesampingkan atas alasan penegakkan hukum. "Ini yang terjadi sekarang. Padahal, hukum itu mengambang di lautan etika. Karena itu bangun etik dulu sebelum penegakkan hukum," ujarnya.

Jimly mengungkapkan, tren di beberapa negara saat ini sanksi hukuman mati mulai dihapuskan, desakan itu pun sempat disuarakan beberapa kalangan di Indonesia. Beberapa negara maju yang menghilangkan hukuman mati, mulai memasukkan sistem etika dan moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Menurut dia, Indonesia tidak seperti itu. Padahal, Indonesia sejak lama mengakui 'persaudaraan' antara negara dengan agama dan budaya, yang juga sebagai sumber etika dan moral masyarakat. "Lihat bagaimana di luar negeri mereka merasa malu dan mengundurkan diri, hanya ketika disangkakan korupsi. Tapi di Indonesia mereka pejabat publik yang disangkakan korupsi atau terlibat kasus hukum bisa tersenyum," kata Jimly.

Dan di Indonesia pada akhirnya menjadikan penjara sebagai solusi. Padahal saat ini, kata dia, banyak kejahatan model baru (malaprohibita) yang sangat memudahkan orang dijatuhi hukuman penjara. "Karena itu, wajar kalau sekarang di Indonesia dan beberapa negara, penjara itu over kapasitas," ujarnya.

Ia memaparkan, di Lapas Salemba saat ini sudah over kapasitas tiga kali lipat dari daya tampung maksimal. Maka apabila semua hukuman itu diserahkan ke penjara, ini akan jadi masalah. Jadi bangsa ini tidak bisa menyelesaikan persoalan dengan hanya menghukum penjara. Bangsa ini perlu menjaga dan menyelamatkan persoalan publik dengan etika dan moral.

Sebab, kata dia, hanya dari etika dan moral itulah sistem kontrol masyarakat bisa berjalan baik. Hadirnya etika di kehidupan berbangsa maka ada koreksi sejak awal bagi pejabat publik, agar tidak korupsi. Dan sanksi etika harus dilakukan tujuannya mendidik.

"Ini perlu kita lakukan untuk mendukung sistem hukum kita. Karena selama ini masalah etika hanya dianggap urusan privat. Selama moralitas dan sistem etika itu tidak berfungsi, maka tidak akan ada keadilan hukum di bangsa ini," kata Jimly.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement