Rabu 29 Mar 2017 06:07 WIB

Pelonggaran LTV, Antara Pertumbuhan Ekonomi dan Jebakan

Red: M.Iqbal
Membeli properti.
Foto: Republika/Agung S
Membeli properti.

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Vietha Devia *)

Agustus 2016, Bank Indonesia kembali menetapkan kebijakan berupa pelonggaran Loan to Value (LTV). Kebijakan ini diharapkan BI mampu mendorong pertumbuhan kredit khususnya sektor properti atau perumahan. LTV adalah sebuah metode yang dijadikan dasar oleh bank komersial dalam menentukan besar pinjaman yang diberikan kepada debitur berdasar nilai aset yang dijadikan jaminan.

Berdasarkan penetapan kebijakan BI, LTV diperlonggar menjadi 85 persen untuk rumah pertama, 80 persen untuk rumah kedua, dan 75 persen untuk rumah ketiga. Dengan adanya kebijakan ini, berarti debitur hanya perlu menyiapkan uang muka (down payment) 15 persen untuk kredit kepemilikan rumah bagi rumah pertama, 20 persen untuk rumah kedua, dan 25 persen untuk rumah ketiga. 

Semakin tingginya harga properti khususnya rumah, dinilai semakin menghambat kemampuan masyarakat dalam membeli rumah. Apalagi jika persyaratan DP masih cukup tinggi. Dengan kondisi demikian, otoritas moneter mengkhawatirkan bisnis dalam sektor properti atau pengembang menjadi terhambat dan menurunkan pertumbuhan ekonomi.

Sebelum pelonggaran LTV, pertumbuhan kredit perbankan pada sektor properti baik sektor perumahan, ruko ataupun perhotelan dan apartemen menunjukan perlambatan. Per Maret 2015, kredit perumahan hanya tumbuh sekitar 12,13 persen dari kuartal I 2014. Padahal sebelumnya, dari kuartal I 2013 ke kuartal I 2014, kredit perumahan mampu tumbuh hingga 23,59 persen. 

Hingga maret 2016, pertumbuhan KPR terus mengalami penurunan akibat minimnya permintaan KPR. Bahkan hingga bulan keempat 2016, bisa dikatakan fungsi perbankan sebagai lembaga intermediasi tidak berjalan. Hingga kuartal II 2016, pertumbuhan kredit perbankan hanya mencapai sekitar 8,3 persen. Jika hal ini terjadi terus menerus, dikhawatirkan berdampak pula pada mandegnya pertumbuhan ekonomi.

Namun di sisi lain, kebijakan pelonggaran LTV ini dikhawatirkan dapat membawa Indonesia pada jebakan ekonomi. Longgarnya LTV yang dinilai dapat meningkatkan kredit sektor properti justru dapat membawa Indonesia pada kasus economic bubble. Hal tersebut pernah dialami oleh Amerika Serikat ketika sektor kredit properti khususnya perumahan sangat besar. Besarnya volume kredit properti pada saat itu menyebabkan banyak terjadinya kredit macet di sector perumahan. 

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Di Indonesia sendiri, investasi merupakan komponen dari pertumbuhan ekonomi. Di mana investasi tersebut juga didorong dari pertumbuhan sektor kredit. Dengan demikian, untuk meningkatkan pertumbuhan investasi, maka sektor kredit perbankan perlu didorong untuk tumbuh. 

Namun kredit bagaimanakah yang harus didorong? Jawabannya adalah kredit untuk modal kerja. Jika kredit modal kerja mampu dikelola dengan baik, khususnya sektor UKM, maka produksi dalam negeri akan terus bertambah dan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi jika yang digenjot adalah kredit dari sektor konsumsi termasuk KPR, dikhawatirkan yang terjadi justru besarnya kredit macet yang pada akhirnya malah menghambat pertumbuhan ekonomi.

Di sisi lain, sebenarnya kecilnya pertumbuhan kredit KPR tidak semata karena besarnya uang muka (DP). Tetapi masih tingginya bunga KPR yang ditetapkan oleh sektor perbankan. Penurunan suku bunga acuan yang sudah beberapa kali ditetapkan BI nampaknya masih belum diikuti oleh penurunan suku bunga kredit di bank umum. Sepanjang 2016 BI telah menurunkan suku bunga acuan hingga 150 basis poin, namun suku bunga KPR hingga 2016 masih terpatok antara 10 persen hingga 12 persen. 

Selain itu masyarakat saat ini juga terbebani oleh kebutuhan dengan harga yang makin melambung di berbagai sektor. Bayangkan saja, jika masyarakat harus membayar cicilan KPR dengan bunga tinggi, kemudian juga harus memenuhi kebutuhan hidupnya dengan harga berbagai kebutuhan pokok yang semakin meningkat, bukankah ini bisa membawa perekonomian Indonesia pada “jebakan”?

Seyogianya tidak hanya dari sisi BI atau pelonggaran kredit maupun moneter yang dilakukan. Dari sektor produksi dalam negeri sebaiknya terus digenjot sehingga produksi dalam negeri meningkat, harga komoditi bisa turun, sehingga daya beli masyarakat dapat meningkat. 

Dan yang terpenting pemerintah sebaiknya dapat meminimalisir praktek pasar oligopoli, monopoli maupun kartel. Sehingga pasar yang berkembang di Indonesia menjadi pasar persaingan sempurna. Dengan demikian daya beli masyarakat dapat meningkat dan kredit perbankan dapat tumbuh dengan sendirinya, termasuk pertumbuhan kredit KPR.

*) Dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement