Kamis 23 Mar 2017 12:50 WIB
Relasi Dakwah dan Politik (7)

Menciptakan Kedaulatan Risalah

Syukri Wahid
Foto: dok.Istimewa
Syukri Wahid

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Syukri Wahid *)

Dakwah Rasululah SAW saat memasuki tahapan di Kota Madinah adalah era ketika dakwah menegara, saat dimana agama atau risalah berjalan, dan selaras dengan negara. Tidak banyak dalam sejarah panjang para Anbiya yang dalam perjalanan dakwah mereka diberikan 'fasilitas' berupa negara atau kekuasaan. Dan, kita pun mengerti para Nabi atau Rasul yang diberikan negara kepada mereka efeknya jauh lebih besar dan luas daripada nabi yang tidak diberikan negara kepada mereka.

Agama adalah moralitas, namun negara adalah legalitas. Jika keduanya bertemu, maka dia akan saling menguatkan. Apalah lagi negara itu dipegang mereka yang memiliki ruh risalah, sehingga kekuatan eksekusi ada padanya. Moralitas yang dikuatkan kekuatan legalitas dan dilaksanakan seorang pemimpin atau kepemimpinan yang kuat, itulah yang kita temukan dalam sejarah emas para pendahulu kita.

Saat periode Madinah, maka wahyu yang Allah SWT turunkan kepada Rasulullah SAW sudah mulai merinci perintah-perintah yang sesuai kebutuhan mereka saat itu. Di sana, ada kebutuhan bernegara dan segala derivat konsekuensi bernegara seperti menjaga kedaulatan, bermasyarakat, bermuamalat dan sebagainya.

Allah melengkapi kebutuhan kehidupan saat itu dengan perangkat lunak dalam Alquran yang kemudian dengannya Rasulullah bisa mengelola kehidupan manusia sesuai arahan-arahan langit. Para mufassirin mengatakan, hanya sekitar 500-an ayat yang hukum dalam Alquran dan sebagian besarnya diturunkan saat Nabi SAW di Madinah.

Apakah ada perintah Allah langsung dalam Alquran yang memerintahkan Nabi untuk secara defenitif mendirikan negara? atau daulah? atau sebuah bangsa? atau sebuah sistem pemerintahan di sana? Beberapa kalangan ada yang kemudian menyikapi secara ekstrim kiri, yaitu mengatakan apa yang Nabi Muhammad lakukan di Madinah murni adalah kebijakan pribadi, beliau terlepas dari perintah risalah, hanya perjalanan yang sifatnya alami yang akan ditemukan mereka yang cerdas dan punya potensi untuk memimpin.

Pemahaman ini, hanya lahir dari rahim akal sekuler yang berusaha memisahkan agenda risalah dengan negara. Tentu, kita sulit mengatakan bagaimana mungkin seorang Rasululah yang setiap tutur kata dan perbuatannya adalah wahyu yang Allah berikan kepada beliau. Menghabiskan 10 tahun waktunya di Madinah untuk mengurus hal terpisah dari agama? Kenapa beliau harus bersusah-susah melakukan perbuatan yang 'sia-sia' karena bernegara itu hanyalah perbuatan di luar agama?

Negara atau organisasi peradaban manusia adalah kebutuhan yang melekat dalam naluri kemanusiaan kita sejak diciptakan, karena Allah menurunkan sebagian kekuasaan-Nya untuk mengurus bumi ini dengan memberikannya kepada manusia. Itulah yang melekat pada tugas kekhalifaan kita sebagai wakil Allah di atas muka bumi ini.

Tanpa bimbingan risalah pun, kedaulatan itu adalah anugrah yang Allah berikan kepada seluruh manusia. Apakah kemudian anugerah kedaulatan itu bermuara kepada yang baik atau yang buruk itu tergantung sejauh mana risalah yang berisi kemauan Allah masuk dalam instrumen kedaulatan tersebut dan orang yang menjalankan kedaulatan terkait.

Sekali lagi, penegasan yang kita maksudkan adalah kedaulatan dalam bernegara adalah keniscayaan yang pasti ada dalam mata rantai kehidupan peradaban manusia. Tugas kita sekarang ini, memberikan warna risalah dalam institusi kedaulatan tersebut, agar menjadi mata pedang yang benar untuk diayunkan.

Kedua, mendistribusikan orang-orang yang tepat dan kuat yang kelak menggunakan instrumen kedaulatan tersebut. Dialah yang mengayunkan mata pedang kedaulatan agar sesuai misi risalahnya. Alam demokrasi dalam suatu negara memang berbeda-beda, mulai cirinya, sifatnya, bentuknya dan sampai problemnya.

Namun yang jelas, kedaulatan Allah yang dianugerahkan kepada manusia akan selalu ada. Jika Allah melihat pada satu kaum ada generasi manusia yang kedaulatan ada di tangan mereka, biasanya Allah akan hadirkan Rasul-Nya untuk menegur mereka yang zalim itu. Bahkan, Nabi Yusuf AS bisa masuk ke Istana dan meraih tamkin atau kedudukan sebagai penguasa Mesir saat itu. Itulah yang menjelaskan mengapa Allah menurunkan Nabi Musa AS dan Harun AS kepada Firaun.

Bukanlah hal aneh  dan salah, jika ada generasi yang sadar betapa pentingnya kedaulatan itu dan betapa dahsyatnya jika kedaulatan digunakan pada tempat yang mestinya sesuai agenda risalah. Lantas mereka berusaha masuk berjuang mempertemukan risalah dengan negara, mereka berjuang dengan kompetisi di alam demokrasi yang menjadi pintu masuk mengambil kedaulatan terbuka di suatu negara, karena itulah pintu yang sesuai kaumnya.

Maka, tiada yang mendorong mereka semua itu melainkan semangat menjadi ruuh yang mengantarkan agenda risalah masuk ke negara. Itulah prinsip utama, lebih fundamental dari sekadar kita bicarakan medan pertandingannya yang diaggap tidak sesuai syariat, bahwa demokrasi bukan Islam.

*) Pengamat Sosial Politik Kaltim

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement