Sabtu 11 Mar 2017 06:05 WIB

Pak Polisi

Wartawan Republika Arif Supriyono
Foto: Dokumen Pribadi
Wartawan Republika Arif Supriyono

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arif Supriyono, Wartawan Republika

Dua hari lalu, Transparansi Internasional mengumumkan hasil survei mereka atas persepsi masyarakat terhadap lembaga-lembaga di Indonesia. Hasilnya tidak begitu mengejutkan. Lembaga kepolisian, dalam persepsi masyarakat, dianggap sebagai institusi paling korup.

Sebanyak 39 persen responden menganggap kepolisian merupakan lembaga yang korup, terutama berkaitan dengan pelayanan terhadap masyarakat. Urutan berikutnya adalah DPR (37 persen), DPRD (35 persen), birokrasi (35 persen), dan kementerian (31 persen).

Sekali lagi, ini merupakan persepsi masyarakat. Artinya, penilaian atau pandangan masyarakat itu didasarkan atas apa yang mereka alami dan rasakan atas kinerja lembaga tersebut dalam melayani masyarakat. Tentu ini menjadi pekerjaaan rumah besar bagi kepolisian.

Belum hilang dari ingatan kita, beberapa tahun lalu semua siswa di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) diminta untuk membuat tugas akhir/tesis yang berkaitan dengan aneka persoalan yang harus mereka hadapi terkait dengan urusan prosedur kenaikan pangkat mereka. Hampir semuanya menyatakan harus membayar sejumlah biaya tak sedikit untuk bisa naik pangkat di jajarannya. Saya tidak tahu, apakah kondisi seperti ini masih saja terjadi di jajaran kepolisian atau sudah tereduksi sehingga tak lagi ada upeti untuk bisa naik pangkat.

Sorotan terhadap lembaga kepolisian memang layak kita pertajam. Ini lantaran kepolisianlah lembaga nyaris setiap hari berurusan dengan masyarakat luas di berbagai bidang pengabdian. Mulai dari masalah sepele (pengurusan surat kelakuan baik) hingga persoalan yang sangat serius (narkoba dan korupsi) menjadi tanggung jawab polisi.

Nyaris semua aktivitas polisi rawan terhadap segala seluk-beluk suap. Padahal, lembaga ini juga memiliki kewajiban untuk memberantas suap dan korupsi. Jika dalam diri lembaga itu saja tidak bersih, mana mungkin mereka bisa membersihkan kotoran yang sudah bebrurat-berakar di masyarakat. Ibarat menyapu lantai atau halaman, mana mungkin bisa bersih bila menggunakan sapu yang belepotan kotoran.

Baru-baru ini kepolisian juga mengusut soal penggunaan dana sumbangan masyarakat luas untuk Aksi Damai 212. Dalih yang dipakai polisi ada dugaan adanya pencucian uang. Agak janggal tudingan yang disampaikan. Masyarakat menyumbang dengan ikhlas dan mereka yang pun tidak mempersoalkan atau mempertanyakan penggunaan uangnya, kok malah aparat yang menduga ada pencucian uang?

Sebaliknya, bila masyarakat menanyakan kekayaan aparat kepolisian yang besarnya di atas rata-rata dari gaji mereka, apa mungkin dan bisa diterima serta diproses dengan baik. Jangan-jangan malah yang melaporkan itu dituding telah melakukan pencemaaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan.

Pada dasarnya, masyarakat menginginkan kehidupan yang bersih dari segala tindak korupsi. Harapan ini bisa terpenuhi kalau dimulai dari aparat. Dengan demikian, semua aparat dan pejabat yang harus memulai dan member teladan untuk hidup bersih dari korupsi. Tanpa itu, gembar-gembor pemberantasan korupsi ibarat teriakan keras di padang pasir yang tak akan terdengar siapa pun. Saya tak habis pikir, persoalan korupsi seakan tak pernah bisa surut dari kehidupaan bangsa kita. Justru kian hari cenderung terus bertambah dan meluas.

Nilai-nilai agama seperti tak diindahkan lagi. Bahkan kalangan yang dekat dengan kehidupan beragama pun cenderung menggampangkan dan menaruh masalah korupsi pada prioritas bawah sehingga tak terlalu nyaring dalam menyuarakannya.

Kembali ke soal institusi kepolisian, masyarakat berharap banyak agar lembaga penegak dan pengayom masyarakat ini kian profesional. Namun, saya merasa mulai ada keanehan di lembaga sejak kasus Cicak-Buaya beberapa tahun lalu. Saat itu polisi berupaya memperkarakan dua petinggi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Sulit untuk tidak mengatakan, bahwa tindakan kepolisian itu sebagai serangan balasan atas terseretnya beberapa personel aktif polisi (termasuk Irjen Suyitno Landung yang kala itu menjabat kabareskrim). Upaya polisis ini terhenti setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta agar kriminalisasi atas KPK ini tak diteruskan.

Upaya polisi untuk memperkarakan pimpinan KPK kembali terjadi. Lagi-lagi ini sangat kuat dugaaan ini sebagai upaya serangan balik kepolisian. Irjen Djoko Susilo yang menjabat kepala korps lalu lintas menjadi terdakwa kasus korupsi dan kemudian divonis bersalah atas kasus suap simulator surat izin mengemudi (SIM) berkendara. Bedanya dengan yang terdahulu, serangan balik polisi ini membawa hasil lantaran Presiden Joko Widodo membiarkan kasus ini bergulir.

Dua pimpinan KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, dijadikan tersangka kasus yang amat remeh-temeh. Sesuai ketentuan, keduanya pun diharuskan mundur. Kasus ini pun sampai sekarang tak jelas benar. Abraham dan Bambang tetap bisa menjalankan aktivitas lain.

Keanehan polisi tak berhenti sampai di situ. Secara tiba-tiba, Kapolri Tito Karnavian menuduh ada rencana makar dalam Aksi Damai 212. Ternyata tuduhan itu tak berlanjut, bak hilang ditelan bumi. Beberapa orang oleh polisi juga dituduh melakukan makar, padahal mereka hanya berdiskusi dan sama sekali tidak punya massa dan senjata. Rasanya, tuduhan ini berlebihan.

Polisi pun mengurusi tuduhan dialog mesum dengan sarana WhatsApp (WA) antara Habib Rizieq Syihab dan Firza Husein, tanpa ada pihak ketiga yang melaporkan. Mengapa untuk urusan begini polisi yang harus berinisiatif? Jelas sekali maksud polisi adalah mendiskreditkan Habib Rizieq, termasuk memeriksa sebagai tersangka penista Pancasila dan penistaan agama Hindu di Bali.

Keanehan terakhir saat kasus bom panci di Bandung. Pelakunya yang membawa parang itu dikeroyok puluhan polisi bersenjata api. Terduga pelaku itu pun tewas ditembak. Banyak pihak menyayangkan tewasnya terduga pelaku pengeboman ini. Mestinya, kaena hanya bersenjata parang, terduga pelaku bisa ditangkap sehingga kasusnya pun dapat terungkap.

Itu hanya beberapa keanehan yang menyertai tindakan polisis akhir-akhir ini. Belum lagi kasus Siyono, imam masjid di Cawas, Klaten Jawa Tengah. Pria ini setahun lalu tiba-tiba dibawa polisi. Dua hari setelah itu, Siyono meninggal tanpa jelas penyebabnya. Ternyata dua orang yang membawa Siyono itu aparat dari Densus 88. Istri Siyono lalu mendapat santunan sejumlah uang. Oleh sang istri, uang itu diserahkan ke Komnas HAM. Nyatanya, hingga sekarng kasus ini juga tak ada tanda-tanda terselesaikan.

Sekarang ini, polisi juga memproses kasus Frankfurt Book Fair (2014-2015) dan Anis Baswedan akan diperiksa. Padahal, ketua komite nasional untuk acara itu adalah Goenawan Mohamad (wartawan senior) dan yang menandatangani penetapan Indonesia sebagai negara kehormatan di ajang itu adalah Mohammad Nuh (mendiknas sebelum Anis). Pemeriksaan juga akan dilakukan terhadap Sandiaga Uno dalam kasus pencemaran nama baik yang terjadi tahun 2013.

Kasus-kasus yang ditangani polisi seolah mengada-ngada. Ini membuat masyarakat menyimpulkan, bahwa semua kasus tersebut seolah pesanan atau ada yang membuat skenario terlebih dulu. Polisi sekadar menjadi alat kekuasaan. Sudah semestinya polisi menghindari untuk memproses kasus-kasus yang tak logis dan menabrak akal sehat.

Sejak reformasi 1998, rasanya institusi ini hanya bergerak di tempat, padahal rakyat ingin polisi kita kian maju dan berwibawa. Pak Polisi, kami sungguh berkeinginan jajaran Anda menjadi aparat yang profesional dalam arti sesungguhnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement