Rabu 01 Mar 2017 22:11 WIB

Gus Mus dan MUI

  KH A Mustofa Bisri (Gus Mus).
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang/ca
KH A Mustofa Bisri (Gus Mus).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Fathorrahman Fadli *)

Ada kegelisahan yang datang. Sayangnya kegelisahan itu tidak begitu jelas penyebabnya. Kegelisahan itupun membesar menjadi polemik. Bahkan nyaris meletus menjadi aksi adu domba.

Begini ceritanya, kantor berita LKBN Antara, memberitakan bahwa KH Mustofa Bisri (Gus Mus) berpesan pada Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pesan itu, ia sampaikan saat menerima delegasi MUI di kediamannya. Saat itu, Gus Mus meminta MUI agar tidak ditunggangi oleh kelompok fundamentalis yang membawa ajaran radikal. Pesan itu lalu tersebar ke masyarakat karena  Wakil Ketua Umum MUI Pusat Zainut Tauhid menyebarkannya ke media massa. Gus Mus juga berpesan agar pengurus MUI lebih serius dan lebih aktif mengurus organisasi agar MUI independen.

Pesan lainnya adalah agar MUI benar-benar menjaga predikat dan kompetensi ulama. Selanjutnya, MUI juga diminta agar dalam penetapan fatwa mempertimbangkan kondisi strategis bangsa, tepat konteks dan zaman serta sesuai dengan masyarakatnya. Pendek kata, banyak benar pesan Gus Mus pada MUI saat itu. Semua saran Gus Mus itu masih menjadi  pertanyaan di kalangan para Ulama yang ada di MUI. 

Saran itu juga membuat panas kuping umat Islam di seluruh Indonesia. Sebab, semua saran itu, lebih banyak bernada tudingan daripada fakta yang sebenarnya. Mungkin juga saran-saran itu akan mudah dimaknai sebagai pelecehan terhadap institusi MUI yang merupakan wadah berkumpulnya para Ulama di negeri ini.

Mengapa demikian?

Pertama, Gus Mus menuduh bahwa MUI sudah ditunggangi kelompok Islam radikal. Pertanyaannya adalah, apa benar MUI yang berisi kumpulan para Kyai dan Ulama dari NU, Muhammadiyah, Persatuan Islam, Al Wasliyah, DDII, dan belasan organisasi Islam lainnya itu  bisa ditunggangi kelompok kecil yang radikal? Siapakah mereka? Sayangnya tidak ada kejelasan karena Gus Mus tidak berani menunjuk hidung. Lagi-lagi ini mengandung dilema; sebab kalau tidak menunjuk hidung, jadi tidak jelas siapa penunggangnya.

Namun jika menunjuk hidung khawatir akan dianggap tidak santun. Oleh karena itu penilaian Gus Mus ini membawa risiko tersendiri. Apakah tudingan Gus Mus ini muncul semata karena MUI mengeluarkan pendapat keagamaan tentang kasus penistaan agama yang menimpa Ahok yang Gus Mus bela atas nama toleransi? Kalau demikian, betapa naifnya tuduhan itu kalau dialamatkan pada MUI sebagai telah ditunggangi. Yang jelas, organisasi seperti MUI yang merupakan konfederasi dari sekian banyak organisasi Islam tidaklah mudah untuk ditunggangi.

Kedua, Gus Mus menilai MUI tidak independen atau kurang independen. Sebab fokus pesan itu meminta agar pengurus MUI lebih serius dan lebih aktif mengurus organisasi, tujuannya agar MUI independen. Pertanyaannya, apakah MUI memang sudah tidak independen. Lalu bagaimana cara mengukur independensi organisasi seperti MUI tersebut?

Sejauh ini, ilmu manajemen belum sepenuhnya bisa menjawab instrumen apa yang bisa dijadikan alat ukur untuk menentukan independensi organisasi keagamaan seperti MUI. Lagi-lagi tuduhan ini terlalu prematur dan emosional. Tudingan seperti ini sedianya tidak muncul dari orang sekelas Gus Mus yang terhormat dan pemimpin pesantren.

Ketiga, ada kesan yang kuat bahwa MUI dinilai  Gus Mus belum benar-benar mampu menjaga harkat dan martabat serta kompetensi ulama. Kesan ini tentulah sangat subyektif dan mengundang pertanyaan tersendiri. Sebab pada kenyataannya, dalam tubuh MUI banyak kita temukan  para ahli agama dibidangnya masing-masing. Hanya saja kadar kompetensi keulamaan seseorang sejak zaman Rasulullah membawa risalah agama Islam, selalu saja ada perbedaan kadar dan kompetensi masing-masing ulama.

Apalagi, di zaman modern nan super canggih ini belum juga kita temukan lembaga akreditasi untuk menilai kadar keulamaan seseorang. Lalu apa yang diharapkan oleh Gus Mus dengan pesannya itu? Apa yang menjadi dasar Gus Mus meragukan kualitas dan kompetensi ilmu agama para ulama yang ada di MUI?  Meragukan kualitas keulamaan tentu harus berhati-hati agar tidak berakhir dengan tudingan yang sama sekali  tidak ilmiah.

Keempat, ada kesan yang kuat bahwa Gus Mus meragukan kompetensi MUI dalam menetapkan fatwa-fatwanya. Secara tersirat Gus Mus menilai bahwa fatwa-fatwa  MUI kurang atau tidak mempertimbangkan kondisi strategis bangsa, tepat konteks dan zaman serta sesuai dengan masyarakatnya. Lalu fatwa yang mana yang Gus Mus maksudkan? Apakah keseluruhan fatwa yang  dikeluarkan  MUI atau sebagian kecil saja, atau khusus soal pendapat keagamaan terkait Ahok yang dinilai menista agama? Disinilah pesan-pesan Gus Mus itu membawa kebingungan di tengah masyarakat.

Seandainya pesan Gus Mus itu disampaikan di ruang hampa, atau sekadar menjadi puisi, bahkan lukisan pantat Inul Daratista; tentu akan hanyut bersama angin. Namun, karena disampaikan ditengah gejolak keprihatinan umat yang sedang berkabung karena Alquran yang menjadi kitab sucinya dinistakan, maka pesan-pesan Gus Mus itu seperti bensin yang membakar.

Pesan itu, terkirim lewat latar gejolak sosial politik yang menyeret pada politik adu domba. Ulama dengan sesama ulama, umat dengan sesama umat. Sedang dombanya menari-nari cekikikan dibalik lubang pengintai yang sempit.

Pertikaian dan perselisihan diantara ulama sesungguhnya bukan perkara baru. Di tahun 1970-an, pertikaian antar ulama itu juga terjadi dengan sangat sengit. Perselisihan mereka dipicu oleh masalah fiqih atau furuiyah. Seiring sengitnya perselisihan itu, maka pada saat tersebut muncullah lagu, “Panggilan Jihad”  yang salah satu pesannya menyerukan agar ulama tidak berseteru; demi agama sadarlah.

Oleh karena itu, ada baiknya jika MUI menerima pesan Gus Mus tersebut secara lapang dada seraya melakukan intropeksi untuk kemajuan. Hal lain yang juga perlu dilakukan segera adalah mengundang Gus Mus untuk bicara dari hati-kehati secara lebih mendalam. Forum itu harus dijadikan tempat yang lapang bagi Gus Mus untuk melakukan tabayyun atas pernyataannya yang keras terhadap MUI selama ini.

Di samping dengan Gus Mus, MUI juga harus lebih proaktif untuk membangun dialog yang mendalam dengan para tokoh penting di negeri ini, terlebih tokoh-tokoh umat Islam maupun non muslim agar tidak terjadi kesalahpahaman. Dengan demikian, kita sebagai umat akan melihat kesejukan diantara kaum ulama dan para pemimpinnya.

*) Pegiat Institute Peradaban

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement