Senin 20 Feb 2017 13:00 WIB

Peluang UMKM dari Perbaikan Ketimpangan

William Henley
Foto: istimewa
William Henley

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: William Henley *)

 

Awal Februari silam, Badan Pusat Statistik (BPS) melansir sebuah temuan penting. BPS mencatat angka ketimpangan pengeluaran penduduk (gini ratio/rasio gini) per September 2016 sebesar 0,394. Angka tersebut menurun tipis dibandingkan Maret 2016 yang tercatat 0,397.

Rasio gini September 2016 juga lebih baik dibandingkan posisi September 2015 sebesar 0,402. Perbaikan rasio ini jelas menjadi kabar menggembirakan pada tahun Ayam Api ini. Sebelumnya pada2008, rasio gini hanya 0,35.

Namun dari tahun ke tahun nilainya meningkat menjadi 0,41. Perwakilan Bank Dunia di Indonesia mengemukakan, rasio gini Indonesia tinggi lantaran sejumlah faktor, antara lain sedikitnya lapangan kerja, melambatnya pertumbuhan ekonomi, dan peningkatan pengangguran.

Terkait data terkini, berdasarkan penjelasan BPS, perbaikan rasio gini disebabkan kelompok ekonomi menengah ke bawah mengalami peningkatan pengeluaran lebih tinggi dibandingkan kelompok ekonomi teratas.

Per September 2016, pengeluaran kelompok ekonomi terbawah tumbuh 4,56 persen. Sementara kelompok ekonomi menengah bertumbuh 11,69 persen. Sedangkan kelompok ekonomi teratas hanya tumbuh 3,83 persen.

Pelemahan pertumbuhan pengeluaran kelompok ekonomi teratas tak dapat dilepaskan dari pelemahan ekonomi global yang menyeret Amerika Serikat dan Cina. Padahal, kedua negara itu adalah mitra dagang utama Indonesia. Perbaikan harga komoditas belakangan belum banyak membantu.

Sementara peningkatan pengeluaran kelompok ekonomi menengah dan terbawah disebabkan peningkatan persentase jumlah penduduk yang bekerja. Entah itu yang bekerja sendiri maupun bekerja dengan status tidak dibayar. Survei terakhir pada Agustus 2016 menunjukkan jumlah angkatan kerja yang membuka usaha sendiri meningkat 4,77 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Dukungan UMKM

Peningkatan pembukaan usaha sendiri dimotori oleh sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Mencermati data BPS ini, sudah seyogianya perbaikan ketimpangan tidak hanya dilihat dari dimensi makro ekonomi semata. Di samping mengurangi ketimpangan dengan jalan memudahkan akses kelompok ekonomi menengah dan terbawah terhadap pendidikan dan kesehatan, peningkatan dukungan konkret kepada UMKM juga harus diwujudkan.

Sebab, telah terbukti berulang kali UMKM dapat menjadi tumpuan di kala kelesuan sedang melanda ekonomi global maupun nasional. Kita semua memahami, UMKM merupakan komponen krusial dalam perekonomian Indonesia. Indikatornya begitu banyak.

Misalnya dari sisi jumlah, mengacu pada data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop dan UKM), jumlah UMKM mencapai 57.895.721 unit (2013). Mayoritas dari jumlah tersebut adalah usaha mikro dengan jumlah 57.189.393 unit. Sedangkan sisanya merupakan usaha kecil 654.222 unit dan usaha menengah 52.102 unit.

Kemudian, kontribusi UMKM terhadap perekonomian Indonesia dari sisi tenaga kerja mencapai 104.624.466 tenaga kerja. Sementara dari sisi produk domestik bruto (PDB), UMKM menyumbang Rp 5.440 miliar dari total PDB pada 2013 yang tercatat sebesar Rp 9.014 miliar.

Namun demikian, bukan berarti pengembangan UMKM tanpa hambatan. Pemerintah, seperti kita ketahui, sudah berusaha untuk berupaya menaikkan kapasitas UMKM. Istilahnya agar pengusaha mikro kecil dan menengah naik kelas.

Faktor sumber daya manusia (SDM), akses pemasaran, dan yang terakhir modal usaha menjadi faktor yang membatasi. Betul bahwa pemerintah memiliki program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Nominal pembiayaan yang disalurkan melalui bank-bank juga terus mengalami peningkatan hingga melebihi Rp 100 triliun pada tahun ini.

Akan tetapi, patut dipastikan bahwa penerima KUR benar-benar menggunakan untuk meningkatan kelas UMKM yang dikelola. Sebab, berbagai temuan di daerah menunjukkan penyalahgunaan KUR. Alih-alih untuk usahanya, dana segar dari KUR malah dipakai untuk melunasi utang yang digunakan sebagai modal usaha.

Kualitas SDM

Aspek lain yang tidak kalah penting untuk menjaga momentum perbaikan ketimpangan ini adalah peningkatan kualitas SDM, khususnya di bidang kewirausahaan (entrepreneurship). Wirausaha belakangan tumbuh subur lantaran ditopang kemajuan teknologi. Dengan demikian, jamak ditemukan, lahirnya pengusaha-pengusaha baru.

Mereka memanfaatkan internet untuk mendukung produksi hingga memasarkan produk kreasi mereka. Tak ketinggalan peran penting media sosial maupun aplikasi pesan semisal WhatsApp hingga LINE. Akan tetapi, pendampingan kerap kali tak diperoleh.

Ujung-ujungnya, ketika sedang menemukan kesulitan, para pengusaha UMKM seolah menemui jalan buntu. Usahanya pun terkendala bahkan hingga gulung tikar. Berkaca dari fakta yang kerap ditemukan, peran pendamping jelas tidak dapat diremehkan.

Pemerintah memastikan bahwa kebijakan untuk meningkatkan kualitas SDM bersifat affirmative action. Artinya, kebijakan yang diambil bertujuan agar kelompok atau golongan tertentu memperoleh peluang yang setara dalam bidang yang sama. Harapannya pemodalan kelompok ekonomi terbawah pada khususnya bisa mendapatkan kesempatan untuk meningkatkan kapasitas serta memperbaiki kualitas hidup.

Sehingga pada akhirnya, ketimpangan antara kelompok ekonomi terbawah dan teratas bakal semakin berkurang. Sebagaimana harapan semua pihak, tak terkecuali Presiden Joko Widodo yang berulangkali menekankan permasalahan ini. Apalagi, ketimpangan menjadi permasalahan global, tidak hanya di Indonesia semata.

*)  Founder Indosterling Capital

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement