Selasa 24 Jan 2017 20:43 WIB

Holding BUMN, Motif Pemerintah, dan Reformasi Hukum

 *Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Bidang Hukum, HAM, dan Advokasi Publik, Faisal
*Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Bidang Hukum, HAM, dan Advokasi Publik, Faisal

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Faisal*

PP 72/2016 belakangan menjadi sorotan publik dan dicurigai sebagai pintu masuk pemerintah dapat menjual aset-aset negara melalui perencanaan dirikan holding BUMN. Apalagi dugaan itu diperkuat adanya niat tanpa melibatkan peran DPR.

Argumentasi hukum Pemerintah dibangun berdasar pada PP 72/2016 melalui Pasal 2A yang secara garis besar merinci mekanisme penyertaan modal negara (PMN) pada BUMN ke BUMN lainnya bila terjadi penggabungan beberapa BUMN ke dalam satu holding BUMN dilakukan tanpa melalui mekanisme APBN, atau dapat diartikan tanpa perlu persetujuan DPR.

 Dapat kita bayangkan, rencana holding BUMN merupakan kebijakan strategis tapi pijakan hukumnya hanya gunakan PP, apalagi tambal sulam PP, maksudnya PP 72 perbaharui PP yang lama, dalam perspektif politik hukum hal ini sepertinya kurang pas.

Kami, dari Tim Kajian Advokasi Hukum dan Kebijakan Publik PP Pemuda Muhammadiyah telah melakukan kajian, dan dari aspek hukum mempertanyakan apa sebenarnya motif Pemerintah mengeluarkan PP 72/2016 yang menurut kami lemah dan tak punya pijakan hukum yang kuat.

Bagaimana bisa PP 72/2016 merubah dan menambah begitu saja dengan melepaskan sama sekali apa yang sedang dipertimbangkan PP 44/2005 yang hendak melaksanakan lebih lanjut perintah UU Keuangan Negara dan Pasal 4 ayat (6) UU BUMN.

Titik persoalan lemahnya PP 72/2016 berawal dari ambisi kebijakan pemerintah soal rencana holding BUMN yang tidak diimbangi dengan kecermataan dalam memberikan pijakan hukum. Apalagi belakangan dalih pemerintah akan dibuatkan kembali PP baru terkait holding sektoralnya. Ini menambah ruwet.

Jika pemerintah saat ini mengeluarkan agenda paket reformasi hukum yang salah satu orientasinya adalah penataan peraturan, kami merasa heran mengapa PP 72/2016 sebagai produk hukum baru dibuat tidak taat pada prinsip-prinsip dalam pembuatan peraturan perundangan-undangan, lihat saja aturan apa yang dipertimbangkan dalam PP 44/2005 yang dirubah mengapa ditabrak bahkan dilemahkan oleh PP 72/2016.  Kita negara hukum jangan buat aturan kejar ambisi tapi tabrak aturan lainnya.

Soal kebijakan holding BUMN kami tidak ingin terlalu jauh membicarakannya, karena mubazir agak sia sia, karena pijakan hukumnya tidak kuat.

Masalah yang paling fundament ketika PP 72/2016 melampaui perintah Pasal 4 ayat (6) UU BUMN yang tegas disebut dalam PP 44/2005 tegas disebutkan penyertaan dan penatausahaan modal negara dalam rangka pendirian atau penyertaan ke dalam BUMN dan/atau PT yang sebagian sahamnya dimiliki oleh negara diatur oleh PP. 

Artinya Pasal 4 ayat (6) UU BUMN tersebut ditujukan untuk penyertaan modal negara prihal pendirian atau penyertaan kepada BUMN. Di situ tegas para pihaknya adalah negara kepada BUMN.

Masalahnya kemudian, di dalam Pasal 2A PP 72/2016 mengatur mekanisme penyertaan modal negara berupa saham milik negara pada BUMN kepada BUMN. Bukankah ini melampaui bahkan melemahkan perintah dari UU BUMN Pasal 4 ayat (6).

Dalam konteks ini jelas sekali pasal 4 ayat (6) UU BUMN yang tidak sama sekali memerintahkan penyertaan modal negara (PMN) pada BUMN kepada BUMN. Anehnya mengapa diatur demikian dalam Pasal 2A PP 72/2016.

Kesimpulannya tidak tepat jika PMN dari BUMN ke BUMN (rencana holding BUMN), padahal PP 44/2005 yang dirubah mengatur PMN dari negara ke BUMN, jelas APBN dan dirundingkan dengan DPR. Tentu ini aneh PP 72/2016.

Hal penting lain dari lemahnya PP 72/2016 bertentangan dengan Pasal 7 dan Pasal 24 UU 17/2003 tentang Keuangan Negara. Norma dalam Pasal 7 yang ditegaskan ialah mengenai kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara digunakan untuk mencapai tujuan bernegara dan disusun dalam APBN.

Kemudian dikuatkan dalam Pasal 24 secara garis besar pemerintah dapat memberikan penyertaan modal dengan terlebih dahulu ditetapkan dalam APBN.

Untuk kesekian kalinya kami mengatakan bahwa PP 72/2016 hadir merubah PP 44/2005 di mana hendak melaksanakan UU Keuangan Negara dan UU BUMN Pasal 4 (6).

Lantas, mengapa pemerintah mengebiri kewenangan peran DPR di dalam Pasal 2A PP 72/2016 PMN dari BUMN ke BUMN dilakukan oleh Pemerintah Pusat tanpa melalui mekanisme APBN, bukankah ini tabrak UU Keuangan Negara.

Pemerintah harus memperhatikan bahwa kekayaan negara dan keuangan negara merupakan bagian yang tidak dapat begitu saja dipisahkan dari mekanisme APBN yang dijamin secara konstitusional dalam Pasal 23 UUD 1945 yang penjabarannya diatur dalam UU tentang Keuangan Negara dan UU BUMN. PP 72/2016 berpotensi menabrak norma yang diperintahkan UU BUMN.

Bahkan, dapat saja inkonstitusional karena tidak sesuai dengan spirit Pasal 23 UUD 1945 yang justru belakangan PP tersebut meniadakan peran DPR dalam konteks PMN pada BUMN kepada BUMN tanpa melalui mekanisme APBN, jelas PP 72/2016 produk hukum modal ambisi tapi tabrak konstitusi

Harusnya PP 72/2016 lebih memperkuat mekanisme bagaimana menjalankan Pasal 4 ayat (6) UU BUMN dan UU Keuangan Negara melalui persetujuan DPR,  bukannya malah amputasi peran DPR. Kami sarankan tinjau ulang PP 72 ini, sebelum ada langkah uji materi ke MA.

*Ketua PP Pemuda Muhammadiyah

Bidang Hukum, HAM, dan Advokasi Publik

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement