Kamis 19 Jan 2017 01:00 WIB

Menunggu Polesan Susy

Reporter Senior - Nurul Hamami
Foto: Republika/ Wihdan
Reporter Senior - Nurul Hamami

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh : Wartawan Republika,  Nurul S Hamami

Susy Susanti ibarat pendekar turun gunung. Mantan juara dunia dan olimpiade ini ditunjuk sebagai kepala bidang pembinaan dan prestasi Pimpinan Pusat Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PP PBSI) periode 2016-2020. Dia menggantikan rekannya sesama juara olimpiade yakni Rexy Mainaki yang duduk di posisi tersebut selama empat tahun, sejak 2012 lalu.

Di dunia bulu tangkis, siapa yang tak kenal Susy. Tak hanya menjadi legenda nasional, tapi dia juga sudah menjadi legenda hidup bulu tangkis sejagat. Pada masa jayanya, seabrek gelar sudah pernah dirasakan olehnya. Mulai juara dari tingkat kampung pada usia dini hingga akhirnya menjadi juara olimpiade pada 1992 dan melengkapinya dengan juara dunia setahun kemudian.

Setelah delapan belas tahun gantung raket, kini Susy kembali ke lapangan. Tentu bukan sebagai pemain lagi. Dia dipercaya sebagai 'nakhoda' pembinaan dan pencapaian prestasi tingkat dunia bagi Indonesia. Bukan perkara mudah memang, mengingat peta perbulutangkisan dunia sekarang ini.

Sejumlah agenda besar sudah menunggu untuk empat tahun ke depan. Yang terdekat, tahun ini, adalah Kejuaraan Beregu Dunia Piala Sudirman, Kejuaraan Dunia Individual, Kejuaraan Dunia Junior, SEA Games, dan turnamen-turnamen perseorangan Grand Prix Gold dan Superseries. Selanjutnya, di 2018 ada Kejuaaran Beregu Dunia Piala Uber dan Piala Thomas, Asian Games Jakarta-Palembang, serta Kejuaraan Dunia. Puncaknya adalah mempertahankan tradisi medali emas di Olimpiade Tokyo 2020.

Berat memang. Tapi, sebagai mantan pemain yang lama menghuni pelatnas dan malang-melintang di kancah internasional, Susy pasti paham benar bagaimana mengurai pembinaan pemain hingga menjadi pemain berprestasi. Dia lama di lapangan latihan dan di arena pertandingan yang sesungguhnya, sehingga seharusnya tidak sulit untuk menjalankan program-program di atas kertas menjadi sebuah kenyataan.

Sebagai mantan pemain pelatnas, Susy pasti tahu persis bagaimana caranya menjadikan pemain-pemain pelatnas sebagai mutiara yang mengilap. Dia tentu mengerti benar cara-cara yang harus ditempuh untuk melahirkan pemain-pemain berprestasi dunia. Dan sudah barang tentu, sebagai mantan pemain berkaliber dunia, Susy bisa menularkan pengalaman-pengalamannya kepada para pemain yang berada di pelatnas.

Di luar agenda-agenda besar itu, Susy juga dituntut mampu membuat cetak biru pembinaan bulu tangkis nasional. Setidaknya, untuk lima tahun ke depan. Semacam 'repelita' yang bisa berjilid dalam setiap lima tahunnya. Melalui cetak biru inilah rencana besar untuk melahirkan pemain-pemain berprestasi dunia mulai digagas dan dilaksanakan secara nasional.

Untuk membuat cetak biru tersebut, Susy tentu tidak sendirian. Dia perlu meminta bantuan dari semua pihak yang terkait dengan pembinaan bulu tangkis nasional. Para legenda bulu tangkis Indonesia patut dimintai pendapatnya. Begitu pula dengan mereka yang paham benar dengan manajemen olahraga modern. Serta yang tidak kalah pentingnya adalah melibatkan klub-klub nasional yang selama ini menjadi tumpuan pembinaan dan rekrutmen pemain-pemain sejak usia dini.

Persoalan pencapaian prestasi dunia memang bukan perkara instan yang dapat dituai hasilnya dalam setahun atau dua tahun. Ini merupakan proyek jangka panjang yang memerlukan waktu untuk melihat hasilnya. Mungkin dalam lima tahun baru bisa kelihatan hasil yang diharapkan dari sebuah sistem pembinaan. Setidaknya, dengan cetak biru maka pembinaan prestasi sudah dapat diukur sedari awal.

Sebagai induk organisasi olahraga berprestasi dunia seharusnya PBSI memiliki cetak biru pembinaan prestasi yang komprehensif. Ini agar pembinaan pemain dan pencapaian prestasi dapat berjalan baik dan berkesinambungan. Dampaknya adalah ketiadaan jurang prestasi yang melebar dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kesenjangan prestasi setelah era Susy di tunggal putri, serta di tunggal putra selepas era Taufik Hidayat menunjukkan masih lemahnya regenerasi pemain.

Senang mendengar pengakuan Susy yang siap mengemban tugas yang dibebankan ke pundaknya. Istri pemegang medali emas tunggal putra Olimpiade Barcelona 1992 Alan Budikusuma ini, menyatakan, pembenahan sektor tunggal putri menjadi prioritas. Termasuk dengan persiapan atlet untuk menghadapi kejuaraan internasional.

"Kita sudah tahu sektor putri memang menjadi sorotan. Mungkin itu salah satu dasar Pak Wiranto (Ketua Umum PP PBSI) memilih saya untuk menduduki posisi ini. Ini sektor saya. Makanya, saat ini, harus mulai dengan kerja keras," kata Susy saat pengumuman kepengurusan PP PBSI Periode 2016-2020, 4 Desember tahun lalu.

Sektor tunggal putri, saat ini, memang menjadi titik terlemah Indonesia untuk bisa berbicara di pentas dunia. Setelah Susy mundur, belum pernah ada lagi yang bisa menyamai rekor-rekornya. Setelah 24 tahun silam merebut emas di Olimpiade Barcelona, belum ada yang bisa menyamai prestasi Susy. Mia Audina hanya meraih perak di Olimpiade Atlanta 1996. Kali terakhir yang naik podium adalah Maria Kristin Yulianti saat merebut perunggu Olimpiade Beijing 2008.

Di turnamen-turnamen internasional individual, sangat langka tunggal putri Indonesia berdiri di podium juara. Bahkan untuk masuk semifinalis sebuah turnamen seri Grand Prix Gold (GPG) saja susahnya minta ampun. Tak heran, bila saat ini, tak ada pebulu tangkis tunggal putri Indonesia yang bertengger di peringkat 20 besar dunia.

Dalam peringkat dunia per 12 Januari lalu, peringkat tertinggi pemain Indonesia tercatat atas nama Fitriani yang berada di tempat ke-40. Pemain pelatnas yang lain, Dinar Dyah Ayustine ada di peringkat ke-43, sementara Hanna Ramadini di peringkat ke-47.

Sepanjang tahun lalu saja, tak ada pemain pelatnas tunggal putri yang mampu mencapai partai semifinal dari 12 seri World Superseries/World Superseries Premiere dan 13 seri GPG yang tersedia. Lindaweni yang pada 2015 masih mampu mencapai semifinal Kejuaraan Dunia, tahun 2016 bahkan gagal total di Olimpiade Rio. Akhir tahun lalu Linda menyatakan gantung raket dan  mundur dari pelatnas.

Tentunya, ketertinggalan di tunggal putri tersebut menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi Susy dan PBSI. Pembenahan harus dimulai sejak rekrutmen pemain-pemain berbakat. Baik buruknya hasil pembinaan juga bergantung pada bibit pemain yang didapat. Itulah mengapa perlunya cetak biru pembinaan dalam rangka melahirkan pemain-pemain berprestasi dunia.

Sebagai komandan di bidang pembinaan dan peningkatan prestasi, Susy memang mesti bekerja ekstra keras mencari bibit-bibit pemain dengan talenta tinggi untuk dimatangkan di pelatnas. Kita tunggu saja polesan Susy dalam empat tahun ke depan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement