Kamis 05 Jan 2017 06:00 WIB

Halaqah Pesantren (3)

Azyumardi Azra
Foto: Republika/Daan
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID, Pembicaraan dalam halaqah Pesantren ASEAN memperlihatkan sejarah pondok dan/atau pesantren (termasuk juga madrasah) sejak 1920-an adalah sejarah pembaruan pendidikan Islam yang terus berlanjut pada masa kontemporer. Dihadapkan berbagai pembaruan sebagai dampak perubahan cepat dan luas dalam masyarakat, pesantren tetap mampu bertahan. Pesantren juga mampu mengubah citranya menjadi kian positif menyangkut distingsi pendidikannya.

Di tengah semua perubahan, para santri lulusan pesantren sejak 1980-an mampu berkompetisi dan sukses melanjutkan pendidikan di mancanegara; tidak hanya di Timur Tengah, tapi juga di Barat. Mereka ini pada gilirannya memperkaya dan memperkuat generasi baru kaum terpelajar dan intelektual Muslim Indonesia dengan tetap memegangi Islam Indonesia wasathiyyah.

Sejak 1980-an, pesantren berkembang pesat menjadi semacam ‘holding institution’, lembaga induk yang mencakup tidak hanya institusi pendidikan agama—baik khusus untuk tafaqquh fid-din dan madrasah — tetapi juga pendidikan umum, seperti SD, SMP, SMU, SMK, dan perguruan tinggi umum. Bahkan, pesantren juga menjadi pusat pengembangan masyarakat dalam berbagai bidang sejak dari ekonomi rakyat seperti koperasi dan usaha kecil, teknologi tepat guna, kesehatan masyarakat sampai kepada konservasi lingkungan.

Pada saat yang sama, pesantren tidak lagi hanya terdapat di pedesaan; sejak 1980an, kian banyak pesantren bermunculan di kawasan perkotaan dan suburban, memunculkan gejala yang saya sebut sebagai ‘pesantren urban’. Bahkan sistem ‘santri mukim’ juga diadopsi sekolah elite Islam, dengan menggunakan istilah boarding, yang dilengkapi figur ‘kiai’ seperti di pesantren.

Sebenarnya secara historis, pesantren sebagai ‘holding institution’ telah bermula sejak waktu cukup lama. Sejak introduksi lembaga pendidikan madrasah —sebagai sebuah corak modernisme pendidikan Islam di Indonesia — sejak dasawarsa pertama abad 20, pesantren sedikit demi sedikit mulai berkembang dari lembaga pendidikan Islam tradisional dalam dirinya sendiri menjadi ‘lembaga induk’ (holding institution) yang menyelenggarakan berbagai bentuk pendidikan mulai dari pesantren yang tetap tafaqquh fid-din dan madrasah atau mengombinasikan keduanya.

Perkembangan pesantren sebagai ‘holding institution’ (atau holding educational institution) jelas meningkat cepat dalam dua dasawarsa terakhir. Sekali lagi, sebagai lembaga induk, kini pesantren tidak hanya menyelenggarakan pendidikan madrasah, tetapi juga sekolah umum sejak dari tingkat dasar sampai ke perguruan tinggi. Bahkan pendidikan madrasah yang diselenggarakan pesantren juga mengalami diversifikasi, khususnya untuk tingkat madrasah aliyah (MA). Sekarang MA yang bersifat umum seperti MA IPA, MA IPS, MA bahasa, dan MA keterampilan lebih mendominasi di pesantren dibandingkan MA khusus (keagamaan) yang merupakan MA tafaqquh fid-din.

Menjadi pertanyaan besar tentang apakah santri-santri MA jurusan umum masih dapat dimasukkan ke dalam kategori santri tipikal pesantren konvensional, yang sampai sekarang kelihatan masih menjadi gambaran dan persepsi banyak kalangan masyarakat. Padahal, para santri jebolan pesantren telah merambah ke berbagai lembaga pendidikan umum baik di Tanah Air maupun di mancanegara. Mereka juga telah berada di mana-mana; tidak hanya di lembaga Islam, tapi juga dalam pemerintahan dan birokrasi serta berbagai institusi swasta.

Dalam pembicaraan halaqah pesantren dapat terlihat, perubahan substansi keilmuan pesantren terjadi ketika madrasah yang ada di lingkungan pesantren sesuai dengan Undang-Undang Sisdiknas disetarakan dengan sekolah umum. Untuk kesetaraan itu, madrasah mesti menggunakan kurikulum Kemendikbud — ditambah kurikulum Agama yang ditetapkan Kemendikbud bekerja sama dengan Kemenag.

Perubahan substansi keilmuan ini mendorong terjadinya perubahan kelembagaan. Pesantren tidak hanya mengembangkan madrasah, tetapi juga sekolah umum. Bahkan di tingat MA mengembangkan lebih banyak MA umum dengan jurusan IPA, IPS, bahasa, dan keterampilan. Sedangkan MA tafaqquh fid-din yang dikenal sebagai MAK justru dihapuskan Ditjen Binbaga Islam (kini Ditjen Pendidikan Islam), sehingga menimbulkan ‘krisis’ dalam jumlah alumni MA yang mampu memasuki jurusan di PTAI yang memerlukan kemampuan bahasa Arab seperti tafsir hadis, bahasa/sastra Arab atau akhwalus-sakhsiyyah.

Dengan berbagai perkembangan itu, berkembang kecemasan di banyak kalangan pesantren tentang ‘kemerosotan’ pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang banyak diharapkan melahirnya peserta didik yang memiliki pemahaman, kemampuan dan praksis yang unggul dalam ilmu dan amal Islam. Kian dominannya ‘ilmu umum’ di berbagai lembaga pendidikan berbasis pesantren cenderung membuat ‘ilmu agama Islam’ terpinggirkan.

Perubahan dan pembaruan membawa konsekuensi tertentu yang sering mencemaskan. Kecemasan itu sepatutnya mendorong para pengelola pesantren untuk mencari cara untuk memperkuat kembali aspek tafaqquh fid-din pendidikan pesantren. Dengan pendidikan yang berlangsung 24 jam, pesantren memiliki peluang besar untuk penguatan kembali tafaqquh fid-din.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement