Sabtu 31 Dec 2016 06:00 WIB

Tradisi Tahun Baru

Asma Nadia
Foto: Daan Yahya/Republika
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID, Apa yang selalu menjadi ciri suasana tahun baru di Indonesia? Terompet, petasan dan kembang api. Nyaris setiap pergantian tahun, nuansa ini yang kita temukan. Bagaimana dengan warga dunia lain, apa yang mereka lakukan saat menyambut matahari pertama di tahun berbeda?

Ternyata masyarakat di belahan bumi lain mempunyai cara khas yang tidak semua sama dalam menyongsong tahun baru.

Di Belanda ada tradisi Nieuwjaarsduik. Sekitar 10 ribu orang, ramai-ramai akan berlari menyeburkan diri di pantai Scheveningen, Den Haag dalam suhu dan air yang begitu dingin. Tradisi yang dimulai sejak tahun 60-an ini dipercaya mampu membuang kesialan untuk menyambut tahun yang akan datang. Ritual sejenis sudah ada sejak tahun 1920-an di Kanada, bahkan masyarakat di sana sukacita berbondong-bondong menuju pantai kutub yang bersalju dengan suhu di bawah nol derajat celsius, kemudian bersama-sama mencemplung ke dalam air. Tradisi ini diyakini mendatangkan keberuntungan di tahun berikutnya.

Di New York, jutaan orang berkumpul di Times Square untuk menyaksikan ball drop serta pertunjukan musik di sepanjang acara. Sejak sore warga dan para turis, berdesak-desakan demi mendapatkan tempat paling strategis. Paris, kota yang dianggap paling romantis menyuguhkan pesta kembang api megah di kawasan menara Eiffel. Perhelatan serupa diselenggarakan di Amsterdam, Seoul, Singapore, Hong Kong, Tokyo, Dubai dan kota wisata lainnya.

Yang berbeda, penduduk Denmark punya cara unik menyambut tahun baru, yakni melemparkan piring-piring bekas ke pintu rumah tetangga maupun teman mereka. Keluarga yang paling banyak melontarkan benda pecah-belah, dipercaya mendapat keberuntungan melimpah. Sementara rumah yang paling banyak memperoleh lemparan piring, berarti pemiliknya paling disukai dan memiliki banyak teman.

Di Italia lain lagi. Segenap lapisan masyarakatnya pada 31 Desember malam, mengenakan pakaian dalam berwarna merah untuk menyongsong kemujuran di tahun berikutnya. Warna merah bermakna keberuntungan dan lambang kemakmuran serta kekayaan. Di Bolivia, sedikit berbeda. Mengenakan pakaian dalam berwarna kuning saat perayaan perpindahan tahun dianggap bisa membawa peruntungan. Sedangkan di Brazil dan Meksiko, pakaian dalam yang biasa digunakan menyambut momen spesial ini adalah warna merah atau kuning. Di Filipina, bukan warna melainkan pakaian dalam dengan corak lingkaran sebagai simbol pengharapan rezeki, yang dipercaya warganya.

Tradisi berbeda dilakukan masyarakat Meksiko, yang sengaja bepergian di malam tahun baru mengelilingi kota dengan membawa koper kosong demi memperoleh nasib baik yang tidak terduga, atau tercapainya keinginan berkunjung ke sejumlah tempat wisata dalam maupun luar negeri.

Sementara kepercayaan di Yunani berbeda lagi. Sosok pertama yang memasuki rumah saat tahun baru akan menjadi pembawa keberuntungan bagi si pemilik rumah. Syaratnya, mereka masuk dengan kaki kanan terlebih dahulu dan menginjak buah delima.

Tradisi lain di Korea, masyarakat menyantap Thuck-Gook, kaldu daging sapi dengan potongan telur dadar, di malam pergantian tahun, yang dipercaya menjadi ramuan awet muda.

Bagaimana dengan Chili? Penduduk di negara itu memilih pemakaman sebagai tempat merayakan pergantian tahun, karena ingin bersama keluarga atau kerabat yang sudah meninggal dunia.

Memakan 12 buah anggur dengan cepat, dalam hitungan detik, dilakukan masyarakat Spanyol menjelang tahun baru. Setiap buah anggur diyakini melambangkan keberuntungan dalam 12 bulan ke depan.

Rupa-rupa tradisi dan kepercayaan berbagai negara 'merayakan' tahun baru, namun terdapat benang merah di antaranya. Dan terlepas berbagai bentuk kegiatan yang mereka yakini, terbersit harapan bahkan juga renungan sebelum tahun berubah. Menyadari ini, banyak negara menjadikan pesta tahun baru sebagai upaya menambah sumber penghasilan dari sektor wisata.

Bagaimana dengan Indonesia? Jika kita bertanya kepada anak-anak di tanah air, alasan mereka membakar petasan atau meniup terompet, apakah jawaban yang akan diperoleh? Saya tidak terlalu yakin anak, remaja bahkan orang dewasa yang melakukannya mempunyai alasan kuat, selain sekadar bersenang-senang.

Saya kira pemikiran yang sama lalu menggerakkan sejumlah penggiat dakwah untuk memberi kegiatan lebih baik pada anak-anak dan remaja di malam tahun baru. Mereka mengadakan pengkajian Islam dan zikir bersama atau MABIT (malam bina islam dan taqwa) di sejumlah masjid. Sebut saja muhasabah tahun baru.

Bukan merayakan melainkan untuk memberi alternatif yang positif dan tidak sekadar hura-hura. Perayaan pergantian tahun seperti yang sering berlangsung di masyarakat jelas bukan bagian dari budaya Islam, karenanya cukup banyak pihak menyambut baik kegiatan dakwah di atas. Tentu bukan lantas mewajib-wajibkan apa yang tidak Allah perintahkan.

Sedikitnya ada dua manfaat Pengkajian Islam di tahun baru, selain transfer ilmu dan upaya meningkatkan iman juga melindungi generasi muda dari budaya kesia-siaan. Dengan spirit berbeda, ikhtiar baik ini bisa menjadi alternatif yang bermanfaat bagi anak-anak dan remaja dalam mengisi tahun baru, dari pada menghabiskannya dengan cara hura-hura dan bukan pada suasana di mana nama-Nya dimuliakan

Mari kita songsong tahun 2017 di tahun almanak kita. Waktu yang pergi tidak boleh dibiarkan melenggang sebagai sebuah kesia-siaan. Saatnya bermuhasabah dan membuat rencana untuk menjadi bagian umat yang makin membanggakan di tahun 2017.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement