Selasa 27 Dec 2016 06:00 WIB

Krisis Politik di Turki (I)

Professor Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Professor Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID, Sembilan tahun yang lalu, di sebuah majalah mingguan di Jakarta saya menulis sebuah kolom di bawah judul: “Islam di Tangan Erdogan.” Saat itu saya sangat berharap di bawah Erdogan Turki akan menjadi negara makmur yang adil, stabil, dan Islam yang dikembangkan adalah sebuah agama yang mampu memecahkan masalah, bukan Islam “untuk menakuti dunia dengan membangun rezim primitif yang mengatasnamakan Tuhan.”

Di akhir tulisan saya tulis ungkapan berikut untuk Erdogan sebagai Perdana Menteri Turki ketika itu: “You are on the right track” (Anda di rel yang benar). Apa yang berlaku kemudian, dan mengapa saya kecewa? Tulisan di bawah akan menjelaskannya.

Dalam kolom di atas, sekalipun ada pujian terhadap Erdogan, juga diingatkan agar sejarah hitam di zaman Turki Usmani jangan diulang lagi: “Di antara kekejian yang mencoreng Imperium Turki Usmani adalah kelakuan Sultan Selim I (1512-1520), sultan ke-9, yang diberi julukan Yavuz (kejam dalam bahasa Turki). Demi kelangsungan Dinasti Usmani, Selim tega membunuh dua saudara dan beberapa anak kandungnya untuk melapangkan jalan bagi anaknya yang lain, Sulaiman (1520-1566), yang kemudian dikenal sebagai Sulaiman yang Agung. Di bawah Sulaiman, Turki Usmani mencapai puncak kejayaannya. Kemudian imperium yang sudah lelah ini redup secara berangsur sampai lenyap pada 1924.”

Sekarang akhir tahun 2016 dan menjelang tahun 2017. Sebelumnya Erdogan telah berhasil memenuhi ambisinya menjadi Presiden Turki dengan mengalahkan lawan-lawan politiknya dalam partai AKP (Adalet ve Kalkinma Partisi/Partai Keadilan dan Pembangunan), termasuk mantan Perdana Menteri Turki Ahmet Davutoglu, yang secara diam-diam diminta mundur oleh Erdogan. Davutoglu dulunya dikenal orang kepercayaan Erdogan, tetapi karena ditengarai akan menghalangi Erdogen untuk berkuasa penuh, maka kongsi menjadi berantakan. Sebagai gantinya adalah Binali Yildirim, seorang yang patuh kepada perintah atasan. Erdogan yang semula begitu rendah hati, kini telah berubah menjadi seorang penguasa yang kontroversial di lingkungan rakyat Turki sendiri.

Setelah kudeta yang gagal pada 15 Juli 2016, Erdogan yang selamat dari percobaan pembunuhan tidak pelak lagi bergerak cepat dalam konsolidasi kekuasaannya. Untuk sementara kekuasaan Erdogan masih bertahan, tetapi untuk berapa lama, jika krisis politik ini tak kunjung diatasi, sulit dikatakan. Pengikut Fethullah Gulen yang disebut Erdogan sebagai penyulut kudeta, kini dituduh lagi sebagai pihak yang bertanggung atas penembakan Dubes Rusia di Ankara baru-baru ini. Tentu saja Gulen membantahnya. (Untuk sekadar menyegarkan ingatan tentang perseteruan Erdogan vs. Gulen ini, bisa dilihat Resonansi, 2 dan 9 Agustus 2016). Bagi saya, perseteruan sesama kelompok santri ini sungguh menyakitkan dan melelahkan, tetapi itulah yang kini terjadi dan sangat melemahkan posisi Turki dalam percaturan poilitik global.

Lagi-lagi kita dihadapkan kepada kebuntuan politik dunia Muslim. Krisis dunia Arab jangan ditanya lagi, belum ada tanda-tanda akan usai. Adapun Indonesia sebagai bangsa Muslim terbesar di dunia, juga sedang dihadapkan kepada masalah-masalah internal yang pelik, dan telah menguras energi kita semua secara sia-sia. Polarisasi sikap politik di akar rumput terasa cukup tajam. Salah satu dampaknya adalah golongan minoritas semakin merasa mencemaskan tentang nasib kebinnekaan di negeri ini. Sebuah kecemasan yang riil, bukan dibuat-buat. Sebuah Indonesia yang aman, damai, dan nyaman jangan sampai dirusak oleh kekuatan perusak mana pun, atas nama apa pun.

Bahkan tiga tokoh Syi’ah ABI (Ahlul Bait Indonesia) belum lama ini menemui saya di Jakarta untuk membicarakan bagaimana caranya agar fenomena radikalisme kelompok kecil Muslim di negeri ini tidak semakin merajalela. Tentu saja negara harus hadir melindungi siapa saja yang merasa terancam oleh ulah “kelompok polisi swasta” ini. Pada Selasa, 20 Des. 2016, saya bahkan kirim SMS kepada Kapolri: “Keep firm, General, I’m proud of you.” Tujuannya agar polisi benar-benar menjalankan fungsinya sebagai pelindung dan pelayan masyarakat luas. Turki dan Indonesia semula menjadi tumpuan harapan dunia Muslim sejagat agar terbebas dari krisis politik berlarut-larut yang mematikan. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement