Sabtu 17 Dec 2016 14:27 WIB

Timnas dan (Bukan) Air Mata Buaya

Mohammad Akbar (wartawan Republika)
Foto: dok.Pribadi
Mohammad Akbar (wartawan Republika)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Wartawan Republika, M Akbar (@akbar_akb)

Sepekan ini, boleh jadi peribahasa air mata buaya menjadi ungkapan paling populer di negeri ini. Peribahasa tersebut sempat menghiasi daftar trending topik nasional di sosial media (sosmed). Tagar pun disematkan secara khusus dengan nama #AirMataBuaya. 

Peribahasa ini muncul setelah Gubernur DKI Jakarta nonaktif, Basuki Tjahaja Purnama ( Ahok), menangis saat menjalani sidang perdana kasus dugaan penistaan agama. Ribuan mention para netizens menyundul tagar #AirMataBuaya sehingga selama sehari menghiasai timeline di sosmed. 

Lalu berselang sehari saja, ada juga peristiwa yang masih berkaitan dengan air mata. Tapi, air mata yang ini tak mengandung makna sinisme. Pemain sayap Timnas Indonesia Rizky Pora bersama ribuan penonton tertangkap kamera tengah menangis. Mereka menangis bukan karena sedang duduk dibangku pesakitan seperti halnya Ahok, tersangka penista agama. Mereka menangis karena tak kuasa menahan haru setelah menyaksikan kemenangan Indonesia atas Thailand pada final pertama Piala AFF 2016 di Stadion Pakansari, Bogor, Rabu (14/12). 

Saya yang tak berada di tengah lautan penonton, mungkin tak akan bisa melarutkan emosi untuk sekedar membasahi pipi ini dengan air mata. Tapi saya percaya, air mata para pemain timnas dan ribuan penonton di stadion itu bukanlah air mata buaya. Saya yakin, air mata mereka bukan 'diciptakan', apalagi direkayasa, demi menarik simpati publik negeri ini yang sudah sangat haus menanti datangnya prestasi. 

Sepatutnya, air mata yang bercucuran dari pemain maupun penggemar sepak bola Indonesia ini menjadi modal utama bagi Boaz Solossa dan kawan-kawan dalam menatap final kedua yang akan dihelat di Stadion Rajamanggala, Bangkok, Sabtu (17/12). Saya percaya, laga final kedua nanti bukanlah pekerjaan yang mudah. Kemenangan 2-1 dari final leg pertama, belum menjadi jaminan untuk mengangkat trofi Piala AFF 2016.

Namun percayalah, tak ada sesuatu yang tak mungkin dalam hidup ini. Sedikit membuka lembaran sejarah kemerdekaan negeri ini, siapa yang akan pernah menyangka kalau para pejuang kemerdekaan mampu mengusir penjajah dengan modal bambu runcing. Bayangkan, bambu yang diruncingkan bagian atasnya itu harus melawan senapan mesin serta tank baja milik penjajah. 

Jika menggunakan nalar manusia, rasanya sungguh sulit untuk mendeskripsikan keberanian semacam apa yang dimiliki para pejuang kemerdekaan bangsa ini saat melawan bedil dengan sebatang bambu runcing. Dan untuk menyederhanakan cerita heroik perjuangan bangsa ini, semangat bambu runcing itulah yang pada akhirnya mampu mengalahkan senjata mesin. 

Rasanya, semangat bambu runcing itulah yang harusnya dibawa para pemain timnas kita untuk menghadapi tim yang negaranya tak pernah dijajah dalam sejarahnya. Anda boleh bilang saya lebay. Tapi biarlah. Bukankah banyak pihak yang awalnya menaruh sikap underestimate bahwa Indonesia tak akan bisa mengalahkan Thailand? Tapi fakta sudah membuktikan, kemenangan Indonesia pada final pertama itu menjadi bukti bahwa pasukan Gajah Putih yang tak pernah kalah di sepanjang turnamen Piala AFF 2016 ini bisa dikalahkan oleh pasukan Garuda Merah Putih. 

Andai kemenangan itu bisa benar-benar terwujud, saya yakin bukanlah sinisme air mata buaya yang kelak menghiasi daftar trending topic. Tapi saya yakin, air mata yang bercucuran itu adalah air mata haru, sebagaimana keharuan membayangkan semangat para pejuang kemerdekaan dalam mengusir penjajah dengan menggunakan bambu runcing. So, lanjutkanlah perjuangan kalian di Negeri Seribu Pagoda dengan pulang membawa kemenangan ke Tanah Air. Kami sudah rindu kemenangan, dan saya sudah siap untuk menangis yang bukan air mata buaya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement