Rabu 30 Nov 2016 12:30 WIB

Menjaga Islam dengan Maksimum Sejauh Kemampuan

Sejumlah umat Islam melaksanakan shalat di Masjid Al-Akbar Surabaya, Jawa Timur.
Foto: Antara/M Risyal Hidayat
Sejumlah umat Islam melaksanakan shalat di Masjid Al-Akbar Surabaya, Jawa Timur.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Harri Ash Shiddiqie *)

Einstein berkata, ada perbedaan antara jenius dan kebodohan. Jenius mengetahui batas-batasnya, si bodoh tak tahu, tak ingin tahu dan tak mau tahu. Sayang, Einsterin bukan Muslim. Andaikan ia tahu bahwa Islam mewajibkan berilmu,  pasti ia heran. Apa yang ia ucapkan dan ia yakini tentang kebodohan, Islam sudah mengungkapkan lebih dari seribu tahun yang lalu.

Boros itu berlebihan, sombong juga berlebihan. Islam tidak menyukai apa pun yang berlebihan, itu melampaui batas. Pun ibadah puasa yang berlebihan sehingga merusak tubuh, itu bodoh, tidak dikehendaki Islam.

Tetapi, batas bukanlah sesuatu yang mudah ditangkap. Ada yang memang dapat dilihat secara fisik, batas wilayah kecamatan, misalnya.  Ada ada yang berupa angka-angka, batas kecepatan maksimum di jalan raya, sampai tulisan “dilarang masuk”.  Itu juga batas.

Tapi, banyak batas yang tidak terlihat. “Makanlah ketika lapar dan berhentilah sebelum kenyang.” Batas lapar dan kenyang tidak berupa garis atau angka. Bagi anak-anak muda yang sedang mabuk asmara, sering kabur antara syahwat setan dan cinta. Lalu tentang umur, itu juga batas yang tak pernah diketahui pemiliknya.

***

Ada dua kebodohan menurut Islam. Pertama,  karena tidak berilmu dan kedua karena tidak mau menerima kebenaran. Bisa jadi seseorang tidak banyak berilmu tetapi hatinya menerima Islam. Dan, sangat banyak orang berilmu, tapi tidak menerima Islam, hatinya tertutup, mengeras, membatu.

Seratus tahun yang lalu sulit mencari orang yang bisa baca tulis. Kini sulit mencari orang buta huruf. Anehnya, seratus tahun lalu sulit mencari orang beriman yang menyampaikan dan menegakkan Islam, sekarang pun masih tetap sulit.  

Teori, teknologi dan manajemen dakwah berkembang, tetapi selalu ada yang terperosok. Seseorang meneguhi syariat, ia tidak mencuri, tidak berzina, shalat dan berpuasa. Tetapi, ia tidak tahu tujuan syariat,  juga tidak tahu mana yang harus diprioritaskan dalam bersyariat. Tidak usah heran bila muncul ungkapan, carilah dunia jangan lupa akhirat. Padahal Al Qashash: 88 menegaskan, "carilah akhirat jangan lupa dunia."  

Juga tidak sedikit yang berilmu, tetapi tidak tahu prioritas bahwa urutan yang harus dijaga oleh seorang Muslim adalah : agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta. Mungkin tidak tahu, sehingga agama yang di urutan pertama justru direndahkan, ditunggangi agar mendapat harta dan jatah kekuasaan. Kalaupun tahu, batas-batas lalu dikaburkan, bila perlu dihilangkan, prioritas itu disamarkan, lantas dijungkirkan, tak heran bila berkata, “Tak usah menjaga dan membela Islam, terus saja  mencari uang, itu lebih penting dalam kehidupan”.

***

Juga harus dicatat, menjaga Islam bukan hanya dengan berdiri, tegak, kaku,  diam. Harus bergerak, selalu bergerak. Tidur adalah istirahat, itu bagian dari gerak. Tidur berlebihan itu melampaui batas, bodoh. Demikian juga dengan makan, rekreasi, berobat, bercengkerama dengan keluarga.

Gerak. Bolehkah sekedarnya, seenaknya? Tidak. Ketika sebuah pondasi masjid dibangun, ia ikut menyumbang tenaga, tapi kikir, bachil, karena batu pondasi yang diangkat hanya sebesar kepalan tangan. Berikutnya, sesuai koordinasi, ada undangan pengajian yang harus disampaikan. Karena malas, hanya separo yang diedarkan.

 

Juga shalat, Islam tidak memperkenankan main-main, harus khusyuk. Seluruh anggota tubuh, semua desah bicara, pikiran, perasaan, mengerucut bermunajat. Bukan berdoa bila kedua telapak tangan ditengadahkan ke langit, tetapi pikiran dibiarkan mengembara menjelajahi lemari makan, ada perasaan indah betapa nikmatnya goreng ayam.

Bukankah setiap Jumat selalu didengungkan, bertakwalah dengan sebenar-benar takwa, dan di surat At-Taghaabun ayat 16 : "Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu." Syu’bah Asa mengutip Zamakhsyari (wafat 538 H) menulis bahwa ayat-ayat tersebut bermaksud : Bertakwalah sedemikian rupa sehingga kamu tidak meninggalkan satu hal pun yang sebenarnya kalian mampu.”

Nah, menurut kesanggupanmu adalah : Maksimum sejauh kemampuan.

Menjaga Islam, membela Islam, menyampaikan dan menegakkan Islam, sudahkah kita  berjuang dengan maksimum  sejauh kemampuan? Semoga Allah selalu menunjukkan kepada kita jalan yang lurus. Amin.

 

*) Dosen di Jember, Jatim

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement