Selasa 22 Nov 2016 11:40 WIB

Pemilu Amerika, Komunitas Muslim dan Dunia Islam (bagian III)

Imam Shamsi Ali yang bermukim di New York.
Foto: Facebook
Imam Shamsi Ali yang bermukim di New York.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Imam Shamsi Ali *)

Pada tataran teologis, komunitas Muslim di Amerika melihat, pemilu Amerika ini dengan pandangan iman sekaligus. Artinya, secara umum semua peristiwa yang terjadi dalam hidup, baik diketahui arahnya atau tidak, berada di bawah kontrol Pencipta langit dan bumi. Pada tataran ini, komunitas Muslim melihatnya minimal berdasar pada dua ayat pertama surat  Al-Mulk:

1. Maha Suci (Allah) yang di tanganNya terletak segala kekuasaan, dan Dia berkuasa atas segala sesuatu.

2. Yang telah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji siapa di antara kalian yang terbaik dalam amal.

Sikap pertama adalah meyakini bahwa hidup manusia dan alam semesat itu berputar dalam genggamam kuasa Allah. Termasuk di dalamnya, perputaran kekuasaan (al-mulk) itu sendiri. Bukankah hal ini ditegaskan: "Katakan: Wahai Engkau yang memberi kekuasaan kepada siapa yang Engkau kehendaki. Dan mengambil kekuasaan dari siapa yang Engkau kehendaki".

Maka komunitas Muslim tidak terbawa arus keheranan, apalagi mempertanyakan kenapa Donald Trump terpilih, walau hampir semua prediksi mengunggulkan Hillary?

Bagi komunitas Muslim, di saat sebuah peristiwa telah menjadi kenyataan, maka itu sudah menjadi penerimaan iman kalau hal itu merupakan 'Qadarullah' (keputusan Allah SWT). Maka, menerimanya menjadi bagian dari iman itu sendiri.

Sikap iman inilah yang akan menjadi fondasi 'Thoma'ninah qalbiyah' (ketentraman jiwa) bagi komunitas beriman. Apalagi dengan keyakinan bahwa: "kalau seluruh jin dan manusia bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscara mereka tidak akan mampu melakukan itu kecuali jika Allah kehendaki. Dan sekiranya seluruh jin dan manusia berkumpul untuk memberikan mudhorat kepadamu nisacaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali apa yang Allah tetapjan atas kamu" (hadis Qudsi).

Sikap kedua pada tataran teologis ini adalah meyakini bahwa semua peristiwa yang terjadi dalam hidup manusia itu ditujukan sebagai "ujian". Bahkan hidup itu sejatinya adalah ujian.

Maka, terjadinya ujian menjadi keniscayaan dan tidak pantas dipertanyakan. Yang semestinya dipertanyakan adalah bagaimana menyikapi setiap warna ujian yang terjadi. Kalau sekiranya Hillary menang, bagaimana menyikapainya? Atau sekarang dengan kemenangan Donald Trump, bagaimama menyikapinya?

Yang pasti, setiap peristiwa hidup (ujian) punya makna. Dan terkadang, makna itu, memang hanya Allah yang tahu. Bahkan, kadang sesuatu yang baik menurut ukuran kita, sesungguhnya buruk akhirnya. Atau sebaliknya, buruk menurut ukuran kita, tapi itu baik dalam pandangan Allah.

Oleh karenanya, kata 'ahsanu amala' di surat Al-Mulk itu saya terjemahkan dalam konteks ini sebagai 'respons terbaik'. Menyikapi terpilihnya Donald Trump ini respons apa yang seharusnya komunitas Muslim lakukan?

Pertama, komunitas Muslim perlu fokus. Fokus yang saya maksud adalah bahwa komunitas Muslim di Amerika punya misi. Yaitu membangun komunitas yang solid dan mengambil partisipasi aktif dalam membangun Amerika dan dunia yang lebih baik. Oleh karenanya, terpilihnya DT hanya riak-riak kecil dalam perjalanan itu.

Satu hal yang komunitas selalu pegangi adalah tanggung jawab menyampaikan/menampilkan Islam yang sesungguhnya. Sekali lagi, bukan mengislamkan. Tapi menyampaikan (tablig) Islam yang sesungguhnya, menggantikan persepsi salah dan buruk yang berkembang selama ini. Oleh karenanya, komunitas Muslim harus merepresentasikan Islam secara benar.

Artinya, komunitas Muslim di Amerika harus menampilkan Islam secara baik di mata Amerika. Menampilkan Islam dalam segala gerak geriknya, baik secara individu maupun secara kolektif. Dan di semua lini kehidupannya.

Kedua, komunitas Muslim harus memahami Amerika sebagai negara. Amerika bukan perorangan. Bukan presiden atau ketua kongres atau senat. Tapi, sebuah institusi yang terbangun di atas asas konstitusi yang solid. Konstitusi yang salah satunya tidak saja menjamin kebebasan beagama. Tapi juga memproteksi kebebasan itu.

Oleh karenanya, kekhawatiran yang berlebihan dengan terpilihnya DT, tidak seharusnya. Toh kebijakannya akan banyak dibatasi oleh batas-batas konstitusi negara. Walau tidak diingkari kemungkinan adanya kebijakan yang agak merugikan itu. Tapi secara umum, kebijakan DT akan dikawal oleh Konstitusi yang saya yakin sangat menjamin hak-hak dan kebebasan beragama di negara ini.

Ketiga, tidak dipungkiri bahwa beberapa kasus kekerasan telah dialami oleh komunitas Muslim pasca-terpilihnya DT. Tapi, satu hal yang perlu saya garis bawahi, masih lebih banyak lagi orang-orang Amerika yang lebih baik, bahkan selalu berada di pihak yang membela hak-hak Muslim. Baik dari kalangan birokrat (pemerintah) maupun dari kalangan masyarakat umum. Dan lebih khusus lagi, saya ingin sebutkan "komunitas agama" lain, baik Yahudi maupun Kristiani.

Baru pagi ini saya diundang untuk hadri dalam acara 'public adress' wali kota New York, yang sengaja diadakan untuk memberikan semangat dan motivasi kepada masyarakat New York untuk tetap percaya diri. Bahwa, terpilihnya DT tidak aman mengubah nilai-nilai yang dibanggakan oleh New York. Yaitu kebersamaan, saling tenggang rasa, saling menolong, bahkan saling membela. Dalam hal ini, komonitas Muslim menjadi sorotan utama untuk diyakinkan akan pembelaan itu.

Oleh karenanya, kasus-kasus kekerasan yang terjadi kepada komunitad Muslim tidak menghapus keyakinan bahwa teman-teman Amerika masih seperti yang dibanggakan selama ini. Toleran, bersahabat, dan menjamin kebebaaan bergama di negara ini.

Keempat, merespons kepada tantangan pasca-terpilihnya DT sebagai presiden, komunitas Muslim harus lebih serius dan sungguh-sungguh menjadi 'mainstream' masyarakat Amerika. Proses integrasi harus terjadi secara pasti dan cepat.

Integrasi itu positif. Asimilasi boleh jadi punya konotasi negatif. Dan memang Amerika adalah bangsa dari berbagai belahan dunia dengan berbagai asosiasi komunal, baik agama dan kultur maupun inclinasi sosial. Dan semua itu tidak harus dihilangkan. Bahkan, dipertahankan dan dijaga kesuburannya. Dan itu pulalah yang harusnya menjadikan Amerika 'istimewa' (exceptional).

Menjadi bagian dari maistream masyarakat Amerika, harusnya bukan pilihan lagi bagi masyarakat Muslim. Sebab, hanya dengan demikian Muslim akan secara menyeluruh mengambil partisipasi dalam kehidupan publik. Dan hanya dengan berpartispasi secara aktif dalam kehidupan publik hak-hak sipil akan terjamin.

Intinya, masanya bagi komunitas Muslim beralih dari tamu di negara ini menjadi tuan rumah.

Bersambung!

* )  Presiden Nusantara Foundation.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement