Jumat 18 Nov 2016 06:00 WIB

Cikeas dan FPI

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Ada dua stempel yang ditabalkan gerakan demo 411, sejak sebelum Hari-H. Pertama, ini adalah gerakan Islam garis keras (hardliners). Kedua, ini adalah gerakan yang dimotori FPI. Yang unik dari gerakan ini adalah mereka tak pernah menanggapi semua tuduhan. Bukan hanya itu, mereka juga tak mengobral pernyataan di media massa. Mereka hanya sesekali menyatakan sikap dalam bentuk konferensi pers atau siaran pers. Selebihnya adalah diam. Mereka sangat fokus. Siapa mereka?

Gerakan ini dipimpin Bachtiar Nasir dan berduet dengan M Zaitun Rasmin. Mereka adalah generasi baru dai dan ustad. Bachtiar saat ini dikenal sebagai pemimpin Alquran Learning Center. Ia lulusan Madinah. Perjalanan dakwahnya dimulai dari pengajian-pengajian di Jakarta. Ia juga berdakwah di kalangan menengah-atas, termasuk memiliki pengajian rutin di sebuah klub eksekutif di Jakarta Selatan, sebuah tempat yang hanya bisa disewa oleh kelas elite Indonesia. Sedangkan Zaitun adalah pemimpin ormas keagamaan Wahdah Islamiyah. Organisasi yang diam-diam terus mekar dan memiliki cabang di seluruh Indonesia. Apakah Gerakan Nasional Pembela Fatwa (GNPF) MUI cuma berisi dua pilar itu?

GNPF berisi ustaz-ustaz muda dari beragam afiliasi keagamaan, termasuk dari NU dan Muhammadiyah. Mereka umumnya dai dan guru mengaji, yang biasa berceramah di kampung-kampung, di musola-musola, di radio-radio, dan di televisi-televisi. Dari yang sohor hingga yang tidak kita kenal. Mereka adalah generasi dai yang sebagian Gen-Y, sebagian Gen-X. Mereka sangat paham dengan dunia digital. FPI hanya salah satunya dari banyak unsur gerakan 411.

Lalu mengapa GNPF diasosiasikan ke FPI? Jawaban lurusnya karena urusan demo FPI memang sudah lebih sohor. Nama Habib Rizieq Syihab juga lebih dulu dikenal dan menjadi pembina GNPF. Tampilan Rizieq juga lebih menonjol. Pada sisi lain, FPI juga memiliki Munarman. Sebelum bergabung ke FPI, Munarman adalah aktivis LSM yang menonjol. Ia aktif di LBH, mulai dari Lampung hingga hijrah ke Jakarta, dan kemudian menjadi ketua YLBHI. Lembaga terakhir ini boleh dikatakan sebagai mbahnya LSM di Indonesia. Namun jawaban lainnya bisa dirunut dari pihak yang mensimplifikasi, bahkan lebih tepatnya sebagai khalayan yang jahat, bahwa GNPF sebagai FPI. Orang-orang yang menyebut GNPF sebagai FPI adalah orang-orang dan pihak-pihak yang tak menyukai GNPF. Mereka hendak menyempitkan GNPF agar gerakan ini gembos di perjalanan. Mengapa? FPI sudah dicitrakan tak bagus dan menyukai cara-cara keras. Atau ada jawaban lain lagi, mereka salah baca dan kurang info alias kurang piknik sehingga tak memahami siapa GNPF dan apa esensinya.

Upaya delusif gagal total. Pendekatan ke elite-elite agar mengerem laju aksi 411 juga tak banyak berarti. Seperti saya tulis pada Resonansi sebelumnya, 411 itu gerakan sosial. Namun upaya pengerdilan terus dilakukan setelah aksi selesai. Pertama, gerakan 411 itu ditunggangi aktor politik, lengkap dengan pembiayaannya. Kedua, penciptaan kambing hitam ke HMI.

Ada sebuah penjelasan sederhana dari seorang tokoh ulama, yang justru ada di belakang Jokowi saat pilpres 2014. Menurutnya, pemerintah dan seluruh organ dan afiliasinya sibuk menggusah asap namun apinya itu sendiri tak pernah disentuh. Itulah lelucon dan kesia-siaan. Selain itu, sibuk bicara penunggangan namun kudanya itu sendiri tak pernah dicolek. Jika tak ada kuda tentu tak ada yang bisa ditunggangi. Tentu saja ini juga lelucon. Namun jawaban yang lebih masuk akal adalah demo 411 mampu menghimpun banyak massa karena ada perasaan yang sama, ada figur pemimpin yang dipercaya, ada isu bersama. Aksi unjuk rasa juga terjadi akibat saluran-saluran negara yang resmi dinilai tak mampu mewadahi aspirasi yang berkembang. Makin besar aksi unjuk rasa berarti makin mampet salurannya. Makin massif unjuk rasa berarti makin hadirnya perasaan tak percaya kepada figur-figur dan lembaga-lembaga resmi kenegaraan. Karena itu, dalam demokrasi, unjuk rasa adalah sah. Unjuk rasa adalah bagian dari artikulasi aspirasi. Sehingga membuat aksi tandingan adalah cara berdemokrasi yang tak beradab. Yang benar adalah mengawal aksi agar tak ricuh, dan jika melenceng maka tugas negara untuk melakukan langkah-langkah yang sudah ada protapnya untuk itu.

Lalu betulkah ada penunggangan? Bisa benar, bisa salah. Dalam suasana kerumunan segala kemungkinan bisa terjadi. Walau tersamar, tuduhan itu terarah ke Cikeas. Sebetulnya yang dituduh lebih banyak lagi tapi hanya disampaikan secara terbatas. Apapun, penunggangan yang mempunyai tujuan berbeda dengan target inti tak akan berhasil jika apinya padam, jika kudanya tak ada. Jadi tak perlu risau jika apinya sudah padam, jika kudanya tak ada. Demo-demo bayaran selama ini tak pernah besar. Demo besar hanya terjadi manakala ada isu bersama yang sangat kuat dan lemahnya kepercayaan terhadap elite dan lembaga resmi.

Pada sisi lain, gerakan massa Islam di Indonesia tak memiliki pengalaman dengan politik. Bisa dilihat pada 1966, 1974, 1977/1978, 1998, dan 1999. Yang terampil memainkan massa dan politik justru dari luar gerakan Islam. Mereka sangat terampil dan teruji. Memang pada 1998 umat Islam ikut, bahkan Amien Rais menjadi lokomotifnya. Tapi lihat di mana markasnya dan siapa penyokong di garis belakangnya. Namun aksi 411 memberi banyak pelajaran pada umat. Pertama, mereka harus belajar gerakan massa dari kiri dan Kristen. Kedua, jumlah bukan kekuatan yang utama karena yang paling penting adalah pengorganisasian, penggalangan simpul-simpul, dan pembangunan isu yang lebih luas. Ketiga, gerakan massa membutuhkan massa inti yang lebih disiplin, tegas, dan terlatih. Keempat, pihak pesaing tak akan diam tapi akan menyusup, mengganggu, dan menggagalkan dengan keberanian dan militansi namun bisa bebas kembali walau tertangkap.

Aksi 411 juga memberi gambaran bahwa saat ini mulai berubahnya peta demografi. Perubahan inilah yang harus dipahami pemimpin umat dan penyelenggara negara. Mereka menuntut perluasan peran di segala bidang. Jika pemimpin umat tak bisa mengantisipasi ini maka mereka akan menjadi fosil karena hadirnya pemimpin baru yang lebih responsif dengan kebutuhan mereka. Jika negara tak bisa mengakomodasi perubahan ini maka bahaya menanti di depan mata. Karena itu sangat gegabah merespons 411 dengan cara politik belaka, butuh kacamata sosial dan ekonomi.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement