Senin 14 Nov 2016 06:00 WIB

Trump dan Konspirasi Memecah Belah Timur Tengah

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Kemenangan Donald Trump untuk bersinggasana di Gedung Putih ternyata ditanggapi biasa-biasa saja oleh para pemimpin negara-negara di Timur Tengah. Pun seandainya yang menang adalah Hillary Clinton. Mereka akan wait and see beberapa bulan setelah sang presiden duduk di singgasananya.  Tentu, sebagai bosa-basi diplomatik, sejumlah kepala negara/pemeritah di Timur Tengah tidak lupa untuk memberi ucapan selamat kepada presiden terpilih.

Pengalaman berharap terlalu banyak kepada Presiden Barack Hussein Obama — dan juga presiden-presiden AS sebelumnya — tampaknya telah memberi pelajaran berharga kepada mereka. Lihatlah, kurang apa pada diri Obama. Ia merupakan kuturunan Afrika-Amerika pertama yang menjadi Presiden AS. Bapaknya orang asli Kenya, Afrika. Obama juga pernah beberapa tahun tinggal di Indonesia, sebuah negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Ia hidup bersama ibu dan ayah tirinya yang orang Indonesia dan juga beragama Islam di Jakarta.

Dengan latar belakang seperti itu pantaslah kalau ada semacam euforia di kalangan umat Islam dan bangsa-bangsa di Timur Tengah, ketika Obama terpilih jadi orang nomor satu di negara paling kuat di dunia. Bahwa kebijakan Obama selama berkantor di Gedung Putih akan bisa membantu menyelesaikan berbagai persoalan yang membelit negara-negara di kawasan Timur Tengah. Bahwa Obama akan lebih empati terhadap nasib bangsa Palestina dan umat Islam.

Apalagi beberapa bulan setelah bersinggasana di Gedung Putih, Obama sempat menyampaikan pidato bersejarah di Universitas Kairo, Mesir, tentang Islam dan pentingnya peran umat Islam dalam membangun peradaban dunia. Ia juga berjanji akan bersikap adil dalam menyelesaikan konflik Israel-Palestina.

Sayangnya, seiring perjalananan waktu janji-janji manis Obama seperti pepesan kosong. Selama masa kepresidenan Obama kawasan Timur Tengah justeru semakin bergolak. Revolusi rakyat di sejumlah negara Arab malah berubah menjadi kekacauan. Seperti halnya terjadi di Libia, Yaman, dan Suriah. Kalau ada prestasi yang bisa disebut dari Obama adalah keberhasilannya membunuh pemimpin tertinggi Alqaida, Usamah bin Ladin, di persembunyiannya di Pakistan.

Namun, kematian Usamah menjadi tidak berarti apa-apa karena setelah itu ada semacam pembiaran munculnya tokoh lain yang lebih berbahaya. Seorang di antaranya adalah Abu Bakar al Baghdadi. Yang terakhir ini bahkan lebih berbahaya dari sekadar Usamah bin Ladin yang tak pernah berhasil membentuk sebuah negara. Sebaliknya, al Baghdadi telah dengan gemilang mendeklarasikan pembentukan sebuah negara yang bernama Islamic State of Iraq and Syria alias ISIS. Dalam negara itu, al Baghdadi mengangakat dirinya sendiri sebagai kepala negara dan bergelar amirul mukminin.

Dan, yang lebih mencengangkan, deklarasi itu disampaikan secara terang-terangan di depan mata dunia. Inilah yang disebut banyak pihak sebagai ‘pembiaran’. Bahkan Obama yang kemudian mebentuk pasukan koaliasi internasional ternyata juga tidak berbuat apa-apa hingga sekarang. Terbukti hanya dalam dua tahun ISIS telah berhasil menguasai wilayah yang sangat luas di Irak dan Suriah.

Keberadaan ISIS jelas semakin membuat runyam Timur Tengah. Apalagi karakter ISIS adalah ekspansionis. Suriah yang tadinya hanyalah konflik antara kelompok-kelompok oposisi dan rezim Presiden Bashar Assad berkembang menjadi perang yang melibatkan banyak pihak. Ada Rusia, Iran, rezim Assad di satu pihak. Lalu ada kelompok oposisi yang didukung sejumlah negara Arab, Amerika, Turki, negara-negara besar Eropa dan lainnya.  Di pihak lain ada ISIS yang telah menguasai sebagian besar wilayah Suriah. Ini belum termasuk pihak-pihak lain seperti Kurdi dan dan kelompok lainnya. Hal yang hampir serupa juga terjadi di Irak.

Beberapa pihak menuduh pemerintahan Obama berada di balik keberadaan ISIS. Minimal mereka membiarkan ISIS muncul dan berkembang luas seperti sekarang. Padahal, sebenarnya, Obama hanyalah meneruskan kebijakan yang telah dimulai oleh Presiden George Bush sebelumnya. Yakni ketika Bush menyerang Irak tanpa alasan jelas. Dalih bahwa Saddam Husein menyimpan senjata pemusnah massal yang menjadi alasan Bush menyerang Irak hingga sekarang tidak pernah terbukti. Anehnya, sanksi dari lembaga internasional tidak pernah diberikan kepada Bush.

Karena itu, sebenarnya, siapa pun yang bersinggasana di Gedung Putih, baik dari Partai Demokrat ataupun dari Partai Republik, kebijakannya akan sama saja bila menyangkut Timur Tengah. Yang berbeda hanyalah retorika, taktikal, dan strategi. Termasuk kebijakan Gedung Putih terhadap konflik Israel-Palestina (Arab). Karena itu, meminjam istilah SBY, sampai lebaran kuda pun Amerika Serikat — siapa pun presidennya — akan selalu mendukung Zionis Israel dan mengacak-acak Timur Tengah.

Mari kita bandingkan kebijakan Donald Trump dengan Hillary Clinton ketika masih sama-sama berkampanye menuju Gedung Putih. Kata Trump, kebijakan luar negeri Clinton di Suriah akan memicu Perang Dunia Ketiga. Hal ini merujuk pada pernyataan Clinton sebelumnya yang mengusulkan diterapkannya zona larangan terbang internasional di udara Suriah, guna melindungi warga sipil dari serangan pesawat tempur Rusia dan Suriah.

‘’Zona larangan terbang akan menyelamatkan ratusan dan bahkan ribuan nyawa, serta bisa mendorong berakhirnya konflik di Suriah. Juga bisa memaksa Rusia untuk berunding,’’ kata Clinton.

‘’Kalau begini (mengikuti kebijakan Clinton), kita tidak lagi hanya berhadapan dengan Suriah saja, tetapi kita akan melawan Suriah, Rusia, dan Iran. Karena itu kita harus berunding dengan Putin,’’ tutur Trump.

Lalu, apa bedanya kampanye Trump dengan Clinton menyangkut kebijakan luar negeri mereka terhadap Suriah? Yang beda, sekali lagi, hanya retorika, taktikal, dan strategi. Tujuannya sama saja: berunding! Lalu pembagian peran dan pengaruh antara dua kekuatan dunia itu. Perang Dunia Ketiga seperti dikhawatirkan Donald Trump tidak akan pernah terjadi hanya gara-gara konflik Suriah. Yang ada hanyalah retorika kampanye.

Konspirasi untuk memecah-belah negara-negara di Timur Tengah, seperti tertera dalam perjanjian rahasia The Sykes-Picot Agreement (1916) tampaknya akan terus berlanjut. Dulu, menjelang runtuhnya dominasi Khilafah Usmaniyah, yang menjadi negara superpower adalah Inggris Raya (Great Britain) dan Prancis. Kini pemain utamanya Amerika dan Rusia, berikut negara-negara sekutu mereka.

Jadi, seperti dikatakan Abdul Rahman al Rasyid, pengamat politik Timur Tengah dari Arab Saudi, para pengambil keputusan penting mengenai Timur Tengah bukanlah para pemimpin kawasan. Para pengambil keputusan itu mereka yang duduk di ruangan yang nyaman di Washington dan Moskow.

Menurut al Rasyid, salah apabila bangsa-bangsa di Timur Tengah berpikir bahwa dunia peduli pada keamanan dan stabilitas kawasan. Yang benar adalah dunia tidak peduli. Yang mereka pedulikan hanyalah jangan sampai para teroris dan para imigran dapat menjangkau negara mereka. Yang mereka pedulikan adalah agar ladang-ladang minyak dan gas tak hancur karena merupakan sumber energi bagi mereka. Selebihnya tidak!

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement