Selasa 08 Nov 2016 01:00 WIB

Jihad Global, Jihad Konstitusi, Bela Islam

Harri Ash Shiddiqie
Foto: dokpri
Harri Ash Shiddiqie

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Harri Ash Shiddiqie *)

Dulu, 50 tahun yang lalu, istilah jihad masih bersifat lokal. Suatu gerakan dan aktivitas yang dicanangkan di wilayah terbatas, di Palestina, Mesir, juga di Indonesia ketika perang kemerdekaan menjelang pertempuran di Surabaya, Resolusi Jihad. Kini, istilah jihad bergema di mana-mana. Di seputar 4 November 2016, kata-kata  Jihad Konstitusi bergema ribuan kali, ia menjadi dasar aktivitas 'Aksi Bela Islam'.

 

Di negeri-negeri Barat, media menulis istilah jihad seiring dengan Suriah yang dilanda perang, teroris, Islamophobia dan semacamnya. Orang Eropa dan Amerika mengira-ira apa arti kata itu dengan sedikit rasa asing, jeri sekaligus ngilu.

Beriringan dengan Huntington yang mengemukakan 'Benturan Peradaban'. Anthony Giddens  menyatakan bahwa,  agenda jihad yang sifatnya lokal menjadi jihad global dikumandangkan oleh Osama Bin Laden, pemimpin Al Qaeda. Dari sana muncul konsep jihad tanpa batas teritorial, tanpa wilayah. Osama, di tempat persembunyiannya yang jauh dari Amerika, 9 September 2001,  World Trade Centre ditabrak, roboh. Banyak yang mati.

 

***

Hari ini, apapun yang terjadi  dengan umat Islam  tidak lepas dari proses panjang Kebangkitan Islam, di antaranya dipelopori oleh gerakan Pan Islam Jamaluddin Al Afghani (1839-1897). Gerakan yang berusaha membangunkan kesadaran umat Islam agar menjadi umat yang bersatu, kuat.  

Kebangkitan Islam mulai tampak berkembang di awal abad 20. Tentu saja tidak mudah, itu sudah Ketentuan Allah, sunatullah. Hanya sebagian kecil muslim yang terpanggil. Kenapa? Pertama Sebagian besar kaum muslimin di Afrika maupun Asia memiliki penguasaan ilmu Islam yang rendah. Akibatnya ketaatan dalam akidah dan syariah (meminjam istilah Mahmud Syaltut) juga rendah. Itu ditopang oleh kuatnya budaya tradisional sampai paganisme.

Kedua, kurangnya persaudaraan dan persatuan umat. Banyak penyebabnya, selain budaya, ekonomi, politik sampai perbedaan penafsiran Alquran maupun hadis. Gerakan ini diisi oleh kalangan terdidik dengan strata ekonomi menengah. Di masa kolonialisme, baik di Aljazair, India maupun Indonesia orang-orang sedemikian sedikit, akibatnya gerakan Kebangkitan Islam tetap berjumlah minoritas.  

Sekitar 1970  Kebangkitan Islam mulai tampak. Kondisi Muslim Palestina, Perang Timur Tengah dan kekejaman Israel membuat kaum Muslim sadar, menatap diri. Pengalaman teraniaya di bawah kekuasaan kolonial membuat kaum Muslimin terlibat secara intelektual dan emosional, berikutnya memberi dukungan politik kepada Palestina.

Di sisi yang lain, lepasnya kolonialisme di negeri Islam membuka kesempatan pendidikan. Kebangkitan Islam digerakkan seluruh kaum Muslimin,  semua berlomba memfasilitasi sarana-sarana  sosial, masjid, kelompok pengajian, sarana pendidikan formal, layanan kesehatan bahkan lembaga keuangan syariah. Itu membuat kaum Muslimin semakin terbuka, banyak belajar, semakin berilmu. Tidak sedikit yang belajar Islam ke negeri Timur Tengah, tetapi juga tidak sedikit yang belajar ke Amerika.

Ketentuan Allah juga... mereka dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan berkiprah dengan kapasitas intelektual, emosi dan spirit masing-masing. Sebagian terjun di dunia pemerintahan, menjadi pengusaha, terjun di bidang politik. Sebagian ada yang berpikiran liberal, sebagian menjadi militan, sebagian yang lain mengikuti jihad global.

***

Kebangkitan Islam memunculkan berbagai fenomena, itu membingungkan dunia kontemporer. Bila manusia berduyun-duyun meraih konsumerisme dan sekularisme. Kebangkitan Islam mengambil arah yang lain. Arah yang lain? Ya, Islam memprotes bahkan melawannya.

Ada pernyataan peneliti Perancis yang mengejutkan, Ernest Gellner, karena itu banyak dirujuk. Berhadapan dengan sekularisme, semua agama jadi lentur, meliuk,  sekuler masuk, kecuali Islam. Aneh, katanya, Islam tetap tegak, bahkan menjadi lebih kokoh. Penelitian yang dikutip Carvalho (University of Oxford) menyatakan, tahun 1969, jilbab hampir sepenuhnya absen di Kairo, tetapi tahun 2000 lebih 80 persen wanita mengenakannya (untuk Indonesia mungkin sekitar itu juga). Bahkan di beberapa kasus tumbuh militansi, Revolusi Islam Iran maupun peristiwa terbunuhnya Anwar Sadat di awal tahun 1980. Penelitian itu ramai dibicarakan sekitar awal tahun 1990, mungkin itu pula  yang menyebabkan Huntington mengambil kesimpulan benturan peradaban.

Bagaimana dengan Indonesia. Ulama bersatu, tegas menyatakan : Wajib memilih calon pemimpin Muslim.  

Ketegasan itu menggelinding bagai bola salju. Berdengung ribuan kali lewat internet Google, FB, WA  tentang haramnya memilih pemimpin kafir. Dulu, istilah haram melekat ketat berkaitan dengan daging babi, bisa jadi seseorang yang tidak shalat, tidak berpuasa, mati-matian menolak  makan daging babi. Kini, bisa jadi ia menolak memilih pemimpin non muslim. Tentu saja ada yang tidak suka dengan ketegasan ini. Mayoritas penduduk adalah Muslim, maka partai yang para pemimpinnya banyak dari kalangan non-Muslim kemungkinan menjadi berkurang suaranya.

Ketegasan itu tidak terlepas dari kebangkitan Islam. Demikian juga dengan Aksi Bela Islam yang menghadirkan sekitar 2 juta umat Islam dari berbagai wilayah. Aksi damai terbesar di sepanjang sejarah republik ini.

Semoga kebangkitan Islam terus berlanjut, dan Allah memasukkan kita sebagai bagian yang menggelorakan kebangkitan itu, untuk memuliakan Islam, memuliakan Allah. Amin.

*) Dosen di Jember

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement