Ahad 06 Nov 2016 01:00 WIB

Rabunnya Mata Batin

KH Hasyim Muzadi (Ilustrasi)
Foto: Republika/Da'an Yahya
KH Hasyim Muzadi (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh KH A Hasyim Muzadi

 --Ijtihaaduka Fiimaa Dhumina Laka

Wa Taqshiiruka Fiimaa Thuliba Minka

Dalillun ‘Alaa Inthimaasil Bashiiroh Minka :

Kesungguhanmu mengejar apa yang sudah dijamin untukmu

dan kelalaianmu melaksanakan apa yang dituntut darimu,

adalah bukti dari rabunnya mata batinmu—

 

--Ibnu ‘Athaillah—

Hidup dan kehidupan adalah anugerah Allah SWT. Kehidupan bukanlah satu-satunya anugerah yang Allah berikan kepada para makhluk-Nya. Selain anugerah kehidupan, Allah juga menyiapkan pemberian kematian. Kehidupan memiliki awal dan akhir. Hanya Allah yang Maha Hidup dan tak pernah mati. Ketika menganugerahkan kehidupan, Allah telah menyiapkan di dalamnya semua kebutuhan manusia untuk dapat mengelola nikmat kehidupan. Semua anugerah Allah baik adanya.

Setelah kematian datang, tempat kembali semua makhluk hidup adalah Allah semata. “Tsumma Ilayya Marji’ukum—kemudian kepada-Ku lah tempat kalian semua pulang,” demikian bunyi firman-Nya yang sering diingatkan oleh para guru kepada kita. Sebelum akhirnya benar-benar pulang, Allah menjadikan kehidupan sebagai tempat manusia mempersiapkan segala hal agar, secara sendiri-sendiri, mereka dapat mempertanggungjawabkan anugerah kehidupan kepada Allah SWT.

Untuk memudahkan tugasnya, manusia tak perlu mengejar sesuatu yang berada di luar yang dituntut darinya. Allah sudah menyiapkan dan mengatur semua. Tugas manusia adalah menjadi khalifah agar kehidupan di dunia dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kemakmuran kehidupan akhirat. Maksimal dalam arti mampu memberi makna dan manfaat sebanyak-banyak kepada sesama makhluk hidup, utamanya antarsesama anak manusia.

Kita lahir dengan ketetapan yang sudah digariskan Allah dari sejak alam azali. Siapa jodoh kita, menurut banyak riwayat, sudah disiapkan. Di belahan tanah mana kita akan mengakhiri hidup, juga sudah digariskan. Rejeki sebanyak apa yang akan kita butuhkan, juga sudah ditentukan. Derajat setinggi apa yang akan kita peroleh di tengah kehidupan, juga sudah dituliskan. Semua garis ketetapan itu mengarah kepada satu tujuan : menghamba hanya kepada Allah SWT.

Karena kita dicipta hanya untuk menghamba, mengabdi dan menyembah Allah, maka semua yang kita lakukan harus diniatkan untuk ibadah. Ibadah yang tulus dan hanya ditujukan untuk Allah, akan melahirkan ketulusan dan keridhaan di dalam diri kita. Ibadah yang tidak diniatkan untuk Allah, tertolak. Ibadah yang niatnya campur aduk dengan niat selain untuk Allah, juga akan tertolak. Allah tidak berkenan “diduakan” karena memang tidak ada “syariika” bagi-Nya.

Menduakan Allah bisa dilakukan oleh siapa saja ketika mata batinnya sudah rabun. Mata batin yang rabun adalah akibat langsung dari ketidakmampuan kita memilah mana yang menjadi tugas dan bagian kita dan mana yang sudah menjadi kehendak Allah. Menjaga kesehatan dengan berolahraga secara teratur adalah baik, tetapi meniatkannya untuk selain ibadah, itu berada di luar yang dimintakan agama kepada kita. Apalagi kalau olahraga hanya untuk gagah-gagahan.

Bekerja keras mengumpulkan harta adalah bentuk kasbul ‘aisy yang diperintahkan agama. Tapi mengumpulkan materi hingga berlebih-lebihan adalah tercela. Terlebih kalau menggunakan cara-cara yang dilarang oleh agama. Berlebih-lebihan dalam urusan “beginian” jelas akan membuat mata batin kita rabun. Mata batin yang rabun akan sulit membedakan mana yang haq dan mana yang bathil. Hanya mata batin yang sehat yang akan mampu menjadi pelita.

Allah tidak menginginkan kita berlebih-lebihan dalam segala hal. Hatta untuk hal-hal yang dianjurkan sekalipun. Bersedekah adalah tuntunan yang baik tetapi Allah mengingatkan kita untuk tidak berlebih-lebihan dalam bersedekah. Allah mengingatkan bahwa sedekah bisa batal gara-gara disertai dengan niat pamer dan menistakan orang. Membuat orang malu saat menerima sedekah kita, adalah tindakan tercela. Agama melarang sedekah dengan cara ini.

Melaksanakan shalat adalah baik tetapi berlebih-lebihan dalam menunaikan ibadah ini hingga melupakan ibadah sosial, diancam Allah dengan Neraka Wayl. Duduk i’tikaf di dalam masjid adalah baik. Tetapi berlama-lama di sudut-sudut rumah ibadah hingga lupa kebawajiban menghidupi keluarga, diancam dengan kemurkaan Allah. Agama mengajarkan kita untuk melakukan apa yang diminta “saja” bukan sesuatu yang melampaui itu semua. Sebab, kemampuan setiap orang sudah terukur.

Meninggalkan keluarga dan lingkungan yang miskin untuk berangkat perang ke Irak, Suriah, Libya, Tukri, Palestina, tidak dituntutkan oleh agama. Memenuhi hak-hak orang terdekat adalah sebuah kewajiban. Bahkan, berangkat umroh dan haji berkali-kali di luar yang diwajibkkan tapi masyarakat di sekitarnya tenggelam dalam kepapaan yang akut, adalah dosa. Mengentaskan saudara-saudara dari kemiskinan menjadi tugas kita sebagai khalifah Allah di atas bumi ini.

Ketika mata batin hanya dapat diperoleh dengan cara beribadah penuh ketulusan hanya untuk Allah, maka semua ikhtiar ke arah itu adalah wajib. Wudhu menjadi wajib bagi seseorang yang akan menunaikan ibadah salat, tawaf, mengenakan pakaian ihram, meski awalnya hanya dianjurkan. Mari melakukan apa yang sudah digariskan dan menerima ketetapan yang telah digariskan oleh Allah. Tidak berlebih-lebihan, hatta untuk ha-hal yang dianjurkan. Wallaahu A’lamu Bishshowaab. (*)

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement