Sabtu 05 Nov 2016 06:00 WIB

Penistaan Agama dari Masa ke Masa

Asma Nadia
Foto: Daan Yahya/Republika
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID, Penistaan agama bukan hal baru, melainkan sudah ada sejak  manusia diciptakan. Ketika iblis menolak  menghormati Adam sebab merasa lebih mulia --telah diciptakan dari api sedangkan manusia dari tanah--sejarah penistaan pun bermula.

Saat Qabil membangkang perintah Nabi Adam dan akhirnya membunuh Habil, maka untuk pertama kali terjadilah babak penistaan agama, yang dilakukan manusia.

Setelah wafatnya Rasulullah SAW, penistaan agama dimulai oleh kelompok yang menolak membayar zakat. Bagi Khalifah saat itu, seorang muslim tidak boleh pilih-pilih ayat,  hanya mengambil yang disukai, dan mengabaikan ajaran yang tidak disetujui. Ketaatan harus menyeluruh. Karenanya mereka yang menolak sebagian perintah agama harus ditindak.

Menentang ajaran agama, meragukan, atau sekadar mempertanyakan, sebenarnya merupakan bagian penistaan agama dalam arti luas.

Di masa lalu, kelompok pemimpin agama yang mempunyai kekuasaan cukup besar nyaris sepenuhnya berhak untuk menentukan siapa yang melakukan penistaan terhadap agama dan layak dihukum berat.

Tercatat dalam sejarah, di abad pertengahan banyak ilmuwan  dihukum mati atau dibakar hidup-hidup  karena dianggap sudah menistakan agama. Padahal mereka hanya  mengungkapkan bahwa bumi tidak datar dan bukan merupakan pusat rotasi tata surya. Sesuatu yang bertentangan dengan paham dominan saat itu.

Di masa lampau pada suku-suku pedalaman di berbagai pelosok dunia, juga terjadi penduduk yang dihukum mati, mengalami pengusiran, atau didenda karena dianggap melanggar keyakinan setempat. 

Kini, secara legal makna dan penafsiran istilah "penistaan agama" dipersempit penggunaannya khusus hanya bagi penegak hukum. Mereka yang dinyatakan telah menistakan agama, hanyalah orang yang secara hukum diputuskan bersalah sudah melakukan perbuatan tersebut. Sedangkan yang dinyatakan sebaliknya, akan bebas dari hukuman.

Akan tetapi kenyataannya tidak semudah itu. Karena begitu sistem hukum dianggap tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat yang menjunjung tinggi ajaran yang dipercaya, maka tidak mustahil mereka menempuh jalan beragam. Bagaimana pun ketika berbicara keyakinan, kita masuk ke area yang sangat pribadi. Setiap orang memiliki kadar keimanan dan pemahaman  berbeda yang  tidak bisa dikontrol pihak lain.

Tahun 2011, sewaktu majalah Charlie Hebdo membuat kartun Nabi Muhammad dengan judul Charia Hebdo, protes keras kaum muslimin tidak digubris pemerintah setempat. Alasannya, secara legal apa yang dilakukan tidak melanggar hukum. Tak berselang lama, berbagai surat ancaman pembunuhan dikirim dan kantor majalah tersebut diserang bom molotov, meski tidak menimbulkan korban.

Pada penerbitan berikutnya, mungkin merasa sudah dilindungi hukum,  majalah satir tersebut tidak menyesuaikan diri, sebaliknya justru membuat kartun lain yang juga dianggap menghina  keyakinan muslim setempat. Akibatnya, pada 7 Januari 2015, tiga pria memakai masker dan melakukan penyerangan bersenjata, memasuki kantor pusat majalah tersebut, dan mulai menembaki dengan senjata otomatis. Dilaporkan sekitar 50 tembakan dimuntahkan, mengakibatkan 12 orang tewas dan 10 orang terluka. 

Kasus lain terkait Theodoor "Theo" van Gogh, sutradara asal Belanda, membuat  film Submission (2004) yang mengkritisi kehidupan wanita dalam Islam. Karyanya dianggap melecehkan umat, walaupun secara legal tidak melanggar. Cucu buyut dari saudara Vincent Van Gohn ini kemudian tewas dibunuh Mohammed Bouyeri, seorang Belanda keturunan Maroko. 

Tulisan ini tidak bermaksud membenarkan tindak kekerasan yang pernah terjadi, apalagi  di setiap tempat ada hukum berlaku yang harus dihormati. Tetapi jika  mengacu pada semua kasus penistaan agama di atas, ada benang merah  yang seharusnya menjadi perenungan bersama dan mengasah sensitifitas berbagai pihak.

Pertama, ada pemahaman yang dianggap benar oleh sang pemeluk agama. Lalu ada seseorang atau kelompok yang memicu ketegangan dengan mengusik keyakinan tersebut. Hal yang jika dibiarkan, mampu memperkeruh suasana. Karena itu, harus ada langkah tegas yang diambil untuk mengatasinya  seadil mungkin. Pendekatan hukum jelas pilihan tepat. Prosesnya juga harus diprioritaskan, agar tidak berlarut. Akan tetapi untuk solusi berkesinambungan, pendekatan budaya, sosial, dan religi juga tidak boleh diabaikan.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement