Senin 31 Oct 2016 06:00 WIB

Arab Berantem Melulu, Konspirasi Sebagai Tertuduh

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Beberapa teman sering bertanya kepada saya, mengapa sih negara-negara Arab yang sama agama dan bahasanya berantem melulu? Pada kesempatan berbeda, teman lain juga menanyakan, apakah Iran, Turki atau Mesir itu termasuk negara Arab? Juga, apakah masyarakat di tiga negara tersebut berbahasa Arab? Yang mereka tahu, Arab itu Saudi atau Saudi itu ya Arab. 

Pertanyaan demikian barangkali wajar saja. Mungkin karena Saudi merupakan salah satu negara yang menjadi tujuan sebagian dari kita. Baik untuk haji, umrah, atau belajar. Juga untuk bekerja sebagai sopir, penjaga toko, pembantu rumah tangga, dan sebagainya. Sehinggga, Saudi sangat akrab bagi sebagian masyarakat Indonesia. Andaikan negara Raja Salman bin Abdul Aziz itu miskin atau di sana tidak ada Mekah dan Madinah mungkin Saudi seperti negara lain. Asing. Tidak terlalu dikenal.

Padahal yang disebut negara Arab itu ada banyak. Tepatnya 22 negara. Semuanya tergabung dalam Liga Arab.  Mari saya sebutkan satu per satu. Saya mulai dari negara-negara pendiri Liga Arab, yaitu: Republik Arab Mesir, Republik Irak, Kerajaan Hasyimiyah Yordania, Republik Lebanon, Kerajaan Arab Saudi, dan Republik Arab Suriah.  

Berikutnya negara-negara yang menyusul bergabung dengan Liga Arab. Yaitu: Negara Libia, Republik Sudan, Republik Yaman, Kerajaan Maroko, Republik Tunisia, Negara Kuwait, Republik Demokratik Rakyat Aljazair, Uni Emirat Arab, Kerajaan Bahrain, Negara Qatar, Kesultanan Oman, Republik Islam Mauritania, Republik Federal Somalia, Negara Palestina, Republik Djibouti, dan Perserikatan Komoro (hingga 2002 bernama Republik Islam Federal Komoro).

Semua 22 negara yang tergabung dalam Liga Arab itu menyebut dirinya sebagai negara Arab. Sejumlah 12 negara berada di Benua Asia, sedangkan 10 negara lainnya ada di Benua Afrika. Tepatnya di Asia Barat, Asia Timur, dan Afrika Timur Laut. 

Atau dengan kata lain, semua negara Arab berada di sebuah kawasan yang selalu bergolak, Timur Tengah. Yaitu daratan di antara Laut Mediterania dan Teluk Persia serta wilayah yang memanjang dari Anatolia, Jazirah Arab, dan Semenanjung Sinai. Kawasan Timur Tengah sering juga disebut meliputi wilayah dari Afrika Utara di sebelah barat sampai dengan Pakistan di sebelah timur dan Kaukasus Asia Tengah di sebelah utara.

Namun, tidak semua negara yang berada di kawasan Timur Tengah adalah negara Arab alias bergabung dengan Liga Arab. Sebut misalnya Israel, Iran, Pakistan, Turki, dan seterusnya. Liga Arab dibentuk antara lain atas dasar kesamaan budaya, bahasa, dan agama. Dengan kata lain, lebih dari 400 juta jiwa warga negara-negara yang tergabung dalam Liga Arab mempunyai kesamaan budaya, bahasa, dan agama. Yaitu budaya dan bahasa Arab dan agama Islam.

Yang patut disayangkan ternyata kesamaan bahasa, budaya, dan agama tampaknya belum cukup untuk bisa menyatu-padukan negara-negara Arab. Bandingkan misalnya dengan ASEAN (Association of Southeast Asian Nations). Sepuluh negara yang kini berhimpun dalam Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara ini bisa dikatakan dapat hidup berdampingan secara damai dan harmonis, meskipun masing-masing negara berbeda ideologi, bahasa, dan agama.

Berbagai pihak lantas menunjuk ‘konspirasi’ sebagai pihak tertuduh, yang menyebabkan negara-negara Arab mengalami konflik berkepanjangan hingga kini. Salah satu konspirasi itu adalah perjanjian rahasia antara Britania (Inggris) Raya dan Prancis. Perjanjian yang dikenal dengan The Sykes-Picot Agreement itu ditandatangani pada 1916. Sykes diambil dari nama diplomat Inggris, Sir Mark Sykes, sedangkan Picot dari nama diplomat Prancis, Francois Georges-Picot.

Perjanjian itu antara lain berisikan pembagian pengaruh dan kendali wilayah-wilayah Islam di Asia Barat setelah jatuhnya Kekhalifahan Usmaniyah di Istanbul. Perjanjian ini secara efektif  membelah daerah-daerah di bawah Kekhalifahan Usmaniyah di luar Jazirah Arab, sehingga di masa depan dapat ditentukan di mana kendali atau pengaruh Inggris dan Prancis akan berlaku. Usmaniyah pada Perang Dunia l (PD l) adalah lawan Inggris dan Prancis.

Sebagai tindak lanjut dari perjanjian rahasia tadi, Inggris mendorong bangsa-bangsa Arab untuk bersatu memberontak melawan Kekhalifahan Usmaniyah selama Perang Dunia I. Sebagai imbalannya, Ingggris menjanjikan untuk membantu Arab membangun sebuah persatuan di bawah kekuasaan Syarif Husain bin Ali (1856-1931). Kekuasaannya akan menjangkau seluruh dunia Arab, yang sekarang lebih dikenal sebagai negara-negara Teluk plus Irak, Suriah, Libanon, Palestina, Israel dan Yordania.

Padahal Syarif Husein adalah gubernur yang diangkat dan ditempatkan oleh Khalifah Usmaniyah di Mekah. Namun pada 1916 ia memberontak kepada Kekhalifahan Usmaniyah, atas bujukan Inggris, dan kemudian mengangkat dirinya sendiri sebagai Raja Hijaz hingga 1924. 

Syarif Husein turun tahta setelah dikalahkan Raja Saudi, Abdul Aziz bin Saud. Ia kemudian melarikan diri ke Siprus dan meninggal dunia di Amman, Yordania. Keturunan dari Sharif Husein inilah yang kemudian memegang kekuasaan di Yordania hingga kini.

Kekalahan Syarif Husein antara lain lantaran dikhianati Inggris, setelah memenangkan Perang Dunia l.  Mereka bahkan membagi wilayah Arab menjadi negara-negara kecil dan menerapkan kebijakan ‘devide and rule’ alias ‘pecah dan kuasai’ sesuai dengan The Sykes-Picot Agreement.

Karena itu, ketika meletus Perang Dunia ll, para pemimpin Arab tidak mempercayai lagi kepada janji-janji Inggris yang ingin menebarkan semangat Pan-Arabisme. Mereka menganggap Pan-Arabisme versi Inggris bukan demi persatuan Arab. Sebaliknya, para intelektual Arab itu justeru berkeyakinan keinginan Inggris adalah untuk mencegah persatuan negara-negara Arab.

Menyadari fakta seperti itu, Mesir lalu memprakarsai gerakan Liga Arab pada 1943. Tujuannya, mempererat persahabatan bangsa Arab, memerdekakan negara Arab yang masih terjajah, dan membentuk kerja sama dalam bidang politik, militer dan ekonomi. Juga untuk mencegah berdirinya negara Yahudi di wilayah Palestina.

Pencegahan pembentukan negara Yahudi ini semakin relavan setelah Menlu Inggris, Arthur Balfour, pada Perang Dunia l mengeluarkan pernyataan yang dikenal sebagai Deklarasi Balfour. Yaitu deklarasi yang mendukung pendirian negara Yahudi di Tanah Palestina. Inilah bentuk berikutnya dari konspirasi kekuatan dunia untuk memecah-belah, menguasai, dan memelihara konflik di negara-negara Arab.

Terbukti kemudian, setelah PD l, Liga Bangsa Bangsa — yang kemudian menjadi Perserikatan Bangsa Bangsa — menyetujui dijadikannya Mandat Britania atas Palestina sebagai ‘Negara Yahudi’.  Bahkan pada 1947, PBB menyepakati pembagian wilayah Palestina menjadi dua negara. Satu untuk Yahudi dan satu untuk negara Arab/Palestina. Dan, pada 1948, bangsa Yahudi pun memproklamasikan berdirinya Negara Israel di Tanah Palestina.

Karena itu, sampai kapan pun berbagai kekuatan dunia, terutama Amerika dan negara-negara Barat, akan selalu mendukung Negara Israel. Sebab, Negara Yahudi ini memang sengaja ditanam di jantung Arab agar mereka tetap bisa menguasai bangsa-bangsa di kawasan Timur Tengah.  Berdirinya Negara Israel hanyalah kelanjutan dari sebuah konspirasi besar yang bernama The Sykes-Picot Agreement, yang telah memecah-belah negara-negara Arab.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement