Sabtu 29 Oct 2016 06:00 WIB

Papua dan Kita

Asma Nadia
Foto: Daan Yahya/Republika
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID, Ada yang luput dari banyak pemberitaan, seputar kebijakan terkait Papua. Sudah bukan rahasia lagi, daerah ini memberi begitu banyak kekayaan alam bagi bangsa Indonesia, namun kehidupan penduduk aslinya jauh dari sejahtera.

Penghasilan penduduk Papua termasuk yang terendah di Indonesia, ironis mengingat biaya hidup di sana yang tinggi. Sekalipun Badan Pusat Statistik menyebut Indeks Harga Konsumen (IHK) di  Jakarta sebagai yang tertinggi di Indonesia dan Jayapura sebagai tertinggi kedua, kenyataannya di daerah pedalaman harga-harga jauh lebih tinggi dari Jakarta.

Tingginya kebutuhan pokok dan biaya hidup di Jakarta bisa dimbangi dengan penghasilan masyarakat,  tapi tidak di Papua.

Seorang wartawan menceritakan pengalamannya ketika berkunjung ke Tolikara dan Wamena. Cukup tersentak mendapati  harga makanan di warung sederhana yang jauh lebih mahal dibanding restoran menengah di Jakarta.

Untuk  seporsi nasi dengan lauk ikan dijual Rp 60 ribu. Nasi dengan rendang harganya mencapai Rp 70 ribu.  Sementara jika ingin menikmati nasi beserta lalapan dan ikan mujair, kocek yang harus dirogoh sampai Rp 70 ribu. Padahal, di Jakarta,  menu serupa bisa dinikmati tak lebih dari 15 ribu rupiah per porsi.

Harga air mineral di sana juga mencengangkan, per 1 literan kemasan botol berkisar Rp 12-15 ribu di Jayapura. Di wilayah Pegunungan Tengah, bahkan menembus 25 ribu rupiah.

Melangitnya harga di Papua sangat terkait  dengan sarana transportasi, infrastruktur, juga bahan bakar. Listrik misalnya, ketika mengunjungi Raja Ampat, saya melihat dan mengalami sendiri bagaimana sebagian besar warga harus menggunakan genset yang menguras biaya 50 ribu perhari cuma untuk mengakomodasi kebutuhan listrik dari waktu Maghrib sampai pukul 22.00. Itu pun hanya penerangan sederhana, tidak termasuk perlengkapan elektronik. Artinya, masyarakat setempat harus mengeluarkan uang 1,5 juta sebulan  untuk lampu yang menyala selama beberapa jam sehari.

Di wilayah pedalaman, seliter BBM mencapai Rp 100 ribu. Lebih dari 10 kali lipat harga Jakarta. Gubernur Papua Lukas Enembe, di sela pertemuan dengan Parlemen di Jakarta bahkan menganggap tingginya harga ini seperti pelanggaran HAM. "Ini pelanggaran HAM juga. Di sini (Jakarta) harga Rp 6.000 per liter sudah ribut-ribut, di sana (Papua)  jauh lebih mahal."

Karena itu, ketika Presiden Jokowi mengumumkan kebijakan BBM satu harga termasuk di Papua dan pembangunan proyek listrik, saya turut menyambut gembira. "Ada ketidakadilan di sini. Tidak bisa seperti itu. Kalau di barat dan tengah, di sini harusnya sama harganya," kata presiden  saat memberi sambutan dalam peresmian enam proyek listrik di Jayapura.

"Dirut Pertamina menyampaikan ke saya kalau harga 7.000 rupiah ruginya banyak. Tapi ini bukan urusan untung dan rugi, ini masalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," ucap Jokowi.

Presiden juga menyiapkan Air Tractor AT-802, pesawat pengangkut BBM untuk menopang program satu harga.

Terus terang, artikel ini ingin saya tulis sejak pekan lalu saat melihat gambar sang presiden meninjau pesawat berwarna kuning yang difungsikan sebagai alat transportasi BBM di wilayah pedalaman.

Sempat terpikir dalam hati, betapa besar beban yang bisa diangkat dari pundak masyarakat di Papua jika kebijakan ini diberlakukan sejak dulu. Meski tentu perubahan yang akhirnya terjadi tentu tetap harus disyukuri. Di atas kertas, kebijakan satu harga akan membebani 800 miliar rupiah biaya subsidi atau mungkin lebih. Tapi dulu pun ketika harga BBM melangit,  pemerintah mensubsidi seluruh negeri. Jadi sebenarnya saat ini  tinggal mensubsidi beberapa daerah tertinggal. Lebih dari itu, sebagai catatan bumi Papua sudah memberi subsidi teramat banyak bagi  bangsa Indonesia.

Saatnya negara  memberi lebih banyak subsidi kepada penduduk di sana. Saatnya bangsa Indonesia membuktikan bahwa kesejahteraan harus menjadi pencapaian bersama. Semoga  dengan semakin murahnya BBM dan mengalirnya listrik di pedalaman, kesejahteraan rakyat di Papua juga meningkat pesat. Buta aksara yang mencapai 36,31%  atau salah satu tertinggi di Indonesia, mampu teratasi. Pun persoalan kesehatan. Senyum yang terlukis lebih lebar di wajah masyarakat Papua, kelak juga menjadi senyum dan ungkapan bahagia yang dinanti seluruh bangsa Indonesia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement