Senin 17 Oct 2016 06:03 WIB
Analisis

Pesimisme Pertumbuhan Ekonomi

Imam Sugema
Foto: Darmawan/Republika
Imam Sugema

REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Iman Sugema*

Indonesia, negeri yang kita cintai dan melimpah sumberdaya alam, saat ini sedang dilanda oleh growth pessimism. Pelaku usaha dan pemerintah pada umumnya sepakat bahwa pertumbuhan ekonomi tahun depan hanya akan sedikit lebih baik dibandingkan tahun ini. Angka kesepakatan mengenai pertumbuhan ekonomi dalam APBN 2017 hanya sekitar 5,2 persen saja. Angka itu tak jauh dari prediksi IMF dan Bank Dunia. Seolah Indonesia sedang terjebak di angka pertumbuhan yang sangat moderat.

Ada beberapa alasan yang cukup rasional mengapa kita tak bisa tumbuh 6 atau 7 persen dalam jangka dekat ini. Yang paling sering disebut-sebut oleh para ekonom adalah tentunya situasi perekonomian global yang tampaknya masih akan menghadapi perlambatan. Harga-harga komoditas belum menunjukan adanya tanda-tanda akan mengalami akselerasi. Ekonomi China juga tidak seperkasa dulu lagi.

Di dalam negeri sendiri, upaya untuk menggenjot pertumbuhan tampaknya belum menimbulkan efek stimulasi yang cukup nendang. Bank Indonesia secara konsisten menurunkan suku bunga acuan secara bertahap. Pemerintah tetap menggenjot proyek-proyek infrastruktur di tengah-tengah upaya pemotongan anggaran. Walaupun konsolidasi fiskal sangat perlu untuk menjaga kesehatan keuangan negara, belanja infrastruktur tetap dijaga di atas norma pemerintahan sebelumnya. Tetapi semua itu ternyata belum cukup untuk mendorong pertumbuhan. Lalu apa masalahnya?

Masalah pertama adalah persoalan pengelolaan ekspektasi. Saat ini terlalu banyak suara-suara sumbang bahwa karena pertumbuhan ekonomi global sedang jeblok maka kita pun terseret oleh trend global. Kelihatanya sih benar. Tetapi sesungguhnya, pernyataan itu hanya mengandung setengah kebenaran. Sebagai sebuah sistem perekonomian yang sangat terbuka, tentunya Indonesia tidak bisa steril dari pengaruh situasi global. Tetapi jangan lupa bahwa Indonesia memiliki karakteristik sebagai sebuah negara besar walaupun belum bisa dikategorikan sebagai raksasa ekonomi.

Apa sih ciri sebuah negara besar? Salah satunya adalah bahwa pertumbuhan ekonomi lebih banyak didorong dari dalam. Kalau ekspor hanya sekitar seperempat dari produk domestik bruto, berarti permintaan domestik jauh lebih besar dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Efek permintaan domestik adalah tiga kali lebih besar disbanding efek permintaan global terhadap pertumbuhan nasional.

Saya tidak sedang mengatakan bahwa efek perekonomian global tidak penting untuk diperhatikan. Argumen saya intinya adalah kalau perekonomian global sedang meredup, maka kita masih bisa untuk tidak terseret oleh trend global asalkan kekuatan permintaan domestik tetap kita dorong. Itulah pentingnya mengelola ekspektasi bahwa trend permintaan domestik setidak-tidaknya tidak sama dengan trend global. Pemerintah dan dunia usaha harus secara bersama-sama mengelola optimisme. Kalau semua orang sudah terjebak pesimisme, maka pesimisme akan menjadi self-fulfilling.

Masalah yang kedua masih terkait dengan masalah yang pertama. Kita tidak pernah sadar bahwa pertumbuhan ekonomi nasional bisa kita program. Itulah yang disebut dengan growth programming. Kalau kita ingin pertumbuhan ekonomi di atas tujuh persen di tahun 2019 nanti, maka berbagai langkah mestinya kita persiapkan secara detil dan terukur. Simulasi model dengan menggunakan pola pertumbuhan lima tahun yang lalu, maka sangat mungkin bagi Indonesia untuk mencapai angka pertumbuhan mendekati 5 persen. Pemodelan ini sangat membantu dalam membayangkan apa yang harus dilakukan oleh pemerintah dan dunia usaha. Itu perkara mudah. Sekarang yang paling sulit adalah melakukan rekayasa program secara detil dan terukur.

Sulit untuk menceritakan detil programming dalam ruang yang terbatas ini. Saya hanya akan mengungkap prinsip dasarnya saja. Yang pertama kali harus dilakukan adalah melakukan cascading target pertumbuhan sampai ke level komoditi, wilayah dan pelaku usaha. Ini sepenuhnya merupakan pekerjaan modeler dan para perencana. Pada prinsipnya, proses cascading ini mirip dengan proses perencanaan perusahaan dengan menggunakan balanced score-card.

Selanjutnya kita harus mampu mendeskripsikan secara detil tahapan apa saja yang harus dilakukan di level komoditi dan wilayah beserta ukuran-ukuran kuantitatif yang harus dikerjakan di setiap level birokrasi dan pelaku usaha. Kedengarannya sih gampang, tapi minimal kita harus mengerahkan sekitar 200 Ph.D dengan keahlian yang sangat beragam.

Kita juga harus melakukan perhitungan mengenai alokasi sumberdaya keuangan pemerintah dan swasta. Ini bukan hal enteng, sebab sudah pasti pemerintah punya anggaran yang terbatas dan semua kementrian ingin agar targetnya tercapai. Pada prinsipnya, money follow the target. Belum lagi kita harus melakukan berbagai sinkronisasi dan penyesuaian dengan berbagai rencana yang dilakukan oleh dunia usaha.

Saking rumitnya, programming semacam ini tidak pernah dilakukan oleh negara manapun kecuali  China. Kalau mereka bisa, kenapa kita tidak? 

 

 

*Imam Sugema: Kolomnis di Republika

 

 

 

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement