Senin 03 Oct 2016 17:46 WIB

Pemilihan Kepala Daerah dan Identitas Politik Kaum Muda

Red: M.Iqbal
Ahmad Soleh, Ketua IMM Jakarta Timur, Alumnus FKIP UHAMKA Jakarta
Foto: Dokpri
Ahmad Soleh, Ketua IMM Jakarta Timur, Alumnus FKIP UHAMKA Jakarta

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Ahmad Soleh, Ketua IMM Jakarta Timur sekaligus Alumnus FKIP UHAMKA Jakarta

Setiap manusia seharusnya bisa menjadi wakil Allah SWT di muka bumi (khalifah fil ardh). Ini telah termaktub dalam Alquran (AlBaqarah ayat 30). Namun, terkadang manusia tidak memahami dan menjalankan perannya tersebut dan cenderung berbuat kerusakan.

Di tengah hiruk pikuk kehidupan masyarakat yang majemuk, kita tidak bisa menyangkal bahwa setiap kelompok memiliki ciri khas dan perspektif yang berbeda. Baik dalam dimensi kemanusiaan maupun dimensi politik.

Momentum pemilihan kepala daerah nyaris menyedot perhatian seluruh lapisan dan elemen masyarakat. Tak peduli kalangan atas maupun bawah, kalangan pengamat politik maupun kalangan ‘fakir’ politik.

Masalahnya, momentum pilkada yang memang seksi untuk dibicarakan ini, terkadang hanya menampakkan kisruh di sana-sini, golongan satu versus golongan lainnya, saling menjelekkan antara satu calon dengan calon lain. Dan masyarakat lapisan bawah hanya mendapat ‘remah-remah’-nya. Hanya kebagian ribut-ributnya, gontok-gontokkannya, dan sikut-sikutannya.

Jarang sekali ada edukasi politik yang mencerahkan bagi masyarakat yang berada di kalangan bawah. Akibatnya, mereka hanya akan menjadi objek politik. Yang hanya dihimpun suaranya, diberi janji-janji manis, dan kemudian ‘digusur’ hak-haknya (setelah calon terpilih).

Dunia politik memang kerap sulit ditebak. Antara kepentingan satu dengan kepentingan lainnya terkadang saling berbeturan dan berlawanan. Namun, dalam suatu ketika bisa menjadi teman karib (koalisi) dengan dalih kebersamaan dan kesamaan visi.

Kembali lagi, masyarakat lapisan bawah membutuhkan edukasi politik yang komprehensif. Sehingga, tidak ada propaganda dan saling serang, ataupun persaingan tidak sehat di tengah masyarakat kita yang majemuk. Inilah akibat remah-remah politik tadi, yang hanya akan bersinggungan dengan dinamika saling benci antarsesama masyarakat. Padahal musuh kita sama, yakni ketidakadilan.

Di mana peran kaum muda?

Dimensi multikultural masyarakat Indonesia memang menjadi karakter tersendiri. Tidak hanya menjadi corak keragaman suku, agama, dan budaya. Dalam perspektif politik pun menjadi amat berwarna dan rentan untuk didikotomikan.

Adanya propaganda bersifat rasial, menjatuhkan satu sama lain, dan propaganda negatif lainnya kerap terjadi. Bahkan, menjelang pemilihan umum, biasanya akan bermunculan media-media massa yang bersifat memihak kepada salah satu calon. Melakukan propaganda politik dengan menjatuhkan lawan politiknya.

Dan, ini sangat tidak seimbang dengan masyarakat kita yang edukasi politiknya masih minim dan belum bisa mencerna dinamika politik secara luas. Akibatnya, kaum-kaum elite lah yang bermain di belakang itu semua.

Pada dasarnya, kepentingan politik adalah kepentingan untuk meraih kebijakan dan keadilan seadil-adilnya. Karena politik akan bersinggungan dengan kepentingan masyarakat banyak. Dan politik pula akan bersinggungan dengan kebijakan-kebijakan yang akan menjamah setiap lapisan masyarakat. 

Jika salah menentukan pilihan, maka dampaknya akan terasa sampai di lapisan bawah masyarakat. Karena efek kebijakan politik akan menyentuh setiap lini kehidupan. Tentu ini tak sebanding dengan kepentingan masyarakat yang harusnya bisa diakomodasi dengan baik.

Peran kaum muda sebagai pelopor dan penggerak harus mengambil peran sentral dan independen (berpihak kepada kebenaran). Tidak bisa dimungkiri bahwa ada sebagian kelompok yang terjerat dalam kepentingan politik. Sehingga, kelompok ini sibuk menjadi penjaring massa, ketimbang memberi pemahaman politik yang luas kepada masyarakat.

Hal itu tidak bisa dikatakan ‘mencerdaskan’ masyarakat. Karena politik praktis tidak dilakukan secara terbuka dan jujur. Seharusnya, kaum muda bisa ‘jujur’dan bisa menentukan pilihan dengan akal sehat dan pemikiran yang jernih. 

Jika negara kita berbentuk republik, maka seharusnya semua akan kembali (re-) kepada masyarakat (publik). Dan, kekuasaan sejati berada di tangan rakyat. Namun, jika kesadaran ini tidak dimiliki kaum muda, maka semua akan berjalan sebagaimana ‘permainan’ politik dari tangan tak tampak (invisible hand). Sehingga, demokrasi yang menjadi sistem politik kita pun menjadi ‘abu-abu’.

Maka, seharusnya kaum muda bisa menjadi komunitas independen yang senantiasa mencerahkan masyarakat terhadap pilihan-pilihan politiknya. Tentu, dengan berpijak kepada kebenaran dan kepentingan masyarakat secara luas.

Tergusurnya kemanusiaan di tengah kisruh politik

Dinamika politik yang tidak sehat tentunya akan menjadi gelagat tidak baik bagi masyarakat. Di tengah krisis kemanusiaan, kita dirongrong terus untuk membuka mata terhadap setiap kepentingan politik yang masuk dalam kehidupan kita. Dengan jargon merakyat, belusukan, wong cilik, dan lain sebagainya.

Hal ini, tentunya akan semakin menggusur kemanusiaan kita. Terutama, kala para pelaku politik melakukan pengobjekan terhadap masyarakat, yakni masyarakat hanya dijadikan objek kepentingan politiknya, yakni suara.

Tidak berlebihan jika kita mencurigai semua calon kepala daerah. Justru hal tersebut sebagai agenda mendesak dalam memilih dan memilah yang baik. Atau memilih yang paling sedikit keburukannya di antara yang buruk (kata Gus Mus). Hal itu merupakan pilihan yang sulit.

Dalam keadaan yang demikian, kita harus tetap menyadari kemanusiaan kita. Bahwa semua rakyat adalah subjek yang berpikir dan mampu menimbang dengan jernih pilihannya. Tidak perlu politik uang dengan jual beli suara rakyat.  Tentu, hal ini tidak terlepas dari peran kaum muda yang melek politik untuk melakukan edukasi politik bagi khalayak di sekitarnya.

Terakhir, kaum muda sebagai edukator yang independen perlu membangun kekuatan. Dengan mengawali aksi-aksi pencerdasan dan konsolidasi. Sehingga kebaikan akan terorganisasi dengan baik. Dan, kebaikan yang terorganisasi akan mengalahkan kejahatan yang terorganisasi, semacam kejahatan para elite politik.

Tentu sebagai khalifah fil ardh, kaum muda hendaknya meminimalisasi segala bentuk pengobjekan kepada masyarakat. Dan tidak tergiur dengan janji-janji manis para politikus yang kerap merapat kepada kelompok-kelompok kaum muda dan masyarakat. Kaum muda harus tetap berpikir jernih dan berpijak kepada kebenaran dan kepentingan rakyat.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement