Senin 03 Oct 2016 07:15 WIB

Strategi Swasembada Garam

Sunarsip
Foto: istimewa
Sunarsip

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Sunarsip *)

Garam merupakan salah satu kebutuhan pokok strategis bagi rakyat. Praktis tidak ada satupun warga yang tidak mengonsumsi garam. Selain untuk konsumsi, garam dipergunakan untuk kepentingan industri. Garam konsumsi antara lain garam untuk konsumsi rumah tangga, industri pengasinan ikan, dan garam industri aneka pangan. Sedangkan garam industri adalah garam untuk industri chlor alkali plant (CAP) dan farmasi, serta industri non-CAP seperti industri perminyakan, kulit, tekstil, dan sabun.

Sebagai negara dengan wilayah yang sebagian besar lautan, Indonesia memiliki peluang menjadi negara swasembada garam. Sayangnya, hingga kini, kita masih menjadi pengimpor garam. Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), total kebutuhan garam mencapai sekitar 3,6 juta ton (2014). Sementara itu, total produksi garam mencapai 2,2 juta ton, yang berarti terdapat defisit sekitar 1,4 juta ton.

Produksi garam nasional sebagian besar berasal dari garam rakyat, yaitu sekitar 1,9 juta ton (bersih) pada 2014. Selebihnya, produksi garam nasional dihasilkan oleh PT Garam (Persero) sekitar 315 ribu ton (2014). Sebenarnya, kebutuhan garam konsumsi nasional telah dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri bahkan surplus. Namun, untuk garam industri, kita masih mengimpor karena garam produksi nasional belum mampu memenuhi kadar NaCL minimal 97 persen yang dibutuhkan industri.

Setidaknya, terdapat tiga faktor yang menyebabkan Indonesia belum mampu swasembada garam. Pertama, ketersediaan lahan tambak yang masih terbatas. Meskipun Indonesia memiliki wilayah lautan yang luas, namun tidak seluruh dari lahan pesisir dapat digunakan sebagai lahan tambak garam. Berdasarkan data dari Balitbang KKP (2012) hanya sekitar 34 ribu hektar lahan pesisir yang memenuhi kriteria teknis sebagai lahan tambak garam. Dari luasan tersebut, saat ini baru sekitar 60 persen yang telah dimanfaatkan sebagai lahan tambak garam produktif (Sri Dharmayanti, Suharno, dan Amzul Rifin, 2013).

Kedua, belum tersedianya kilang pemurnian (refinery) garam di Indonesia. Keberadaan kilang garam sangat penting terutama bagi proses pengkristalan dan pemurnian garam dan untuk menghasilkan produksi garam yang berkualitas. Sejauh ini, pengolahan garam masih dilakukan dengan cara konvensional, sehingga membutuhkan waktu dan proses yang panjang untuk menghasilkan garam yang siap pakai.

Saat ini, memang telah terdapat beberapa refinery di sejumlah sentra garam rakyat. Namun, kapasitasnya masih kecil, yaitu sekitar 2 ton per jam sehingga kurang efisien. Setidaknya, sentra-sentra garam rakyat membutuhkan refinery dengan kapasitas sekitar 10-20 ton per jam. Karena harganya relatif mahal, tentunya dibutuhkan dukungan pemerintah. Idealnya, di setiap sentra garam terdapat satu refinery agar semua garam rakyat dapat diolah.

Ketiga, meskipun Indonesia masih defisit garam, namun hal itu tidak membuat harga garam yang diterima petambak garam menjadi lebih tinggi. Berdasarkan data dari KKP memperlihatkan bahwa secara rata-rata, nilai tukar petambak garam (NTPG) sampai dengan triwulan ketiga di 2015 sebesar 100,42. Artinya, petambak garam masih mengalami surplus dari hasil usahanya. Namun, bila dibandingkan dengan nilai tukar petani (NTP) yang rata-rata di atas 101, NTPG ini masih tertinggal. Sementara itu, target NTPG yang dicanangkan KKP adalah sebesar 102 (2016), 102,25 (2017), 102,5 (2018), dan 102,75 (2019).

Di sisi lain, terdapat disparitas harga garam yang cukup besar antara harga di tingkat petambak garam dengan harga yang dibayar konsumen (terutama di kota-kota besar). Berdasarkan hasil survey yang dilakukan BPS (2014), disparitas harga yang cukup besar ini antara lain disebabkan oleh jalur distribusi garam yang terlalu kompleks, sehingga margin perdagangan yang diterima pedagang (besar dan eceran) menjadi besar.

Berdasarkan survey BPS (2014), terlihat bahwa rasio marjin perdagangan dan pengangkutan (MPP) untuk pedagang besar (PB) garam adalah sebesar 24,80 persen, yang berarti mengambil keuntungan rata-rata 24,80 persen. Sedangkan rasio MPP untuk pedagang eceran (PE) garam adalah sebesar 18,98 persen, artinya mengambil keuntungan rata-rata 18,98 persen. Jika digabung, rata-rata rasio rasio marjin sebesar 23,74 persen, artinya pedagang garam mengambil keuntungan rata-rata 23,74 persen.

Tentunya tidak mudah mewujudkan swasembada garam di tengah tantangan yang cukup komplek tersebut. Namun, tetap terdapat peluang bagi pemerintah untuk dapat mewujudkannya. Beberapa pemikiran berikut, dapat dipertimbangkan pemerintah untuk mewujudkan swasembada garam tersebut.

Pertama, tentunya dukungan fiskal. Pilihan dukungan fiskal sebenarnya cukup banyak. Pemerintah, misalnya, telah memiliki program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR) yaitu dengan memberikan bantuan dana kepada kelompok usaha garam rakyat (KUGAR). Program PUGAR ini merupakan program pemberdayaan yang difokuskan pada peningkatan kesejahteraan petambak garam, serta peningkatan produksi dan kualitas produk garam.

Sejauh ini, PUGAR ini cukup berhasil dalam mendorong produksi garam. Terbukti, bila pada 2011 (ketika program PUGAR dicanangkan), produksi tambak garam rakyat baru mencapai 1,6 juta ton (bruto), maka pada 2015 meningkat mencapai 2,9 juta ton (bruto) dengan kenaikan produksi rata-rata 32,74 persen. Peningkatan produksi garam rakyat ini tidak hanya disebabkan oleh bertambahnya luas lahan tambak, tapi juga disebabkan oleh kenaikan produktivitas. Luas lahan tambak rakyat meningkat dari 20,1 ribu hektare (2011) menjadi 25,8 ribu hektare (2015), atau tumbuh rata-rata 6,82 persen. Sedangkan produktivitas meningkat dari 67,3 ton per hektare (2011) menjadi 112,87 ton per hektare (2015), tumbuh rata-rata 32,94 persen.

Meskipun dari sisi kuantitas mengalami kenaikan, namun dari sisi kualitas masih perlu ditingkatkan. Salah satunya adalah melalui dukungan fiskal bagi pengadaan refinery garam. Strateginya, antara lain dapat melalui penyertaan modal negara (PMN) kepada PT Garam untuk pengadaan refinery di sentra-sentra garam, seperti peruntukan PMN kepada Bulog. Melalui PMN ini, nantinya PT Garam tidak hanya menjadi produsen garam, off-taker garam rakyat, tetapi juga menjadi perusahaan pengolahan garam.

Bila PMN model seperti ini tidak dimungkinan (karena keterbatasan APBN), model penjaminan pemerintah seperti yang berlaku pada PLN juga dapat diberlakukan. Dengan model penjaminan ini, PT Garam dapat melakukan pinjaman dari pihak eksternal untuk pengadaan refinery, tetapi dijamin pemerintah.

Kedua, mendorong agar program keuangan inklusif masuk ke sektor pergaraman. Petambak garam rakyat sangat membutuhkan dukungan dari lembaga keuangan. Sayangnya, pola usaha dan karakteristik petambak garam tidak cocok dengan bisnis model lembaga keuangan. Karenanya, perlu diciptakan skim pembiayaan yang cocok dengan kebutuhan petambak garam.

Ketiga, masih relatif tingginya margin perdagangan garam memperlihatkan bahwa pola distribusi garam saat ini perlu ditinjau ulang. Skema alur perdagangan garam yang melibatkan terlalu banyak pihak termasuk distributor, PB, PE serta agen-agen penjual garam turut menyebabkan iklim usaha produksi garam menjadi kurang menarik. Ini mengingat, margin keuntungan petambak garam relatif lebih rendah dibanding yang diterima pedagang.

*) Chief Economist Bank Bukopin

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement