Senin 26 Sep 2016 06:01 WIB

Pemimpin Itu Harus ‘Menggebrak dan Ambil Risiko’

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

Dalam sebuah pertemuan silaturahim di Bait Alquran, TMII (Taman Mini Indonesia Indah), beberapa bulan sebelum meninggal dunia, almarhum KH Dr Maftuh Basyuni sempat berkelakar, ‘’Alhamdulillah, saya bisa mengakhiri jabatan menteri agama dengan khusnul khatimah. Dua menteri sebelum dan sesudah saya, semuanya masuk penjara KPK.’’

Ia meneruskan, ‘’Bukan berarti saya orang yang paling baik dan bersih, tapi mungkin karena nasib baik saja KPK belum menemukan kesalahan saya.’’ 

Meskipun dengan guyonan khas Pak Maftuh, namun yang ia sampaikan sebenarnya adalah masalah serius. Ia tak menampik bahwa sebuah jabatan, apalagi menteri, sangat menggoda. Tepatnya, banyak godaannya. 

Ia bagaikan madu. Di sana ada uang (proyek-proyek kementerian), ada kekuasaan, pengaruh, dan seterusnya, yang dikategorikan dalam dunia birokrasi sebagai ‘jabatan basah’. Karena itu, tak aneh bila banyak orang – keluarga, saudara, kolega, teman-teman dekat, dan kenalan – yang ingin berdekat-dekat dengan sang pejabat. Siapa tahu bisa ikut ‘kebasahan’.

Beberapa kali dalam berbagai kesempatan Pak Maftuh pun bercerita, selama menjadi menteri agama ia tak pernah memberi fasilitas kepada keluarga dan saudara-saudaranya.  Juga kepada orang lain.  Tak pelak, ia pun mendapat protes dari berbagai pihak, terutama mereka yang selalu mendapat ‘manfaat’ dari Kemenag.

Keluarga besarnya yang mempunyai biro perjalanan haji dan umrah pun diminta mengikuti proses resmi untuk mendapatkan kuota haji. Juga orang-orang berpengaruh – dari tokoh masyarakat/agama, orang partai hingga pejabat – yang biasanya tinggal kontak menteri atau dirjen langsung mendapat kuota haji.  Bahkan, kata Pak Maftuh, ia pernah menolak pihak-pihak  yang mengaku keluarga dari petinggi negeri ini yang ingin mengisi lowongan kuota haji jamaah yang  gagal berangkat haji. Pak Maftuh pun meminta pihak-pihak itu untuk mengikuti prosedur dengan cara urut kacang.

Menurut Pak Maftuh, hingga ia mengakhiri jabatan menteri agama masih ada saudara kandungnya yang belum haji. Sebagai menteri tentu ia gampang saja mengajak saudaranya itu. Namun, ia tidak melakukannya. Bila ada saudaranya yang ingin berhaji ia lebih memilih untuk membantu menanggung biayanya dari saku pribadi.

Berbagai protes itu bukan hanya datang dari keluarga dan kenalannya. Namun, juga dari pejabat negara, termasuk para wakil rakyat,  yang biasanya mendapat fasilitas gratis untuk melaksanakan ibadah haji. Pak Maftuh menuturkan, mereka yang ingin berhaji akan dibantu, namun harus membayar dari sakunya masing-masing. Atau mereka yang benar-benar bertugas untuk negara, seperti tugas pengawasan untuk sejumlah anggota DPR.  Para pejabat di lingkungan Kemenag pun dilarang berangkat ke Tanah Suci, kecuali yang betul-betul dibutuhkan. 

Intinya, penyelenggaraan haji tidak boleh dijadikan sapi perah oleh siapa pun. Sebaliknya, dana haji harus dimaksimalkan untuk kepentingan pelayanan para jamaah haji itu sendiri. 

Di antara yang dilakukan Pak Maftuh adalah efisiensi. Salah satu hasilnya, pada tahun pertama ia menjabat menag, jamaah haji bisa menikmati  makanan katering selama di Madinah sehari tiga kali tanpa mereka harus menambah dana. Sebelumnya, mereka harus memasak atau membeli makanan sendiri selama di Madinah.

Pada tahun berikutnya, Pak Maftuh mengusahakan makanan prasmanan selama jamaah haji di Arafah dan Mina. Karena, menurutnya, makanan boks yang disajikan kepada jamaah haji sudah dingin dan bahkan basi. Sayangnya, upayanya itu tidak berjalan mulus. Makanan tiba di perkemahan jamaah haji banyak yang terlambat. Bahkan ada yang tidak sampai pada jamaah.

Selidik punya selidik ternyata ia sedang ‘dikerjain’ oleh mafia. Pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh kebijakan Pak Maftuh membuat olah. Mereka sengaja menyabotase perusahaan katering baru yang ditunjuk kemenag/direktorat haji.

Sialnya, para mafia dalam penyelenggaraan ibadah haji di Arab Saudi ini – dari mafia katering hingga perumahan haji dan lainnya -- ternyata dibekingi oleh orang-orang kuat di Jakarta. Orang kuat ini siapa lagi kalau bukan para pejabat tinggi negara, termasuk sejumlah anggota DPR. Namun, Pak Maftuh melawan. Akibatnya, ya itu tadi, ia dikerjain. Termasuk ketika ia ingin memberantas mafia perumahan jamaah haji di Madinah dan Mekah. Untuk membatasi gerak para mafia, ia kemudian memerintahkan jajarannya untuk menyelenggarakan tender terbuka, baik yang menyangkut katering, perumahan, pengadaan barang, dan seterusnya.

Berbagai gebrakan itu merupakan bagian kecil dari yang disebut Pak Maftuh sebagai upayanya memperbaiki penyelenggaraan ibadah haji.  Yang terakhir ini merupakan salah satu di antara empat program prioritas yang sudah disetujui Presiden SBY. Tiga program lainnya adalah mereformasi birokrasi di lingkungan Kemenag, meningkatkan harmonisasi kehidupan antarumat beragama, dan terakhir meningkatkan kualias pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan di lingkungan Kemenag.

Selama kepemimpinan Pak Maftuh, di Kemenag sudah banyak pegawai yang diberi sanksi atau sebaliknya diganjar promosi. Semuanya berbasis kinerja. Bukan atas dasar kedekatan dengan seseorang atau lainnya. Sedangkan dalam rangka menciptakan harmonisasi dan kerukunan antarumat beragama, Kemenag bukan saja aktif di dalam negeri.  Namun,  juga aktif berperan serta --  bersama kementerian luar negeri --  mengirimkan delegasi untuk berbagai acara interfaith dialogue.

Di bidang pendidikan, Madrasah Aliyah Negeri (MAN) yang dulu dipandang sebelah mata, kini sudah menjadi jaminan mutu. Bukan hanya dalam hal pendidikan agama, namun juga pendidikan umum. Para lulusan MAN kini sudah banyak yang diterima di berbagai perguruan tinggi negeri unggulan. Sedangkan perguruan tinggi yang dulu namanya IAIN (Institut Agama Islam Negeri) pada zaman Pak Maftuh banyak yang dikembangkan menjadi UIN (Universitas Islam Negeri). Berikut fakultas-fakultas umumnya.

Bagi Pak Maftuh, menjadi pemimpin itu bertindak. Menggebrak. Ia harus inovatif dan melakukan berbagai terobosan untuk mencapai kebaikan. Meskipun untuk itu ia harus menanggung risiko. Padahal kalau hanya mau aman dan nyaman, ia bisa saja ‘business as usual’. Tidak usah neko-neko. Menjalankan saja apa yang sudah ada sebelumnya. Namun, itu bukan tipe Pak Maftuh.

Apalagi ketika menjadi menteri agama. Baginya, Kemenag – dan tentu juga para pegawainya – mestinya bisa menjadi contoh buat kementerian-kementerian lain. Karena di sana ada embel-embel ‘agama’. Menurutnya, agama – apa pun itu– adalah sumber segala kebaikan. Dan, orang-orang yang bekerja di Kementerian Agama harusnya juga menjadi contoh dari kebaikan itu sendiri. Ia mengaku sedih lantaran secara faktual yang terjadi adalah sebaliknya. 

Ia mencontohkan soal toilet dan kebersihan kantor/gedung Kemenag yang ia nilai masih kalah jauh dibanding kantor Kemenlu. ‘’Kalau mau melihat kebersihan sebuah kantor atau gedung secara keseluruhan, lihatlah toiletnya,’’ katanya dalam sebuah obrolan di kantornya di Masjid At Tin, TMII.

Dalam rentang 76 tahun usianya – lahir di Rembang, Jateng, 4 November 1939 dan meninggal di Jakarta, 20 September 2016 – kehidupan Pak Maftuh penuh warna. Pernah nyantri di Pondok Gontor dan Ponpes Al Munawwir, Krapyak, Yogyakarta, ia kemudian  meraih gelar sarjana dari Universitas Islam Madinah.

Tercatat ia pernah bekerja sebagai staf di KBRI Maroko, Yordania, dan Arab Saudi. Juga pernah menjadi wakil komandan Kontingen Garuda VIII dengan pangkat letnan satu.  Berikutnya sejumlah pos pun telah ia jabat. Dari sekretaris Duta Besar Indonesia di Saudi,  Kepala Rumah Tangga Kepresidenan, Duta Besar di Kuwait, Duta Besar di Saudi, hingga Menteri Sekretaris Negara dan Menteri Agama.

Setelah tidak menjadi menteri, ia aktif sebagai Ketua Takmir Masjid At Tin. Setahun terakhir sebelum meninggal ia ditunjuk menjadi Ketua Badan Wakaf Indonesia. Ia pun mencanangkan wakaf jariyah dalam bentuk perusahaan atau saham perusahaan sebagai role model di Indonesia.  Bukan hanya wakaf mati seperti tanah atau bangunan.

Tampaknya Pak Maftuh ingin selalu meninggalkan jejak di setiap pos yang diembannya. Tidak sekadar numpang lewat. Selamat jalan Pak Maftuh. Semoga Allah SWT memberi ‘kehidupan lain yang lebih baik di alam sana’. Amin. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement