Senin 19 Sep 2016 06:00 WIB

Surat Berbagai Bahasa ‘Dititipkan’ di Jabal Rahmah

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Harapan untuk bisa hidup lebih baik, permohonan mendapatkan ampunan dan kasih sayang, tekad untuk dapat melupakan dosa-dosa di masa lalu, serta dimudahkan untuk mendapatkan jodoh. Itulah di antara isi ribuan surat yang ‘dititipkan’ di Jabal Rahmah oleh para jamaah haji ketika meninggalkan Padang Arafah, Makkah, beberapa waktu lalu. 

Selama dua atau tiga hari para jamaah haji memang menginap di tenda-tenda di Padang Arafah, untuk melaksanakan wukuf pada tanggal 9 Zulhijah. Wukuf merupakan rukun haji. Ia menjadi syarat sah tidaknya palaksanaan Rukun Islam kelima itu. Haji itu (berwukuf  di) Arafah, sabda Rasulullah Muhammad SAW.

Jabal Rahmah sendiri berwujud bukit bebatuan. Letaknya di bagian timur Padang Arafah. Berketinggian sekitar 70 meter.  Untuk mencapai puncak Jabal Arafah yang berupa monumen Adam dan Hawa, kita harus melewati jalan-jalan bebatuan yang terjal, sekitar 15 hingga 30 menit. Monumennya sendiri berupa bangunan beton persegi empat. Tingginya 8 meter dan lebar 1,8 meter.

Untuk mendaki Jabal Rahmah bukan hal yang gampang. Bahkan berbahaya. Apalagi buat orang-orang yang sudah berumur.  Para ulama sudah menegaskan menaiki Jabal Rahmah bukan ibadah yang disunatkan. Apalagi diwajibkan. Namun, entahlah.  Setiap orang yang berkunjung ke sana, terutama jamaah haji dan umrah, tetap saja berkeinginan untuk mendaki gunung bebatuan itu. 

Bahkan pada 9 Zulhijah, lereng-lereng bebatuan Jabal Rahmah hingga ke puncaknya tertutup oleh warna putih ribuan jamaah haji yang sedang wukuf. Mereka rela berpanas-panas di siang bolong pada  terperatur di atas 40 derajat dengan alas dan pelindung panas seadanya demi menjalankan ritual wukuf. 

Hal ini tentu membahayakan. Namun, sekali lagi, para jamaah haji itu mungkin berpikir wakuf atau haji kali ini merupakan kesempatan sekali seumur hidup. Karena itu wajar bila mereka ingin berdoa habis-hasbisan dan sebanyak-banyaknya di tempat-tempat yang dipercaya lebih mustajab untuk segala doa yang mereka panjatkan. Dan, salah satu tempat itu adalah Jabal Rahmah, yang – susuai namanya – merupakan bukit kasih sayang.

Dan, kasih sayang itu mereka yakini pernah diberikan kepada Nabi Adam AS dan Siti Hawa ketika mereka dipertemukan di tempat ini. Pertemuan pelepas rindu setelah selama bertahun-tahun mereka dipisahkan sejak diturunkan  dari surga ke bumi ini, sebagai hukuman atas kesalahan mereka memakan buah khuldi yang terlarang. 

Mengutip dari berbagai sumber, kemungkinan besar Nabi Adam diturunkan di India dan Siti Hawa di Irak. Setelah bertobat dan memohon ampun, akhirnya -- atas takdir Allah SWT -- mereka dipertemukan di puncak bukit Jabal Rahmah ini. Pertemuan yang mengawali kehidupan umat manusia setelah Nabi Adam dan Siti Hawa melahirkan anak-anak keturunannya sampai kita sekarang ini.

Dengan latar-belakang sejarah Jabal Rahmah seperti itu tidak mengherankan bila kemudian umat Islam tidak sekadar berkunjung, mendaki, dan kemudian berdoa di tempat ini. Atau bahkan berdiam diri selama berjam-jam untuk berwukuf di lereng-lereng Jabal Rahmah. Namun, mereka juga ‘menitipkan’ berbagai macam surat dengan berbagai macam doa dan harapan. Surat-surat inilah – jumlahnya ribuan – yang kemudian ditemukan wartawan media al Sharq al Awsat yang mendaki puncak Jabal Rahmah sehari setelah para jamaah haji meninggalkan Padang Arafah. Surat-surat ini tercecer bersama berbagai macam sampah yang ditinggalkan para jamaah haji.

Surat-surat itu ada yang terbungkus rapi dalam amplop dan ada yang hanya selembar kertas. Namun, hampir semuanya mencantumkan nama si pengirim surat. Beberapa lengkap dengan alamat. Isinya pun bermacam-macam. Dari pengakuan dosa dan kesalahan hingga permohonan ampun. Dari minta dimurahkan rizki sampai diberi kesehatan. Dari doa dapat haji mambur hingga ‘memanggilkan’ saudara, kerabat, teman-teman dekat yang meminta didoakan untuk dapat panggilan berhaji di masa-masa mendatang. Dari dimudahkan jodoh hingga diberi keturunan anak-anak yang soleh dan solehah. Intinya, segala keinginan baik yang menjadi dambaan setiap manusia tertulis dalam surat-surat yang tercecer itu. 

Yang menarik, surat-surat yang ‘dititipkan’ di Jabal Rahmah itu menggunakan berbagai bahasa sesuai asal dari jamaah. Yang terbanyak adalah bahasa Arab, Inggris, India, Parsi, Melayu/Indonesia, Turki, dan bahkan ada yang berbahasa daerah. Dan, surat-surat ini umurnya ternyata hanya sehari saja hingga para petugas membersihkan semua sampah dari seluruh area Padang Arafah, termasuk Jabal Rahmat. Surat-surat tadi bersama berbagai sampah yang ditinggalkan jamaah haji lalu dibuang dan kemudian dibakar di luar kawasan Arafah.

Apa yang telah berlangsung selama wukuf di Arafah, termasuk ‘menitipkan’ surat di Jabal Rahmah, bisa dikatakan sebagai gambaran umum dari para jamaah haji. Yaitu mereka ingin memaksimalkan ibadah haji – kesempatan sekali seumur hidup – untuk khusuk beribadah dan berdoa. Karena itu, wajar apabila semua tempat yang dipercaya mustajab akan selalu ramai  oleh jamaah. Bukan hanya Jabal Rahmah dan Padang Arafah, tapi juga Raudhah di Masjid Nabawi. Juga di sekitaran Ka’bah. Pun demikian di tempat-tempat besejarah lain di Makkah dan Madinah.

Tentu saja sudah menjadi kewajaran atau bahkan keharusan bahwa selama di Tanah Suci tidak ada keinginan lain dari jamaah haji kecuali dapat beribadah dengan khusuk, aman, dan nyaman. Mereka tidak harus dilibatkan dengan masalah-masalah politik atau lainnya. Karena itu, patut disesalkan bahwa sebanyak 60 ribu saudara-saudara kita jamaah dari Iran tahun ini tidak bisa melaksanakan ibadah haji, hanya karena ada ‘konflik’ politik antara Iran dan Arab Saudi. 

Masalah politik atau konflik antar-negara tidak harus  mengurbankan masyarakat untuk beribadah haji yang merupakan hak. Justeru kewajiban masing-masing negara/pemerintah untuk senantiasa menjamin keamanan, kenyamanan, dan kekhusukan warganya melaksanakan ibadah yang diwajibkan sekali seumur hidup itu.

Tujuannya adalah membantu jamaah untuk mendapatkan haji mabrur. Kemabruran haji yang buktinya hanya akan terlihat ketika yang bersangkutan telah kembali ke negara masing-masing. Yakni apakah perbuatan Pak Haji atau Ibu Hajjah lebih baik atau tidak. Aktivitas sehari-hari Pak Haji dan Ibu Hajjah lebih bermanfaat untuk masyarakat sekitar atau tidak. 

Kemabruran haji tidak ada pengaruhnya dengan gelar ‘Pak Haji’ atau ‘Ibu Hajjah’. Sebuah gelar -- yang kalau di Indonesia -- selalu disematkan kepada orang-orang yang telah melaksanakan ibadah haji. Gelar itu sebenarnya lebih sebagai pengingat bahwa yang bersangkutan telah melaksanakan ibadah haji. Karena itu, lidahnya harus selalu terjaga. Perbuatannya harus senantiasa terpuji. 

 Dengan demikian, orang-orang yang meraih haji mabrur sebenarnya adalah agen-agen perubahan di lingkungan masing-masing. Bayangkan, kalau di setiap desa atau kampung di Indonesia terdapat seorang – apalagi beberapa orang -- haji mabrur, betapa dahsyatnya  perubahan positif yang akan mereka ciptakan. Betapa hebatnya kalau di masyarakat selalu ada yang menyerukan pada kebaikan dan bersuara lantang mencegah kemungkaran.

Sebaliknya, bila Pak Haji dan Ibu Hajjah tidak memberi pengaruh positif pada lingkungannya, kita pun patut mempertanyakan, jangan-jangan hajinya haji mabur. Bukan haji mabrur. Wallahu a’lam.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement