Sabtu 17 Sep 2016 06:00 WIB

Supremasi Online

Asma Nadia
Foto: Daan Yahya/Republika
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID, Para ayah dan bunda resah. Berbagai pihak yang selama ini bergerak untuk memerhatikan dan melindungi anak-anak di Tanah Air cemas bukan kepalang. Sebuah jaringan prostitusi homoseksual yang melibatkan anak-anak terungkap. Dari pemeriksaan mendalam diketahui penjualan jasa seksual tersebut dilakukan melalui aplikasi khusus homoseksual.

Kak Seto dari Komisi Perlindungan Anak, secara vokal menuntut agar aplikasi tersebut diblokir.

Syukurlah pihak kepolisian, kementerian terkait, LSM, serta anggota parlemen langsung bereaksi, mengadakan pertemuan dan akhirnya bersepakat untuk memblokir layanan online di smartphone tersebut.

Apakah ini berarti kecemasan para orang tua dan siapa saja yang peduli anak, selesai?

Ternyata berbagai pihak yang prihatin belum bisa bernapas lega karena langkah yang diambil pemerintah--dalam hal ini Kemenkominfo--adalah mengirimkan surat pada pemilik aplikasi agar memblokir aplikasi tersebut di Indonesia.

Gelombang protes kembali muncul. Kak Seto pun kembali menggugat, kenapa tidak memblokir langsung seperti China? Kenapa harus mengirim surat? Penundaan pemblokiran berarti memberi kesempatan lebih panjang dan membuka peluang membiarkan anak-anak lain jatuh menjadi korban pelacuran. Sementara Negara adalah pelindung masyarakat yang seharusnya paling sigap dan bergerak cepat untuk mengamankan dan menyingkirkan hal-hal yang merusak.

Penasaran, saya coba mencari tahu perihal aplikasi tersebut--sengaja tidak menuliskan namanya karena tidak ingin mempromosikan. Saat menemukan saya tercenung mendapatkan pertanyaan: Berapa umur? Tinggi badan? Berat badan? Posisi?

Keterangan yang sangat mengacu pada fisik dan harus diisi sebelum mendaftar, jelas merupakan hal penting bagi penggunanya. Sementara aplikasi tersebut hanya diramaikan dengan foto, live, dan chat. Nyaris semua aplikasi sejenis mempunyai layanan demikian. Terlihat standar namun cocok sekali untuk kepentingan kencan atau "persahabatan" dan sangat mudah dialihfungsikan menjadi media jual diri.

Saya sendiri tidak mengerti kenapa aplikasi yang sudah memakan korban ini tidak serta merta diblokir. Saat ini terdapat sekitar satu juta aplikasi untuk telepon genggam, di mana ribuan di antaranya sangat mungkin mengandung konten yang tidak cocok dengan nilai budaya atau agama di Indonesia.

Jika mengirim surat adalah jalan yang dipilih, kemungkinan besar hanya membuang waktu.

Pertama, secara bisnis pembuat aplikasi akan kehilangan tambang emas jika memblokir dirinya. Kedua secara moral, bagi nilai budaya negara lain, bisa jadi aplikasi tersebut tidak melanggar sehingga tidak ada alasan bagi mereka menghapusnya. Sebut saja CEO satu perusahaan ponsel, tab dan laptop termasyhur yang kini didapuk sebagai salah satu gay terkuat di dunia, tentu akan keberatan memblokir aplikasi yang terkait homoseksual di store mereka karena menurut hematnya tidak ada nilai moral dan budaya yang dilanggar.Ketiga, secara legal, bagi mereka, hal tersebut tidak melanggar hukum di negaranya.

Jadi wajar bila mereka punya alasan logis dan legalitas untuk menolak permintaan pemblokiran.

Mengingat ke depan perhatian pemerintah bukan hanya sebatas masalah aplikasi homoseksual- kini beredar pula aplikasi untuk selingkuh- dan terbuka hadirnya beragam aplikasi yang bermuatan pornografi, kekerasan, terorisme, pun bahaya lain yang menuntut perhatian. Tidak ada cara lain, pemerintah harus berani mengambil langkah memblokir, karena negara punya hak untuk mengatur ragam media atau informasi apa yang legal beredar di Indonesia untuk dinikmati secara luas oleh publik.

Web site bisa diblokir melalui operator, atau menggunakan software pengacak. Jika ada ratusan ribu aplikasi yang tidak menguntungkan Indonesia, mustahil pemerintah mengirimkan ratusan ribu surat – apalagi mengingat efektivitasnya.

Demi generasi muda pemegang estafet masa depan, kita butuh negara yang mempunyai supremasi online untuk melindungi rakyat. Pertanyaannya, apakah kita sudah memiliki sumber daya andal untuk memblokir aplikasi berbahaya tersebut?

Pemerintah harus bersikap tegas dan terus memperkuat kemampuan cyber aparatnya. Kemampuan yang tidak hanya mendeteksi, tapi meng-counter, memblokir, juga memfilter. Karena tanpa itu, kita akan bisa diserang dengan mudah tanpa bisa melakukan apa-apa.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement