Rabu 14 Sep 2016 16:14 WIB

Mahasiswa, Tradisi Intelektual, dan Tantangan Global

Red: M.Iqbal
Ahmad Soleh, Ketua IMM Jakarta Timur, Alumnus FKIP UHAMKA Jakarta
Foto: Dokpri
Ahmad Soleh, Ketua IMM Jakarta Timur, Alumnus FKIP UHAMKA Jakarta

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Ahmad Soleh, Ketua IMM Jakarta Timur, Alumnus FKIP UHAMKA Jakarta

Dewasa ini kita semakin dipanikkan oleh isu kompetisi global. Salah satu yang mencuat adalah Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Hal ini telah menjangkit berbagai sektor, mulai dari ekonomi, politik, maupun budaya.

Mau tidak mau memang kita harus segera menyiapkan diri menghadapi tantangan dan kompetisi global. Namun, apakah mentalitas kita cukup tangguh untuk melawan hantaman demi hantaman yang datang? Terutama, kaum muda yang seyogianya bisa menjadi pelopor, penggerak, dan penerus bangsa ini.

Kaum muda sebagai elemen penting masyarakat dan bangsa perlu mempertegas kembali peran dan posisinya. Kaum muda, dalam hal ini mahasiswa, sebagai penggerak harus banyak berbenah dan menguatkan nalarnya dalam melihat dan merespons situasi yang terjadi di lingkungannya (kampus dan masyarakat).

Tentunya, untuk dapat mempertajam penglihatan dan merespons kondisi di sekitarnya, kaum muda perlu menyadari posisinya sebagai intelektual organik -meminjam istilah Antonio Gramschi- yakni intelektual yang hidup di masyarakat dan bermasyarakat. Artinya, kaum muda harus pula terlibat aktif dalam setiap proses dan dinamika yang terjadi di masyarakat.

Kondisi ini perlu juga didukung oleh perguruan tinggi sebagai ‘sarang’ para intelektual untuk mengasah dan melatih diri. Perguruan tinggi yang bersifat industrialis, hanya menghasilkan lulusan-lulusan untuk mengisi keperluan dunia pasar, tentunya akan jauh dari cita-cita melahirkan intelektual.

Fokus perguruan tinggi yang bersifat industrialis, seperti dijelaskan dalam buku “Embrio Cendekiawan Muhammadiyah”, cenderung kepada pencetakan agen yang sebatas memenuhi tuntutan industri pasar. Dan dikatakan, hanya akan menghasilkan ‘sampah’ atau ‘limbah’ lulusan perguruan tinggi. Karena secara mentalitas hanya disiapkan untuk kebutuhan jangka pendek.

Hal ini tentunya tidak sebanding dengan tanggung jawab menyandang titel mahasiswa. Karena, dalam konsep tatanan sosial, mahasiswa sebagai kaum tengahan, tidak hanya berjelimet dengan ritual-ritual akademik semata. Namun, juga mampu membawa angin segar bagi masyarakat dan kehidupan sosial.

Seperti dikatakan Kuntowijoyo dalam “Islam; Interpretasi untuk Aksi” bahwa intelektual berada di masyarakat untuk meminjamkan pisau analisisnya, sehingga masyarakat bisa merumuskan sendiri jawaban atas persoalannya. Artinya, peran mahasiswa dalam bermasyarakat adalah turut pula membawa pencerahan dan penyadaran yang dapat mengedukasi masyarakat.

Krisis identitas yang terjadi di kalangan mahasiswa atau kaum muda ini pun tentunya dipengaruhi oleh dinamika internal mahasiswa. Yang selain terbelit ritual formal akademik, juga terbelit oleh perbedaan pandangan politik, budaya, dan sosial. Sehingga efektivitas peran mahasiswa di dalam masyarakat maupun bangsa tidak begitu kentara, cenderung hanya menjadi follower terhadap tren-tren kekinian.

Rusdiyanto dkk dalam buku berjudul “Kepemimpinan dan Gerakan Kaum Muda untuk Mewujudkan Welfare State” menyebutkan, hal-hal yang semestinya dilakukan kaum muda adalah membangun kesadaran kolektif agar lebih mudah dalam melakukan konsolidasi nasional. Maka dari itu, spirit kebersamaan (kolektif) dalam tubuh mahasiswa pun perlu dibangun kembali. Terlepas dari kepentingan masing-masing golongan, pandangan politik, maupun perbedaan lainnya.

Maka, untuk dapat menjawab berbagai persoalan dan tantangan ke depan, baik dalam skala lokal maupun global, kaum muda atau mahasiswa harus mempertegas peran dan fungsinya. Pertama, dengan menghidupkan kembali tradisi intelektual. Kedua, menjadikan kampus sebagai ‘sarang’ intelektual bukan mesin pencetak agen industrialis. Ketiga, merespons isu. Dan terakhir, mengembangkan kemampuan diri.

Menghidupkan kembali tradisi intelektual

Tradisi intelektual adalah tradisi yang dibangun untuk menumbuhkan nalar kritis, reflektif, dan berpihak kepada kebenaran. Tradisi itu di antaranya, membaca, berdiskusi, menulis, dan beraksi.

Tradisi intelektual hari ini tentunya berbeda dengan tradisi intelektual zaman dahulu. Dengan adanya kemajuan di bidang teknologi, kita pun tidak bisa mengelakkan perubahan yang terjadi.

Tentunya, tantangannya pun akan berbeda. Dengan semakin mudahnya mengakses informasi via internet, mahasiswa sekarang malas untuk membuka buku. Sebab, mental instan yang hadir berkat kemajuan teknologi tersebut.

Memang tidak semuanya bernilai negatif. Namun, sebagai pembaca tidak bisa berpaku pada satu sumber rujukan saja. Perlu pembacaan secara komparatif untuk mengolah dan mencerna informasi yang didapat. Agar mendapat informasi yang benar dan akurat.

Budaya diskusi pun tak pelak harus digiatkan. Sebagai budaya intelektual, proses dialog atau diskusi harus selalu dilestarikan di kalangan mahasiswa. Karena, dengan diskusi proses pembacaan tadi akan menemukan titik temu dengan sudut pandang dan pembacaan lain dari rekan diskusinya.

Kemudian menulis. Ahli bahasa mengatakan menulis adalah mengikat makna. Artinya, dengan menulis kita dapat mengkristalkan apa yang kita baca dan diskusikan. Dengan demikian, informasi yang kita gali dan dapatkan bisa menjadi pemahaman yang sempurna.

Selain itu, menulis juga merupakan bukti ‘ketajaman pena’ intelektual. Sebab, dengan menulis kita dapat menyebarkan informasi, ide, dan gagasan kepada khalayak. Hal ini, mengingat budaya dokumentasi merupakan hal yang penting dalam dunia intelektual. Bukan hanya sebagai pengikat makna, melainkan sebagai rekam jejak dan pemikiran.

Selanjutnya adalah aksi. Aksi secara sederhana dapat kita maknai dengan pengamalan. Sebab, dampak yang paling terasa hadirnya seorang intelektual adalah adanya pengamalan. Pengamalan ini juga merupakan respons reflektif terhadap suatu kondisi. Tentunya basis keilmuan yang kita baca, diskusi, dan tuliskan, haruslah berujung kepada perubahan mental, sikap, dan prilaku.

Menjadikan kampus sebagai ‘sarang’ intelektual

Jika tadi dari sisi mahasiswa. Poin ini lebih kepada peran kampus atau perguruan tinggi dalam mengembangkan insan intelektual di dalamnya. Seyogianya, perguruan tinggi tidak hanya menjadi ajang transaksi ilmu pengetahuan. Melainkan, menjadi wadah untuk menumbuhkembangkan tradisi intelektual.

Perguruan tinggi pun harus berperan aktif dalam menciptakan suasana intelektual baik di kelas maupun di lingkungan kampus. Menjadikan kampus sebagai ruang simulator bagi insan akademis yang ada di dalamnya. Proses pembangunan mentalitas mahasiswa itulah yang akan mengakar dalam diri mahasiswa.

Dengan demikian, perguruan tinggi mampu menghasilkan lulusan yang bisa menjadi jawaban tantangan dan kompetisi global. Baik di bidang ekonomi, sosial, budaya, maupun politik. Karena berorientasi kepada pembangunan mentalitas, bukan memenuhi kebutuhan pasar.

Kritis, logis, dan bijak dalam merespons isu

Respons terhadap isu merupakan suatu keharusan bagi mahasiswa. Sehingga, gerakan kaum muda tidak hanya berjelimet dengan rutinitas saja. Melainkan lebih membuka diri dan peka terhadap kehidupan masyarakat dan bangsa.

Merespons isu haruslah kritis, logis, dan bijak. Sebab, sebagai akademisi mahasiswa harus bergerak berlandaskan kesadaran kritisnya, nalar logis dan argumentatifnya, serta kemampuannya mengambil keputusan dengan bijak untuk kepentingan bersama.

Untuk membangun nalar yang kritis dan logis, tentunya tidak terlepas dari tradisi intelektual yang sudah dijelaskan. Namun, sebagai akademisi yang dituntut untuk memiliki argumentasi yang baik, perlunya meningkatkan minat terhadap penelitian atau riset. Misalnya, untuk merespons suatu isu, kita melakukan riset sederhana untuk mengetahui dengan akurat, mengenai kondisi sebenarnya di lapangan.

Mengembangkan kemampuan (hard skill dan soft skill)

Hard skill dan soft skill perlu dikembangkan oleh mahasiswa saat ini. Karena, sebagai bekal untuk menghadapi tantangan global mahasiswa tidak cukup hanya dengan menguasai bidang yang dipelajarinya saja. Melainkan dengan bekal kemampuan yang bisa menjadi ‘tawaran’ bagi dunia, bahwa sebagai mahasiswa kita memiliki nilai lebih.

Misalnya, mengembangkan kemampuan berkomunikasi seperti penguasaan bahasa, berinteraksi, dan lainnya. Dengan kemampuan komunikasi yang baik, kita bisa membangun relasi secara luas. Misalnya, seorang ahli di bidang ekonomi yang memiliki gagasan cemerlang, akan lebih baik jika memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik, ketimbang yang hanya ahli di bidangnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement