Ahad 11 Sep 2016 06:00 WIB

Pahlawan Rokok

Asma Nadia
Foto: Daan Yahya/Republika
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID, Dengan alasan mencari ketenangan, suatu sore saya melipir ke sebuah kafe terbuka di pelataran pusat perbelanjaan. Namun konsentrasi saya menulis novel terpecah ketika dua lelaki yang tampaknya teman akrab, masuk dan langsung berdebat seputar rokok.

"Gila, apa? Harga rokok Rp 50 ribu!" cetus salah satu di antara mereka sambil menghembuskan asap rokok.

"Win-win solution-lah!" respons sang teman, membela usulan kebijakan pemerintah.

"Win-win solution bagaimana? Bisa-bisa berhenti merokok jika semahal itu.”

"Bagus dong,” sergah temannya, “yang tidak punya uang lebih, tidak kuat membeli rokok, jadi uangnya bisa digunakan untuk kepentingan rumah tangga. Istri senang, gizi anak terjamin dan suami sehat."

"Kamu nggak mikir, ya. Kalau kebijakan itu dijalankan, penjualan rokok turun 50% lebih, berarti setengah petani tembakau akan kehilangan pekerjaan." Dalih pria perokok.

Tapi temannya yang selalu mengibaskan tangan mengusir asap sigaret, tak menyerah,

"Faktanya 60% tembakau yang digunakan untuk membuat rokok adalah impor. Jadi kalau penjualan rokok turun 50% ditambah kebijakan pelarangan impor tembakau, justru petani tembakau kita terbantu."

Pemuda yang lintingan nikotinnya mulai memendek menarik napas dalam, lalu menyemburkan asap melalui hidung. Matanya terpejam seolah menikmati saat-saat terakhir dia merokok.

Tentu saja konsentrasi saya menulis kini sepenuhnya berantakan. Alih-alih kembali menulis, saya justru asik mengikuti diskusi gratis.

"Hei, cukai rokok itu bisa menyumbang Rp 180 triliun untuk keuangan negara, jadi rokok berjasa besar untuk APBN. Jika penjualan rokok turun sampai 50% maka cukai rokok akan hancur." Si perokok bersikeras.

Temannya menunjukkan ekspresi tak sepakat.

"Tadi pahlawan petani tembakau, sekarang kamu jadi pahlawan anggaran negara? Oke. Asal kamu tahu angka yang dihasilkan oleh cukai rokok nilainya hanya setengah atau sepertiga dari biaya kesehatan dan kerugian produktivitas akibat rokok. Jadi sebenarnya pemerintah dan rakyat yang dirugikan."

Jelas si pemuda sambil menutup wajah dengan tissue untuk menghindari asap rokok. Sebenarnya ingin juga saya meningkahi, tapi pasti ajaib jika saya yang bukan teman dan tidak kenal-tiba-tiba mengomentari. Jadi saya putuskan bertahan menjadi pendengar.

"Kamu bilang kebijakan Rp 50 ribu akan menurunkan penghasilan Negara? Anggap harga rokok naik jadi Rp 50 ribu, berarti biaya cukai naik tiga kali lipat, itu hitungan kasarnya. Kalaupun akhirnya penjualan rokok turun 50% dengan cukai naik tiga kali lipat maka penghasilan cukai justru naik 150%. Kalau cukai naik dua kali lipat, sekalipun rokok turun 50% maka penghasilan cukai masih 100%. Jadi kebijakan ini menguntungkan semua pihak. Rakyat sehat, keluarga terjamin, negara hemat, petani terjaga. Kepentingan publik diuntungkan."

Masuk akal, komentar saya dalam hati.

Namun pemuda yang kini sudah membakar batang kedua rokoknya, tidak sependapat.

"Tapi kalau omset menurun berarti kontribusi konsumsi rakyat menurun. Negara ini kan maju karena konsumsi. Setahun, kami perokok berbelanja 260 miliar batang rokok. Kalau satu batang Rp 1.000 itu berarti Rp 260 triliun. Tahun 2020 nanti kami mungkin akan berbelanja 520 miliar batang rokok. Lihat dong, jasa perokok menggerakkan roda ekonomi.”

Ada senyum kemenangan di ujung bibir saat dia menyelesaikan kalimatnya. Tapi teman si pemuda yang mulai batuk akibat terpapar asap rokok justru menggeleng, tampak tidak mengerti.

"Tadi jadi pahlawan para petani tembakau, lalu pahlawan APBN, kini jadi pahlawan penggerak roda ekonomi. Nanti dulu.”

Tangan si teman meraih cangkir teh yang disodorkan pelayan. Meneguknya sebelum kemudian meneruskan diskusi,

“Saya ingat, dulu perokok juga merasa jadi pahlawan pedagang asongan. Tapi kenyataannya, pedagang asongan dihilangkan tidak ada masalah berarti yang timbul. Intinya manusia itu pandai beradaptasi. Jadi kalaupun tembakau kurang diminati pasti akan ada peluang baru. Jika nanti orang tidak membeli rokok, pasti akan membeli produk lain dan akan ada bidang lain yang maju. Jadi uangnya tidak hilang, peluang tidak hilang, hanya berpindah peruntukan saja. Dulu orang Amerika dan Eropa juga berpenghasilan dari rokok, kini tanpa mengandalkan itu mereka makmur saja."

Percakapan berakhir. Sepertinya ini batas toleransi sahabat si lelaki yang tidak merokok terhadap asap yang diembuskan sang teman. Keduanya terlihat bersalaman, sebelum berpisah.

Dari ujung mata saya melihat si lelaki mengambil batang rokok ketiga.

Ini tidak bisa dibiarkan, pikir saya tidak bisa menahan diri lagi. Segera laptop saya masukkan ke dalam tas, bertekad bangkit dari kursi untuk memberikan beberapa ucapan selamat kepada si pemuda,

“Selamat atas jasa kamu dan sesama teman perokok, tahun 2016 ini Indonesia sudah mencapai peringkat satu di dunia dengan 90 juta perokok. Mengalahkan Rusia, juga Cina yang penduduknya mencapai 2 miliar. Selamat kamu telah mengkaderisasi 239 ribu anak di bawah 10 tahun menjadi perokok. Selamat juga telah membuat 1,2 juta anak Indonesia dibawah 14 tahun merokok dan sebagian dari mereka menghabiskan 40 batang rokok perhari.  Terakhir selamat sebab 51.7 persen perokok adalah remaja dan anak-anak. Kamu benar-benar sukses dalam melakukan regenerasi!”

Sayang, walau kami benar-benar berhadapan ketika saya melintasi mejanya, kalimat-kalimat tadi hanya terucap dalam angan. Meski entah bagaimana, saya amat berharap, gelombang kata-kata yang saya pancarkan menyentuh- jika bukan pikiran, semoga sampai ke hatinya.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement