Jumat 09 Sep 2016 06:00 WIB

Islam Politik di Pusaran Ahok

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Ada kegelisahan yang kuat di kalangan umat terhadap kepemimpinan Ahok, gubernur DKI Jakarta. Momentum pilkada DKI pada 2017 nanti akan menjadi pembuktian apakah kegelisahan itu efektif atau justru semakin menjadi bukti kian pudarnya Islam politik. Islam politik selalu mengalami pasang naik dan pasang surut. Di awal perubahan selalu mengalami kenaikan, tapi di saat konsolidasi akan mengalami episode menepi. Lalu melawan untuk kembali naik, tak lama akan tersingkir lagi. Namun grafiknya selalu menurun dari segi capaian, secara ekonomi maupun politik.

Di awal reformasi ada kegairahan baru pada Islam politik. Kantong-kantong umat bergegas menata diri memasuki arena politik: NU membentuk PKB, Muhammadiyah membentuk PAN, kekuatan sosial baru membentuk PKS, dan konfigurasi lama tetap di PPP. Sementara sebagian lain tertransformasi di Golkar, Demokrat, Gerindra, bahkan kemudian PDIP ikut membentuk sayap Islam. Ada generasi baru yang tak lagi berdiam di persekutuan atas dasar asas Islam atau basis sosial Islam. Inilah salah satu keberhasilan sekularisasi politik oleh Orde Baru.

Dalam perjalanannya, kegairahan Islam politik di PKB, PAN, PKS, dan PPP selalu terseok di papan tengah. Mereka tak pernah mampu naik di papan atas, kalah oleh PDIP dan Golkar, bahkan pendatang baru Demokrat dan Gerindra. PBB bahkan tersingkir dari parlemen. Persentase suara gabungan partai-partai tersebut tak sebesar persentase suara gabungan Masyumi, NU, Perti, dan SI pada pemilu 1955. Sejak 1999 hingga 2009 perolehan suaranya terus menurun, dan sedikit naik lagi pada pemilu 2014.

Hal itu berbeda dengan kekuatan PNI yang bisa tetap terkonsolidasi, terutama sejak naiknya Megawati ke pentas politik di PDIP. PDIP juga mampu menghimpun pemilih dari Partai Katolik, Parkindo, bahkan anak-anak PKI. Mereka mampu tetap menjaga faksi-faksi yang disatukan di masa Orba. Ini berkat kepemimpinan yang kuat dari Megawati. Kendati di masa reformasi ada partai-partai baru yang mencoba meraih basis-basis pemilihnya, namun semuanya bertumbangan.

Secara kebetulan, pada pemilihan presiden 2014, hanya ada dua kandidat calon presiden. Seluruh partai berasas Islam dan berbasis sosial Islam, kecuali PKB, berada di belakang kandidat Prabowo-Hatta. Keberadaan PKB, Jusuf Kalla, dan sejumlah tokoh Islam di belakang pasangan Jokowi-Kalla membuat pemetaan kekuatan Islam politik dan di luarnya menjadi gagal. Namun harus diakui sebagian besar pemilih santri memberikan suaranya ke Prabowo-Hatta. Kini, dengan cara politik Ahok, telah membuat polarisasi itu menguat.

Ada banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Harus diakui ada segolongan orang yang belum bisa menerima non-muslim menjadi pemimpin negeri. Golongan ini sebenarnya kecil saja. Karena ormas-ormas Islam mainstream pada umumnya tak menyoal hal seperti itu lagi. Sudah banyak non-muslim menjadi kepala daerah. Hal itu biasa saja. Hadirnya kepemimpinan non-muslim juga sudah lazim di korporasi, kementerian, maupun di ormas-ormas. Umat Islam Indonesia sudah biasa dengan pola hidup multikultural. Mereka berbelanja di toko-toko milik non-muslim, bekerja di perusahaan milik non-muslim, membeli barang-barang milik non-muslim, dan seterusnya. Bahkan ketika bank syariah hadir, mayoritas umat tetap nyaman di bank konvensional.

Lalu haruskah umat Islam mencari jawab terhadap berisiknya situasi soal Ahok ini? Lebih bijak bersikap tak perlu. Mencari kelemahan atau kelebihan Ahok pasti masing-masing ada. Pro-kontra soal itu tak akan ada habisnya. Yang harus dilakukan adalah belajar dari situasi ini.

Pertama, aspek politik. Di DKI Jakarta ini, pembagian kursi di DPRD adalah PDIP 28 kursi, Gerindra 15, PKS 11, PPP 10, Demokrat 10, Hanura 10, Golkar 9, PKB 6, Nasdem 5, dan PAN 2. Total gabungan partai berasas dan berbasis massa santri adalah 29 kursi (27 persen). Jauh dari total 106 kursi. Angka 27 persen memang angka lazim perolehan suara partai berwarna Islam. Itupun terdistribusi di empat partai. Sebagai perbandingan, empat partai itu di level nasional, DPR RI, meraih 31 persen kursi.

Kedua, aspek ekonomi. Hanya bisa dihitung dengan jari tangan dari 100 orang kaya di Indonesia beragama Islam. Itu pun tak ada yang berafiliasi ke partai berasas dan berbasis massa santri. Mereka umumnya terafiliasi ke Golkar, Demokrat, dan PDIP. Situasi ini tentu kemunduran dibandingkan dengan pemilu 1955 maupun di masa Orde Baru. Saat itu PPP memiliki ketua dari pengusaha papan atas, yakni almarhum Thayeb Mohammad Gobel. Walau bagaimana pun kekuatan ekonomi ini yang akan menjadi penopang utama dari kehidupan politik dan sosial.

Ketiga, aspek gerakan sosial strukturalis. Umat lemah di jaringan dan kelembagaan sosial yang menjadi penopang aktivitas politik, seperti LSM maupun badan-badan adhoc yang bekerja di bawah. Kendati kecil, LSM mampu menjadi kelompok penekan yang efektif. Umumnya LSM umat berada di garis developmentalis. Kendati LSM developmentalis ini besar namun mereka tak terampil melakukan gerakan politik.

Keempat, umat tak terampil dalam merumuskan aspirasi dan gagasan ke dalam bahasa universal. Mereka selalu terjebak ke dalam bahasa primordial dan sektarian. Akibatnya mereka gagal dalam meraih simpati publik. Kelima, tak menguasai institusi media, termasuk sosmed. Dalam dunia modern, media memegang peranan sangat penting. Opini publik yang terbangun akan bertransformasi menjadi kebijakan publik. Keenam, ini yang paling parah: berpecah belah. Kuat dalam ego kelompok dan susah untuk bersatu.

Lalu dari mana harus dimulai? Hanya ada tiga jalan: kepemimpinan, militansi, dan persatuan. Pilkada DKI pada 2017 bisa menjadi ajang uji coba militansi dan persatuan itu. Berhentilah berpecah belah, saatnya bersatu. Namun militansi dan persatuan yang sejati tak lahir karena ada faktor luar, tapi karena ada api ide yang berkobar di dada dan keteladanan yang bersemayam di kepribadian.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement