Kamis 08 Sep 2016 11:36 WIB

Mengejar Ketinggalan Tunggal Putri

  Pasangan Ganda Putri Pebulutangkis Indonesia Tiara Rosalia Nuraidah dan Rizki Amelia Pradipta saat bertanding pada Indonesia Open 2016 di Istora Senayan, Jakarta, Jumat (3/6). (Republika/Tahta Aidilla)
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Pasangan Ganda Putri Pebulutangkis Indonesia Tiara Rosalia Nuraidah dan Rizki Amelia Pradipta saat bertanding pada Indonesia Open 2016 di Istora Senayan, Jakarta, Jumat (3/6). (Republika/Tahta Aidilla)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nurul S Hamami*)

Olimpiade Rio de Janeiro 2016 yang baru berakhir bulan lalu, kian meneguhkan terpuruknya sektor tunggal putri Indonesia di cabang bulu tangkis. Lindaweni Fanetri, satu-satunya wakil Indonesia, tidak bisa berbicara banyak. Ia tersungkur di babak penyisihan grup tanpa sekali pun meraih kemenangan dalam dua pertandingan.

Menjelang keberangkatan ke Rio, sektor tunggal putri, memang tidak diperhitungkan untuk merebut medali. Ini mengingat dalam delapan tahun terakhir, tidak ada pemain Indonesia yang berprestasi menonjol. Tak ada gelar yang cukup membanggakan di turnamen-turnamen utama dunia. Wajar bila Linda pun tidak dibebani merebut medali. Apalagi, dia satu grup dengan juara All England 2016 Nozomi Okuhara yang akhirnya merebut perunggu.

Selepas Susy Susanti yang merebut medali emas pertama bagi Indonesia di Olimpiad Barcelona 1992, belum ada lagi yang bisa menggantikannya hingga sekarang. Mia Audina sempat memberi harapan dan merebut perak di Olimpiade Atlanta 1996. Juga Maria Kristin Yulianti yang meraih perunggu di Olimpiade Beijing 2008. Tapi, itu seperti sambil lalu saja, di turnamen-turnamen atau kejuaraan besar lainnya mereka tak bersinar.

Telah terjadi jurang prestasi yang dalam antara Susy dan generasi setelahnya. Tak cuma di ajang Olimpiade, tapi juga di dua kompetisi bergengsi yakni All England dan Kejuaraan Dunia. Tak ada yang bisa mengikuti jejak pemain kelahiran Tasikmalaya itu. Tak terkecuali Mia yang kala itu disebut-sebut bakal bisa melanjutkan dominasi Indonesia di tunggal putri.

Di All England, misalnya, Susy mampu menjadi juara pada 1990, 1991, 1993, dan 1994 –Tang Jiuhong (Cina) menyela di 1992. Setelah itu, belum ada lagi pebulu tangkis Indonesia yang kampiun di sana. Sektor ini, kemudian dikuasai oleh pemain-pemain Cina dan Denmark sebelum Carolina Marin asal Spanyol mematahkannya dengan menjadi juara pada 2015 dan Okuhara juara di 2016.

Susy melengkapi koleksi gelarnya pada 1993. Setelah merebut emas Olimpiade Barcelona. Setahun kemudian, dia mengukuhkan dirinya sebagai juara dunia. Namun, kembali terjadi, tak ada pemain Indonesia yang bisa mengikuti langkah Susy. Gelar juara dunia selanjutnya didominasi pemain-pemain Cina sebelum Ratchanok Intanon (Thailand) menghentikannya di 2013 yang diikuti oleh Marin di 2014 dan 2015.

Cerita bulu tangkis putri Indonesia sepanjang seperempat abad terakhir memang didominasi tentang cerita sukses Susy saja. Belum ada yang bisa mengikuti jejaknya, apalagi menyamainya. Ini menunjukkan terjadinya gap yang cukup lebar antara dia dan generasi penerusnya. Bandingkan dengan Cina yang mampu melahirkan delapan juara dunia setelah era Susy berakhir. Bahkan, Thailand dan Spanyol lebih ulu mampu dibandingkan Indonesia dalam mengorbitkan pemainnya sebagai juara dunia.

Di ajang Olimpiade, Cina juga sempat mendominasi dengan melahirkan tiga juara yakni Gong Zhichao (2000), Zhang Ning (2004 dan 2008), dan Li Xuerui (2012). Tapi, supremasi putri-putri Cina patah di Olimpiade Rio. Muncul kekuatan baru yakni Spanyol, India, dan Jepang. Bahkan, India telah melakukannya ketika Saina Nehwal mampu membawa pulang medali perunggu di Olimpiade London 2012.

Ketika Spanyol, Thailand, Jepang, dan juga sekarang Cina Taipei mulai mendobrak kekuasaan Cina di tunggal putri, Indonesia justru masih melempem. Belum ada yang bisa meraih puncak prestasi di turnamen-turnamen ataupun kejuaraan-kejuaraan berlevel tinggi dunia. Dalam peringkat dunia sekarang pun belum ada yang bisa menembus 'sepuluh besar'. Pertanyaannya, sampai kapan Indonesia bisa mengejar ketinggalannya dari negara lain di sektor tunggal putri?

Jauh ketinggalan

Melihat stok pemain yang ada sekarang ini, agaknya Indonesia ketinggalan jauh dibandingkan negara lain. Bila targetnya adalah Olimpiade Tokyo 2020, maka tak bisa lagi mengandalkan Linda yang juga semakin 'berumur'. Dalam jangka pendek, saatnya dari sekarang memproyeksikan pemain-pemain muda. Targetnya, pada empat tahun ke depan sudah ada yang bertengger di peringkat sepuluh besar dunia.

Saat ini, Indonesia memiliki beberapa pemain muda yang layak diproyeksikan sudah bisa diandalkan dalam empat tahun ke depan. Di sini ada Fitriani (peringkat 53 dunia), Hana Ramadhini (58), Ruselli Hartawan (85), dan Gregoria Mariska (95). Dari peringkat, mereka memang masih jauh tertinggal dibanding pemain-pemain papan atas dunia saat ini. Namun, dengan lebih banyak memberi pengalaman bertanding ke luar negeri, dalam dua atau tiga tahun mendatang, mereka akan lebih matang dan sudah bisa bersaing dengan pemain-pemain elite dunia.

Tugas pelatih pelatnas tunggal putri, saat ini, memang cukup berat. Namun, ini sekaligus tantangan dalam upaya melahirkan para calon juara. Tak hanya dituntut mampu memoles kelebihan yang dimilki seorang pemain, tapi mereka juga harus jeli dalam melihat sisi-sisi kelemahan yang dimiliki pemain-pemain muda tersebut. Misalnya, mencari cara memaksimalkan kemampuan pemain yang tidak berpostur tinggi, namun bisa bermain bagus dan berprestasi.

Nozomi Okuhara bukanlah pemain dengan postur yang tinggi. Namun, dia cukup lincah di lapangan dan berprestasi. Tahun ini saja, pemain Jepang itu mampu merebut juara All England dan medali perunggu Olimpiade Rio. Ini membuktikan postur tubuh yang pendek dan kecil tidak menjadi penghalang berprestasi. Kuncinya juga ada pada ketahanan fisik, sehingga sanggup berlari-lari mengejar shuttlecock di area permainannya.

Untuk jangka menengah dan panjangnya, Pengurus Pusat PBSI harus memiliki cetak biru yang dalam rangka mencari bibit-bibit pemain andal. Perlu ada perubahan radikal dalam melahirkan pemain-pemain tunggal putri yang berprestasi di tingkat dunia. Pencarian bakat harus lebih banyak dilakukan dengan, misalnya, melakukan ajang audisi usia dini ke daerah-daerah seperti halnya yang dilakukan oleh PB Djarum selama ini. Jangan hanya mengandalkan klub-klub saja dalam mencari dan membina pemain-pemain potensial.

Sektor tunggal putri memang masih ketinggalan jauh dibanding negara lain. Diperlukan penanganan ekstra keras dan terarah agar bisa mendapatkan bibit-bibit pemain yang bagus. Oleh karena itu, perhatian pun harus lebih besar ketimbang sektor-sektor lainnya. Semuanya dilakukan agar Indonesia bisa mengejar ketinggalan di tunggal putri.

 

Wartawan Republika*)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement