Ahad 28 Aug 2016 06:00 WIB

Adam, Ironi Perjalanan, dan Home Safety

Asma Nadia
Foto: Daan Yahya/Republika
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID, Ajakan kakak untuk mendukung filmnya, Duka Sedalam Cinta, mengantarkan saya ke Halmahera Selatan. Bukan perjalanan wisata pastinya. Akan tetapi putra saya, Adam (15 tahun), mendesak ikut serta ke Maluku Utara, karena di atas peta, lokasi shooting film kedua Helvy Tiana Rosa itu dekat dengan Raja Ampat.

"Raja Ampat itu mimpi Adam, cuma dua jam pakai boat dari Pulau Widi,"  kata remaja itu sambil menyimak data di internet.

Saya dan suami akhirnya mengiyakan keinginan ananda mengunjungi tempat impiannya. Kemudian, bersama crews dan produser film,  kami  terbang ke Ternate, lalu ke Halmahera Selatan.

Alam Ternate dan Halmahera Selatan memang memberikan landscape yang cantik  dalam rekaman kamera. Tidak hanya itu, kepulauan  yang terkenal dengan  melimpahnya batu bacan ini, mempunyai keindahan pantai dan taman laut luar biasa, hingga banyak hal  mampu kami nikmati. Termasuk mengunjungi beberapa dari 400 pulau tropikal yang memiliki  pemandangan bawah laut  penuh warna.

Adam mendapat pengalaman snorkling pertama di pulau ini. Lebih hebatnya lagi, Pulau Widi bisa dikatakan sebagai kawasan pulau perawan, pemandangan  bawah airnya yang sangat menakjubkan masih belum banyak disentuh wisatawan.

Wisata laut Halmahera Selatan luar biasa, hingga bupati setempat, Bahrain Kasuba, berharap hadir investor yang mendirikan resor di sana, karena potensi keindahan bawah lautnya bisa dibilang jauh lebih bagus dari kebanyakan wisata laut  di Tanah Air  bahkan dunia.

Setelah semua urusan film selesai, kami melanjutkan perjalanan ke Raja Ampat. Akan tetapi  jarak tempuh yang sebenarnya bisa dicapai 2 jam dengan boat, berubah menjadi sebuah perjalanan panjang. Tidak ada boat dari Pulau Widhi. Kami terpaksa menggunakan pesawat. Kembali ke Labuha, lalu Ternate, dan transit belasan jam di Makassar, dan ini membuat perjalanan memakan waktu nyaris dua hari penantian.

Tiba di Sorong pagi hari, kami langsung naik feri  ke Raja Ampat. Terus terang, sejak di Maluku Utara, sebagai orang tua saya sering khawatir melihat aktivitas Adam sepanjang perjalanan. Duduk di ujung boat atau kadang pindah ke atapnya  ketika ombak terkadang cukup tinggi, meski pamannya menemani, saya cukup deg-degan dan memperbanyak doa.

Saya kira ekstra pengawasan terhadap aktivitas Adam yang menyerempet bahaya selama perjalanan air sudah cukup, akan tetapi di Raja Ampat, apa yang dilakukan si bungsu  jauh lebih mengkhawatirkan.

Di Pianemo  yang dikenal sebagai little wayag, Adam selalu mencari tempat berfoto di lokasi berbahaya. Pianemo merupakan  gugusan pulau karang. Tanah yang  kami pijak pada dasarnya adalah susunan karang lancip bagaikan deret tombak yang menjulang ke atas menjadi bukit. 

Apalagi berfoto di puncak pulau untuk melihat Telaga Bintang. Puncak tertingginya hanya cukup untuk satu orang mendaratkan kaki, itu pun sulit berdiri tegak karena tidak ada pijakan rata. Berfoto di tempat seperti itu, jika  terjatuh maka tubuh  akan disambut batu-batu tajam. 

Sepanjang sesi  foto, sebagai ibu, selain mengawal, kekhawatiran saya luar biasa. Kegiatan shark feeding juga bukan tanpa risiko. Jarak memberi makan hiu kurang dari  satu meter. Memang hiu karang kabarnya tidak menyerang manusia, tapi angka 8 orang per tahun yang salah gigit disangka makanan yang diumpankan bukan risiko yang mudah diabaikan. Beberapa kamera underwater kami diserang hiu karena mungkin dianggap mangsa mereka.

Kekhawatiran saya mencapai puncak saat  Adam untuk pertama kali diving. Dia yang biasa tenang, tampak  waswas sebelum menyelam. Sekalipun mahir berenang, ia tidak yakin apakah akan mampu melakukannya, dengan membawa beban tabung oksigen dan sabuk besi pemberat.  Saat pertama kali masuk ke dalam air, kakinya keram, sehingga makin menambah kekhawatiran saya melihatnya  terjun mengeksplorasi alam bawah laut.  Alhamdulillah, setelah beberapa menit, Adam  dapat menaklukkan rasa takut dan menikmati kegiatan menyelam. Bahkan setelahnya sibuk mencari alam Indonesia lain yang kaya wisata laut untuk pengalaman diving berikut.

Setelah perjalanan panjang berminggu penuh  risiko, kami pun pulang dan kembali pada rutinitas. Saya menghabiskan waktu di rumah mengerjakan novel yang belum rampung, sementara Adam bermain bola di halaman di sela waktu luang.

Hanya satu hari setelah tiba dari Irian Jaya, seisi rumah panik....

Adam terjatuh dan tangannya terkena entah pot entah pecahan kaca. Darah bercucuran memerahkan  lantai. Tangan Adam teriris dengan luka lebar dekat nadi dan sendi. Dagingnya melambai-lambai tersangkut sebagian di tangan. Dokter di klinik  tidak sanggup menangani kecuali sekadar menutup dan merekomendasikan kami segera ke rumah sakit terdekat yang bisa ditempuh hanya beberapa menit. Di UGD,  pertolongan pertama diberikan, pendarahan ditutup dengan perban dan dokter bedah langsung ditelepon dan dibuat jadwal untuk operasi. Semua yang melihat tangannya yang sobek nyaris tak kuat, karena ada bagian tulang terlihat--bagi mereka yang takut darah dan luka menganga, itu sudah cukup membuat lutut lunglai.

Yang menyenangkan, sikap putra saya, tampak tenang memberi penjelasan pada dokter. Sama sekali tidak menangis, bahkan ketika darah masih mengucur hanya ditutup tisu saat menuju klinik, sempat-sempatnya meminta maaf karena merasa sudah merepotkan orang tua.

Kecelakaan yang terjadi membuat saya dan ayahnya melakukan kilas balik. Setelah perjalanan dan aktivitas di tengah alam yang bisa mengundang bahaya, saat wisata, namun kecelakaan justru di rumah yang relatif 'aman'. Ironi, tapi bagi saya tetap tidak boleh menghilangkan syukur.

Sepanjang proses menuju operasi, sebab lukanya yang besar memerlukan tindakan serius dengan bius total, kami mengajak Adam tetap berhamdalah. Tidak mempertanyakan kenapa ini sampai terjadi, tetapi mencoba mencari hikmah di sela musibah. Kemudahan yang Allah janjikan Dia iringkan bersama kesulitan.

Alhamdulillah, kecelakaan terjadi di tempat di mana rumah sakit terdekat bisa ditempuh dalam waktu kurang dari sepuluh menit. Bayangkan, seandainya  terjadi ketika kami berada di Raja Ampat, yang membutuhkan dua kali naik feri dan total perjalanan empat jam untuk sampai di Sorong dan menemukan rumah sakit. Pendarahan sebanyak itu, bisakah bertahan?

Alhamdulillah, cedera terjadi di tangan, bukan kaki yang menjadi modal ananda yang sejak usia empat tahun bercita-cita menjadi pesepak bola dunia yang beriman.

Alhamdulillah, tidak terkena nadi, sehingga dokter bedah bisa memberlakukan tahapan-tahapan persiapan operasi dengan sempurna, tanpa ketergesaan.

Tentu sebagai orang tua kami harus melakukan evaluasi. Teringat  konsep home safety yang selalu kami sampaikan kepada pengasuh anak. Bahwa rumah yang aman bagi kebanyakan buah hati adalah tempat penuh bahaya. Ternyata 

keselamatan di rumah tetap harus diperhatikan penuh dan dijaga dengan waspada, bahkan sekalipun  anak kita telah beranjak remaja. Sebab bahaya bisa terjadi kapan saja ketika kita lengah.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement