Jumat 19 Aug 2016 02:16 WIB

Pertama Kali, Tujuh Peneliti Terima BJ Habibie Technology Award

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Agung Sasongko
Mantan Presiden RI ke-3 BJ Habibie memberikan paparan saat acara penganugerahan Bacharuddin Jusuf Habibie Technology Award (BJHTA) 2016 di Kediaman BJ Habibie, Jakarta, Kamis (18/8).
Foto: Republika/ Wihdan
Mantan Presiden RI ke-3 BJ Habibie memberikan paparan saat acara penganugerahan Bacharuddin Jusuf Habibie Technology Award (BJHTA) 2016 di Kediaman BJ Habibie, Jakarta, Kamis (18/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – BJ Habibie Technology Award (BJHTA) biasanya diberikan kepada satu orang yang dianggap berjasa, berdedikasi dan berprestasi dalam inovasi sejak 2008. Namun tahun ini BJHTA justru diberikan kepada kelompok atau tim garam farmasi Badan Pengkajian dan Penerapan  Teknologi (BPPT) yang terdiri dari tujuh peneliti dan perekayasa.

“Biasanya memang per orangan tapi kali ini kelompok,” kata Kepala BPPT Unggul Priyanto saat jumpa pers ihwal Penganugerahaan BJHTA 2016 di Kediaman BJ Habibie Patra Kuningan , Jakarta, Kamis (18/8).  Adapun ketujuh peneliti dan perekayasa ini, yakni Imam Paryanto, Bambang Srijanto, Eriawan Rismana, Profesor Wahono Sumaryono, Tarwadi, Purwa Tri Cahyana dan Arie Fachruddin.

Unggul menegaskan, pemilihan pemenang ini berdasarkan penilaian tujuh juri yang dari berbagai latar belakang ilmu teknologi. Mereka juga berasal dari pihak luar yang jelas memiliki kapabilitas tinggi dalam pemilihan.

Namun pada dasarnya, penyeleksian penerima penghargaan ini berawal dari edaran kepada seluruh lembaga swasta dan pemerintahan serta individu. Dengan kata lain, lembaga maupun individu bisa mengusulkan siapa yang dinilai berhak memperoleh penghargaan ini. Namun hal terpenting, pihak yang diusulkan tersebut mempunyai inovasi yang telah dimanfaatkan ke masyarakat.

“Jadi ada yang mendaftar dan yang didaftarkan. Kita lihat produk apa yang paling menonjol dan mencari juga yang tidak kontroversi. Intinya, inovasi yang sudah dikomersialisasikan dan bukan temuan ya? Gak bisa juga yang cuman penelitian,” tambah dia.

Mengenai tim penerima penghargaan ini, Unggul mengatakan, tim ini telah berhasil melakukan penelitian garam farmasi. Mereka juga telah bekerjasama dengan PT Kimia Farma. Kerjasama ini pun mampu menghasilkan garam farmasi dengan kapasitas mencapai 2000 ton per tahun.

Menurut Unggul, garam farmasi merupakan bahan baku obat yang biasanya digunakan untuk oralit, cairan infus dan sebagainya. Selama ini Indonesia selalu mengimpor karena keterbatasan dan harganya pun cukup mahal, yakni Rp 50 ribu per kilogram. “Tapi dengan garam farmasi mereka, masyarakat bisa membeli Rp 20 ribu per kilogram dan ini jelas menguntungkan bagi masyarakat,” terang dia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement