Jumat 19 Aug 2016 06:00 WIB

Belajar Hidup dari Adi Sasono

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Badannya tinggi kukuh. Tulang-tulangnya menonjol. Rahangnya menyembul tajam. Hidungnya mancung tegas. Mulutnya mengatup. Sorot matanya berkilat. Ia bagai paku baja yang kuat menancap. Tak mudah goyah.

Bahasa tubuhnya selalu condong untuk bergerak maju. Namun, ada yang tertahan, yang menyiratkan kesabaran. Kalimatnya deras, patah-patah. Ia tegas, tapi jenaka. Salah satu kalimatnya yang kerap telontar terhadap ketidakadilan, antara lain, “Yang kaya tambah kaya, yang miskin tambah anak.” Lalu tawanya berderai.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, ia sering bicara tentang ajal. Kendati tetap dengan nada tenang. “Mati itu urusan Yang di Atas,” katanya. Ia tetap bekerja seperti hari-hari biasanya. Padahal, Adi Sasono dalam keadaan sakit keras.

Ia menyibukkan diri dengan banyak pekerjaan. Jika bosan, ia akan beranjang sana ke siapa pun. Kadang ke teman segenerasi atau ke orang yang tak begitu ia kenal, bahkan ke orang yang usianya jauh di bawahnya.

Tak ada sekat, tak ada hierarki. Kunjungan itu kadang hanya untuk silaturahim belaka, bahkan berdiskusi yang berat. Ia mengabaikan sakitnya. Pada 1999 ia terkena hepatitis C. Kondisinya sudah parah.

Setelah dirawat di rumah sakit, ia melawannya dengan menyibukkan diri pada pekerjaan. Ajaib, ia sembuh. Sejak setahun lalu, tiba-tiba ia didiagnosis terkena kanker usus stadium 4. Setelah menjalani perawatan dan kemoterapi, ia masuk kantor sebagaimana biasa.

Dalam keadaan sakit itu Adi justru menyambangi orang yang relatif tak ia kenal. Seolah Adi dalam keadaan sehat. Dan orang tak tahu bahwa Adi sedang sakit. Apalagi, orang itu sedang meringkuk dalam penjara. Ia menyampaikan simpati bahwa ia tak sendiri.

Kasus yang membelit orang itu termasuk kontroversial. Adi memang dikenal sebagai orang yang mudah bersimpati pada orang-orang yang lemah, tertindas, dan marginal. Sikapnya selalu positif dan melihat dari sudut pandang yang positif terhadap segala sesuatu.

Namun, jangan dikira ia tak memiliki prinsip yang kuat. Ia berani bersikap dan melawan ketidakadilan, penindasan, serta kezaliman. Ia memiliki pandangan bahwa tak ada sesuatu yang benar semua atau salah semua.

Ia mendirikan Yayasan Humaika. Melalui yayasan ini Adi bekerja untuk mendampingi orang-orang PKI dan keluarganya pada 1970-an. Rezim Orde Baru telah memenjarakan mereka, yang sebagian besar tanpa melalui proses pengadilan.

Mereka juga dimatikan secara sosial dan ekonomi. Segala aksesnya ditutup. Adi bergerak dengan banyak tokoh dengan latar belakang beragam. Anak Masyumi menyantuni orang-orang PKI. Ia adalah cucu keponakan dari Moh Roem, tokoh Masyumi.

Ayahnya juga tokoh Muhammadiyah di Pekalongan. Pamannya, Dahlan Ranuwihardjo, adalah tokoh HMI. Adi pernah menjadi ketua HMI cabang Bandung dan aktif di PII sejak di Pekalongan. Karena itu, saat diperiksa tentara, Adi dituduh sebagai Islam semangka.

Luarnya hijau, dalamnya merah. Namun, Adi jalan terus. Ketika Orde Baru memaksakan asas tunggal, banyak tokoh umat Islam dianiaya dan dipenjara. Adi kembali menemani dan menyantuni keluarganya.

Sikap humanis Adi ini bagian dari pemahamannya terhadap Islam: “Dalam Islam ajaran terpenting setelah tauhid adalah menegakkan keadilan. Dan untuk berbuat adil itu tak boleh berstandar ganda. Jadi, kita harus berbuat adil sekalipun terhadap orang yang berbeda dengan kita maupun yang memusuhi kita.”

Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, dalam bukunya, memasukkan Adi sebagai orang yang memiliki pemikiran sosialisme-demokrasi. Kedua cendekiawan ini mengklasifikasikan cendekiawan Muslim Indonesia ke dalam empat kelompok: neo-modernisme, sosialisme-demokrasi, internasionalisme atau universalisme, dan modernisme.

Pola pemikiran sosialisme-demokrasi berpendapat bahwa misi Islam yang terutama adalah misi keislaman. Kehadiran Islam harus memberi makna kepada kemanusiaan. Transformasi pertama bukanlah pada aspek teologi, melainkan transformasi sosial. Tujuannya adalah terciptanya masyarakat yang adil dan demokrasi.

Karena itu, Adi berpendapat, “Saya berpikir bahwa pada akhirnya tujuan hidup adalah mencari mati yang baik. Untuk mencari mati yang baik, maka seseorang hendaknya hidup yang baik. Hidup yang baik berarti memberi manfaat pada sesama. Memaafkan orang lain yang berbuat khilaf kepada kita, menyayangi orang yang tidak suka kita, dan memberi kepada yang kikir pada kita.”

Tema keadilan mewarnai perjalanan hidupnya. Saat menjadi mahasiswa ITB ia terjun menjadi aktivis. Ia ikut gerakan mahasiswa. Ia menjadi ketua Dewan Mahasiswa ITB, memimpin majalah //Mimbar Demokrasi//, aktif di KAMI, juga sekjen Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia.

Darah aktivisnya memanggil terus saat ia berkarier di dunia bisnis. Pada usia 33 tahun ia meninggalkan jabatan //general manager//. Ia terjun di LSM. Selain mendirikan Humaika, ia juga banyak berkiprah di banyak LSM.

Pada 1981, bersama Sritua Arief, ia menulis buku berjudul //Ketergantungan dan Keterbelakangan//. Sebuah pandangan berbasis Marxian, yang makin mengokohkan pemikirannya yang strukturalis dan anti-kemapanan.

Keberpihakannya pada rakyat kecil dan tertindas ini dibangun orang tuanya sejak kecil. Karena itu, kendati ikut dalam gerakan penumbangan Orde Lama, ia menolak ketika diajak bergabung masuk pemerintahan rezim Orde Baru.

“Kalau kita mempunyai cita-cita sosial maka kita harus melakukan tindakan. Jangan hidup dalam dunia kata-kata belaka. Tak ada perubahan sosial tanpa tindakan sosial.” Itulah salah satu prinsip hidupnya.

Karena itu, ketika ada kawan menulis buku soal Adi, saya mengusulkan judulnya Sang Penggerak. Ia meninggalkan kemapanan hidup di korporasi dan memilih mengurusi kaki lima, orang-orang miskin, bahkan berisiko berhadapan dengan penguasa dan rezim militer.

Aktivitasnya di dunia pergerakan membuat dirinya selalu bergaul dengan anak-anak muda. Mereka berguru dan menjadi kadernya. Ia menggerakkan anak-anak muda yang berada di sekelilingnya.

Pada akhirnya, Adi ikut menumbangkan rezim Orde Baru. Melalui ICMI ia memasukkan pandangan-pandangan LSM ke kekuasaan. Term ekonomi kerakyatan merupakan diksi yang secara sadar ia pilih. Harus ada keberpihakan pada rakyat kecil.

Negara harus ikut campur dan tak bisa lepas tangan. Sebagai menteri koperasi dan usaha kecil menengah, ia berperang melawan korporasi swasta dan mafia yang mempermainkan harga sembako. Ia juga orang yang berada di balik kebijakan penggelontoran dana langsung ke rakyat, seperti Jaring Pengaman Sosial dan Kredit Usaha Tani.

Saat itu muncul penolakan. Adi memiliki logika yang sederhana. Pertama, dana itu tak seberapa dibandingkan dengan dana BLBI yang diberikan begitu saja pada konglomerat. Kedua, duit itu tak akan lari ke mana-mana, tapi justru akan menggerakkan ekonomi rakyat.

Ketiga, duit itu tak akan dibawa kabur keluar negeri seperti yang dilakukan konglomerat. Dan ternyata, kredit itu relatif tak macet seperti kredit yang diberikan konglomerat. Kini, program itu bahkan banyak ditiru di banyak negara, bahkan dilanjutkan oleh pemerintah hingga kini.

Namun, itulah politik. Majalah Far Eastern Economic Review menjuluki Adi sebagai the Most Dangerous Man. Adapun majalah the Economist menjulukinya sebagai Robin Hood Van Java. Membela rakyat kecil memang penuh risiko.

Setelah tak menjadi menteri, Adi kembali hidup sederhana di rumahnya. Semua fasilitas dinas dikembalikan. Ia kembali aktif di LSM dan pergerakan. Semua ia jalani dengan prinsip seperti yang diamanatkan sebuah hadis qudsi: “Kerjakan yang engkau tahu nanti Allah memberi tahu apa yang engkau tidak tahu.”

“Saya ini mungkin tak lama lagi akan mati, Nasihin,” katanya. Tak sekali ia ucapkan. Dan selalu saya sergah, “Bapak akan sehat lagi. Pak Adi sangat dibutuhkan bangsa ini.” Ia tak meresponsnya. Di balik sikap tenang dan giat beraktivitas sebetulnya ia sedang sekarat.

Namun, kita tak melihatnya. Ia selalu ceria dan bersemangat. Mata ini terasa hangat, air mata menggenang. Kini, Pak Adi telah tiada. Selamat jalan, guru....

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement