Senin 15 Aug 2016 06:00 WIB

Pilih ‘Steve Jobs’ atau Teroris?

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Anda tentu sudah kenal Steve Jobs. Yang mungkin belum banyak orang tahu adalah nama Abdul Fattah al Jandali. Padahal tanpa ada al Jandali bisa jadi tidak ada pula yang namanya Steve Jobs. Itu artinya perusahaan raksasa Apple Inc yang memproduksi iPhone yang legendaris itu mungkin juga tidak akan lahir di dunia, sebab Jobs-lah sang pendiri dan CEO dari perusahaan raksasa itu.

Steve Jobs adalah putra al Jandali. Yang terakhir ini merupakan imigran dari Homs, Suriah. Orang tua al Jandali merupakan tuan tanah. Pada usia 18 tahun, al Jandali dikirim orang tuanya belajar di American University di Beirut. Namun, situasi politik di Arab pada 1950-an telah menyeret al Jandali menjadi aktivis pergerakan Nasionalisme Arab. Yaitu sebuah gerakan dari negara-negara jajahan yang menuntut kemerdekaan. Bahkan al Jandali muda memimpin demonstrasi melawan Presiden Lebanon, Bechara al Khoury, yang dituduh sebagai antek kolonial.

Meskipun Al Khoury kemudian mengundurkan diri, situasi politik di Lebanon tetap memanas. Hal inilah yang lalu mendorong al Jandali melarikan diri ke Amerika. Ia kemudian kuliah di Universitas Colombia dan kemudian Universitas Wisconsin hingga memperoleh gelar PhD di bidang ekonomi dan political science. Ia kini mengelola sebuah hotel di Nevada, AS. 



Saat kuliah, ia berkenalan dengan mahasiswi Joanne Carol Schieble hingga mempunyai anak yang kemudian dikenal dengan Steve Jobs. Lantaran orangtua Schible menolak hubungan anaknya dengan pemuda Arab, al Jandali kemudian meninggalkan Schieble dalam kondisi hamil. Setelah melahirkan, si anak kemudian diadopsi oleh pasangan Paul dan Clara Jobs. Nama Steve Jobs diberikan oleh orangtua adopsinya itu.

Meskipun Steve Jobs telah meninggal dunia lima tahun lalu, namun namanya ternyata terpatri dalam benak anak-anak Suriah. Banyak dari mereka yang bercita-cita ingin menjadi Steve Jobs. ‘‘Saya ingin seperti Steve Jobs,’’ ujar Mahmud al Bassam, 12 tahun, bocah Suriah yang kini berada di tenda pengungsian di Lebanon. Cita-cita tinggi al Bassam ini tampaknya juga diamini teman-teman sebayanya yang juga berada di tempat yang sama. Ketika ditanya siapa Steve Jobs, hampir semua mereka tahu tentang tokoh di balik produk-produk iPhone itu. 

Tidak seperti para siswa di Jakarta yang rata-rata memegang smartphone, termasuk produk teranyar Apple Inc, iPhone 6, al Bassam dan teman-temannya tentu tidak mempunyai alat komunikasi canggih ini. Boro-boro iPhone, bisa berganti pakaian setiap hari saja sudah merupakan kemewahan.

Untungnya, menurut Kevin Watkins, direktur eksekutif sebuah lembaga pengembangan luar negeri di Inggris, bocah-bocah Suriah yang hidup di pengungsian di Lebanon itu belum kehilangan harapan. Ya, harapan. Harapan untuk meraih kehidupan yang lebih baik inilah tampaknya yang menjadi modal utama para pengungsi Suriah, termasuk para bocah tadi, untuk dapat bertahan. 

Bukan hanya bisa bertahan menghadapi kesulitah hidup, beberapa di antara mereka bahkan ada yang berprestasi tinggi. Dan, bukan mustahil di antara mereka akan menjadi orang-orang yang visioner seperti Steve Jobs yang juga keturunan Suriah. ‘‘Hal inilah yang mustinya menjadi perhatian para pemimpin dunia,’’  tulis Watkins dalam sebuah artikel berjudul ‘Bocah-bocah Suriah dan Janji-janji yang belum Ditepati’ yang dimuat di Aljazeera.net.

Watkins kemudian menunjuk seorang bocah bernama Muhammad al Kousya,16 tahun. Empat tahun lalu al Kousya dan keluarganya melarikan diri meninggalkan rumah mereka di Distrik Dariya, pinggiran Kota Damaskus. Hampir setiap hari mereka menghadapi berbagai serangan bom kelompok-kelompok bersenjata.

Sebelum keluarganya melarikan diri,  al Kousya telah setahun minggalkan bangku SMP. Pada waktu itu sekadar keluar rumah saja sudah merupakan bahaya. Termasuk bagi anak-anak. Peluru nyasar sudah sering mengenai mereka yang sedang bermain bola di jalanan. Setahun berikutnya, sesampai di Lebanon, al Kousya juga belum bisa bersekolah.

Nasib al Kousya baru berubah setelah Pemerintah Lebanon membuka kelas-kelas pendidikan di pengungsian. Namun, karena tempat belajar ini darurat, satu kelas harus menampung melebihi kapasitas. Ramai dan gaduh. Pelajarannya pun menggunakan bahasa Inggris, karena ini program internasional. 

Bagi al Kousya dan teman-temannya sesama bocah pengungsi, faktor bahasa ini tentu merupakan persoalan sendiri. Namun, dengan ketekunan yang menakjubkan bocah 16 tahun itu pun berhasil mengatasi berbagai persoalan. Bulan lalu hasil ujian dia untuk masuk SMA menempati urutan kedua secara nasional di seluruh Lebanon. 

Ketika ditanya apa cita-citanya, al Kousya pun dengan cepat menjawab ‘seperti Steve Jobs’. Namun, ia segera meralat, ‘‘Bukan, bukan... Saya ingin menjadi arsitek bangunan.’‘  Mengapa arsitek? ‘’Suatu saat saya akan kembali ke Suriah. Saya ingin membangun kembali negara saya yang telah hancur.’’

Muhammad al Khousya, Mahmud al Bassam, dan bocah-bocah Suriah sebayanya di Lebanon tentu termasuk yang beruntung. Meskipun hidup susah di kamp kamp pengungsian, namun mereka masih bisa menikmati pendidikan. Menurut cacatan Aljazeera, kini terdapat lebih 1 juta anak pengungsi Suriah di berbagai negara -- berusia 5-17 tahun -- yang tidak bisa bersekolah. Angka ini tentu belum termasuk mereka yang masih berada di Suriah.

Sementara itu, negara-negara penampung pengungsi seperti Lebanon, Yordania, dan Turki sangat terbatas kemampuannya -- meskipun sudah berbaik hati membuka sekolah-sekolah untuk para bocah pengungsi.  Selain dana, mereka juga kekurangan guru, ruang kelas, buku-buku sekolah, dan hal lainnya yang dibutuhkan para bocah-bocah itu.

Ya, para bocah pengungsi Suriah bukan hanya membutuhkan makanan dan penampungan. Mereka juga memerlukan sekolah dan pendidikan. Tanpa sekolah dan pendidikan berarti membiarkan anak-anak itu hidup tanpa harapan. Membiarkan mereka hidup di jalanan dan di tenda-tenda penampungan gelap.

Dalam kondisi seperti itu jutaan bocah pengungsi Suriah tentu sangat rawan ‘dimanfaatkan’. Mereka akan dengan mudah direkrut kelompok-kelompok teroris atau dijadikan tameng perang. Atau dipaksa bekerja kasar. Juga dijadikan perdagangan manusia (human trafficking), terutama bocah-bocah perempuan. 

Lalu salah siapakah bila jutaan bocah Suriah itu hidup sengsara tanpa harapan? 

Yang utama dan pertama patut disalahkan adalah mereka yang terlibat konflik. Sebab, konflik itu bukan kepentingan rakyat kebanyakan. Konflik itu hanyalah kepentingannya kelompok elit tamak kekuasaan.  Mereka adalah Rezim Bashar Assad, kelompok oposisi, teroris ISIS, separatis suku Kurdi, dan konspirasi negara-negara besar yang ingin berebut pengaruh di Suriah. 

Ya, konflik -- kapan pun dan di mana pun -- akan selalu memakan korban. Korbannya adalah rakyat kebanyakan. Juga anak-anak. Karena itu, kewajiban masyarakat internasional untuk menghentikan konflik di Suriah. Masyarakat internasional dihadapkan pada satu pilihan: ingin menjadikan bocah-bocah Suriah sebagai Steve Jobs atau sebagai teroris? 

Sayangnya, pilihan tampaknya jatuh pada yang kedua. Boro-boro menghentikan konflik, berbagai kekuatan dunia justeru melibatkan diri dalam konflik Suriah. Bahkan dalam pertemuan internasional di London pada Februari dan di Istambul dua bulan lalu, janji-janji negara-negara besar untuk memberikan bantuan kemanusiaan, termasuk bantuan untuk pendidikan bocah-bocah Suriah, hanya tinggal janji. Penyebabnya adalah kepentingan! 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement