Jumat 12 Aug 2016 15:35 WIB

Menanti Risma di Jakarta

Esthi Maharani
Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Wartawan Republika, Esthi Maharani

Politik Ibu Kota mulai memanas jelang pilgub DKI Jakarta 2017. Satu per satu drama bermunculan meski tahapan pilgub belum benar-benar resmi digelar. Pejawat Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjadi tokoh sentral yang sering dibicarakan.

Tapi tidak beberapa pekan belakangan. Sosok Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mencuri perhatian. Risma tiba-tiba dijagokan untuk hijrah ke Ibu Kota dan menjadi rival Ahok. Kehadiran nama Risma pun membuat elektabilitas Ahok anjlok.

CEO Katapedia Deddy Rahman mengatakan telah melakukan survei online sejak 23 Juli-6 Agustus dengan menggunakan data mining dan text mining. Survei itu didukung teknologi machine learning berupa artificial neural networks dan naïve bayes algorithm untuk mengolah data-data yang diperoleh dari seluruh informasi yang tersedia di internet, terutama media sosial.

''Elektabilitas Risma ternyata terus menaik selama pemantauan Katapedia, bahkan sempat melebihi Ahok pada 4 Agustus 2016. Risma 54,8 persen (4.529 tweets dukungan) versus Ahok 45,2 persen (3.737 tweets dukungan). Hari itu, hastag #jakartamenyambutrisma sempat menjadi trending topic,'' kata Deddy.

Hal ini tak terjadi pada survei sebelumnya ketika nama Risma belum masuk dalam bursa pertarungan pilgub DKI Jakarta. Ahok masih belum bisa disaingi, baik oleh Sandiaga Uno maupun Yusril Ihza Mahendra yang elektabilitasnya hanya 9-13 persen. Kala itu, Ahok seperti raksasa yang tak mungkin dikalahkan. Survei-survei lain pun memperlihatkan hal yang sama.

''Netizen banyak yang pro dan kontra terkait majunya Risma ke pilgub Jakarta. Baik pendukung dan penentangnya sama-sama kuat. Keputusan akhir tetap tergantung kepada Risma,'' kata dia.

Risma pun sempat membantah akan ke Jakarta, tetapi di dunia politik tak ada yang tak mungkin. Apalagi sejarah juga mencatat peristiwa hampir serupa saat Jokowi melenggang ke Ibu Kota dan akhirnya menjadi penguasa.

Sebelum ke Ibu Kota, Jokowi terpilih menjadi wali kota Solo untuk periode kedua. Hanya beberapa bulan menjabat,  Jokowi pun diperintahkan partai untuk menjadi calon gubernur DKI Jakarta. Hanya beberapa bulan, Jokowi kembali diperintahkan partai untuk menjadi calon presiden. Hasilnya, dua pertarungan itu dimenanginya.

Tradisi PDIP untuk menguji kadernya untuk naik level dibuktikan di sini. Risma bisa jadi akan melalui tes tersebut dengan diutus menjadi calon gubernur DKI Jakarta. Risma pun dites kemampuannya untuk mengelola daerah yang lebih kompleks permasalahannya. Di sisi lain, hal itu pun bisa menjadi sarana bagi Risma untuk memperkaya diri dan membuktikan ia pemimpin yang mumpuni.

Saya pikir, cara ini terbilang cukup efektif untuk menguji sekaligus melahirkan pemimpin-pemimpin baru. Minimal, pemimpin yang memiliki pengalaman memimpin daerah, memenuhi kebutuhan masyarakat, serta dicintai banyak orang.

Saya yakin, saat ini PDIP sedang berkalkulasi dengan sangat cermat. Jika ingin melanggengkan kekuasaan di pemerintahan hingga dua periode mendatang. PDIP harus mencari bibit yang sudah diterima masyarakat dan potensial.

Saya membayangkan, dalam pilpres mendatang Jokowi (jika tak lagi diusung PDIP) mendapatkan lawan seperti Risma. Mungkin rakyat tak akan terpecah dengan pendukung fanatiknya masing-masing. Toh keduanya telah memperlihatkan kinerjanya selama di daerah dan mencoba naik kelas mengurusi negara.

Kalau pun tak menjadi rival di pilpres, bukan tak mungkin PDIP mengusung Risma sebagai calon wakil presiden mendampingi Jokowi. Bisa jadi, pasangan Jokowi-Risma adalah pasangan paling ideal dan diharapkan masyarakat.

Ini bukan mimpi dan bisa saja terjadi jika Risma mau hijrah ke Ibu Kota dan masyarakat di daerah rela untuk melepas pemimpinnya naik kelas serta mengurusi masyarakat yang lebih luas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement